Share

Bab 6

Lura kesal karena Mario meninggalkannya di sebuah pusat perbelanjaan dan pergi terburu-buru setelah mendapatkan panggilan via telepon. Laura tidak ingin mengasumsikan Mika penyebab Mario pergi tanpa menoleh. Melupakan Laura di tengah keramaian itu. Kekesalan Laura semakin bertambah ketika memasuki sebuah toko buku dan tidak sengaja menjatuhkan beberapa buku. Dia tidak bermaksud melakukannya namun letak buku yang berada di rak paling atas membuatnya kesulitan. Penjaga toko menegurnya dan meminta Laura untuk membereskan buku-buku yang berserakan di lantai. Dia menghentikan kegiatannya ketika melihat sepasang sepatu berada di depannya. Laura mendongak dan menemukan David sedang berdiri sambil membawa kantong belanjaan.

Cartier.

Laura tersenyum samar, laki-laki itu ternyata penggemar barang mewah. Tidak heran jika David tinggal di apartemen elite di sekitar kawasan Manhattan. Sekarang Laura mengerti dengan selera laki-laki itu.

"Laura apa yang kau lakukan?" tanya David membantu memungut buku-buku itu.

"Aku tidak sengaja menjatuhkannya. Dan penjaga itu memintaku meletakkan buku-buku ini di tempatnya semula." ucap Laura.

"Rak itu cukup tinggi, biar aku saja yang meletakkannya. Laura serahkan sisanya padaku."

Laura menyerahkan buku-buku di tangannya pada David dan laki-laki itu meletakkannya di rak paling atas. Postur tubuh yang tinggi tidak menyulitkan David melakukannya. Laura mundur beberapa langkah ke belakang. Dia merasa malu dengan perbedaan tinggi badan yang mencolok mungkin David tidak menyadarinya. Namun, tingkat kepercayaan diri Laura menurun. Dia seperti kurcaci bila berdiri di samping laki-laki itu.

"Selesai." David menepuk kedua tangannya untuk membersihkan debu yang menempel. "Aku kemari mencari temanku. Dia selalu pergi ke toko buku tidak disangka aku bertemu denganmu. Laura apa kau suka membaca?" tanya David.

"Tidak terlalu."

"Temanku menyukai karya-karya Jane Austin. Terkadang dia membeli buku yang sama dan memajangnya di ruang baca. Laura, orang aneh seperti itu, kau harus bertemu dengannya."

Laura tersenyum kaku. David suka sekali berbicara panjang lebar. Dan mengenai temannya itu, Laura sama sekali tidak tertarik. Dia melambaikan tangannya saat David berpamitan meninggalkan tempat itu. Namun, sesuatu di bawah kakinya menarik perhatiannya. Kartu debit milik David terjatuh di lantai dan sepertinya laki-laki itu tidak menyadarinya. Laura berlari dan melihat David diantara kerumunan orang-orang. Dia mengikuti David hingga memasuki sebuah restoran. Laura menghampirinya dan menyerahkan kartu debit itu. Cukup lama David mengajaknya berbicara dan perhatian Laura teralihkan pada seseorang yang sedang membaca buku. Dia berpamitan pada David setelah memberikan pujian pada orang aneh yang membaca buku dengan posisi terbalik.

Memiliki selera yang bagus?

Laura tidak pernah membaca buku itu. Entah kenapa dia justru mengatakan omong kosong seperti itu. Dia hanya mengetahui tokoh utama saja. Selebihnya, jangan tanyakan hal itu.

Ponselnya berbunyi sesaat setelah Laura berada di dalam angkutan umum. Lucy menghubunginya. Perempuan itu masih mengingatnya setelah kembali dari Boston.

"Lala, aku rindu padamu. Aku tidak membawa oleh-oleh karena Jason menculikku. Aku berada di rumah ibuku sekarang."

Lucy masih antusias seperti biasanya. Laura tersenyum kecil. Sepertinya Lucy tidak terbebani dengan masalah pernikahan.

"Mario sedang dalam perjalanan. Dia berada di Queens selama seminggu." ucap Laura.

"Akhirnya kakakku yang bodoh itu merendahkan dirinya. Lala kau pasti tidak percaya jika Mario sangat membenci ibuku. Mereka selalu berdebat, entah apa yang akan terjadi saat Mario pulang ke rumah. Biasanya aku hanya melihatnya sambil makan popcorn."

"Mario tidak pernah membahas tentang ibunya." ucap Laura jujur.

"Aku tidak bisa memberitahumu atau Mario membunuhku. Dia berusaha menjadi kekasih yang baik untukmu. Tapi aku tahu, dia menyembunyikan sifat keras kepalanya itu saat bersamamu. Aku ini hanya pelampiasan kemarahannya. Betapa tidak beruntungnya aku memiliki kakak sepertinya. Lala kau pasti melihat sisi itu ketika Mario menahan amarahnya. Dia memiliki temperamen yang buruk. Dan berhasil mengatasinya hanya karena kau."

Laura tahu meskipun Lucy tidak memberitahunya. Dan kemarahan Mario semakin terlihat jelas saat berhubungan dengan Mika.

"Lucy apa kau mengenal Mika?" tanya Laura memastikan.

Hening. Tidak biasanya Lucy diam untuk waktu yang lama. Ternyata bukan hanya Mario yang menyembunyikan rahasia itu. Lucy juga tidak ingin Laura mengetahuinya.

"Sudahlah Lucy. Aku akan bekerja hari ini."

Laura memutuskan sambungan itu lalu menyimpan ponselnya. Dia melewatkan pemberhentian pertama dan membiarkan kereta itu membawanya entah kemana.

***

Pukul empat sore Laura memutuskan untuk bekerja. Dia tidak memiliki kegiatan dan enggan bermalas-malasan di apartemen seorang diri. Seharusnya besok dia mulai bekerja. Namun, Laura memutuskan bekerja lebih cepat. Selain mendapatkan uang, dia ingin mencari kesibukan. Mungkin dia perlu mencari pekerjaan lain agar waktunya tidak terbuang sia-sia.

Kini Laura sudah berada di apartemen milik David. Dia mengambil sampah-sampah yang berserakan di atas meja dan memasukkannya ke dalam plastik besar. Lalu membuangnya ke tempat sampah yang berada di lantai bawah. Laura kembali ke apartemen dan mulai mengepel lantai. Dia membersihkan seluruh ruangan hingga mengkilap. Merasa lelah Laura duduk di sisi ranjang sambil mengusap keringat di keningnya. Pendingin itu seolah tidak berfungsi dan udara musim di gugur itu Laura merasa kepanasan. Dia melepas pakaiannya dan hanya menyisakan tank top. Tidak ada siapa pun di ruangan itu seharusnya tidak masalah.

"Aku tidak mengambil kasus itu. Cari pengacara lain, aku sudah bilang sejak aku meninggalkan perusahaan. Klien itu bermulut besar dan aku tidak sanggup mendengar omong kosongnya. Aku tidak keberatan jika kau memecatku. Banyak perusahaan lain yang membutuhkan jasaku. Terserah lakukan apa saja, aku tetap menolaknya!"

Laura menoleh ke arah pintu kamar. Dan di sana dia melihatnya. Argino Mahendra. Laki-laki itu sedang menatapnya melupakan ponsel yang terjatuh di lantai. Laura terkejut lalu bangkit dari duduknya. Dia tidak bisa menjelaskan bagaimana perasaannya saat ini. Benci, kecewa, atau bahkan merasa rindu pada sosok itu. Perasaan campur aduk itu Laura benci merasakannya. Dia mundur ketika Gino mendekatinya. Laura menepis tangan Gino kasar. Dia tidak percaya Gino bersikap biasa saja setelah kejadian itu!

"La aku ngerti kamu marah. Kamu kecewa dan kamu berhak ngomong apa aja, tapi aku nggak bisa bohong kalau aku memang kangen sama kamu." Gino menarik gadis itu ke dalam pelukannya. "Sekali ini. Biarkan waktu berhenti sebentar." ucap Gino.

Tenaga Laura habis. Dia tidak bisa mendorong Gino menjauh. Dan pelukan itu semakin erat seolah Gino tidak ingin kehilangannya.

"Kamu masih suka menghindari sesuatu tanpa mendengar penjelasan. Kamu pergi dan melupakan semuanya. Kamu nggak tahu rasanya ditinggalkan dan berusaha untuk melupakan. Kamu berhasil tapi aku nggak. Aku masih berada di tempat yang sama. La, kamu udah berpindah menuju zona nyaman, tapi aku masih nunggu kamu di belakang. Menurutmu apa itu adil?" tanya Gino.

Laura tidak bisa mencegah air matanya menetes. Gino tidak pernah mengatakan apa pun. Dan sekarang muncul secara tiba-tiba. Laura tidak mungkin melukai Mario. Laki-laki itu tidak boleh terluka.

"Kamu pernah tanya. Siapa orang yang paling aku pedulikan. Dan aku cuma bilang dalam hati. La, aku nggak mau simpan apa pun lagi. Aku suka sama kamu dari kecil. Mungkin saat kamu nangis dan aku gendong kamu di tengah hujan. Aku mulai jatuh cinta sama kamu. Diam-diam tanya soal Rahma buat mastiin perasaan kamu. Dan keputusanku saat itu salah besar. Kamu salah paham hanya karena Rahma."

Laura mendorong Gino sekuat tenaganya dan berhasil melepaskan diri. Laura mengambil pakaiannya lalu keluar dari ruangan itu. Dia bertemu David di ruang tamu dan laki-laki itu tampak terkejut. Namun, Laura mengabaikannya dan terus berjalan meninggalkan tempat itu.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status