Share

Bab 5

Suasana malam yang tenang di tepi danau bukanlah apa-apa dibandingkan Mario yang diam membisu di sampingnya. Makan malam yang disiapkan laki-laki itu dibiarkan menjadi hiasan di atas meja. Selera makan Laura menguap, rasa lapar yang dirasakannya sejak siang tadi menghilang entah kemana. Dia hanya diam memperhatikan Mario yang bersikap aneh. Laura tidak sabar melihatnya. Namun, mencoba untuk menangguhkan rasa sabar itu. Jika kesal maka pertengkaran itu akan terjadi dan Laura tidak ingin bertengkar hanya karena seseorang bernama Mika.

Satu jam berlalu sup ayam itu mulai mendingin. Laura kehilangan kesabaran, dia beranjak dari duduknya. Mencari udara segar sepertinya ide yang bagus untuk menenangkan pikirannya. Dia menyusuri hutan dalam keremangan cahaya bulan. Suara hewan malam terdengar nyaring di telinganya. Laura bergidik, dia takut bertemu hewan buas. Namun, untuk kembali dan melihat Mario bersikap dingin. Laura lebih memilih untuk bertemu serigala meskipun harus mengorbankan nyawanya.

Laura semakin jauh masuk ke dalam hutan. Cahaya bulan tidak menembus pepohonan yang lebat menyebabkan suasana gelap itu semakin terasa. Merasa lelah, Laura memutuskan duduk pada salah satu pohon. Dia menyandarkan tubuhnya pada sisi batang pohon lalu mengeluarkan ponselnya.

Tidak ada pemberitahuan apa pun. Ponselnya tidak bisa digunakan di tempat itu. Laura mendesah pelan lalu memejamkan matanya. Merasakan suasana malam mencekam itu dengan pikiran kosong. Cukup lama dia melakukan hal itu. Tetesan air menyadarkan Laura dari perbuatannya. Gerimis turun rintik-rintik, tidak ada cahaya bulan. Laura tidak bisa melihat apa pun di tempat itu. Sekelilingnya berwarna hitam pekat. Dengan susah-payah, Laura mengeluarkan ponselnya dan menghidupkan flash. Gerimis berubah menjadi hujan deras. Laura melindungi ponselnya dari guyuran hujan. Dia duduk di bawah pohon sambil memeluk lututnya. Tubuhnya menggigil, udara semakin dingin dan Laura hanya mengenakan pakaian tipis. Dia tidak menyangka, hujan turun secara tiba-tiba sehingga Laura melupakan jaketnya yang tergeletak di atas tempat tidur. Kini dia menyesali kebodohannya.

Dua jam lamanya Laura berada di tempat itu. Dari kejauhan, samar-samar dia mendengar suara teriakan. Mungkin Mario mencarinya. Laura mendekati asal suara itu dengan berjalan sambil meraba sekitarnya. Semoga saja dia tidak menyentuh ular atau hewan melata lainnya.

Cahaya terang menyilaukan mata. Sekelompok orang mendekat lalu menanyakan keadaannya. Laura hanya mengangguk, ternyata orang-orang itu regu penyelamat yang dipanggil Mario. Dan diantara mereka, Laura tidak melihat laki-laki itu. Mungkin Mario sedang mencarinya di tempat lain. Laura mengucapkan terimakasih ketika berhasil tiba di rumah. Dia berbasa-basi menawarkan orang-orang itu untuk singgah. Namun, mereka menolak. Laura hanya melihat mobil yang membawa mereka berlalu meninggalkan tempat itu.

Mario kemana?

Pertanyaan itu memenuhi otaknya. Laura mencari keberadaan laki-laki itu di kamar. Namun, tidak ada siapa pun di sana. Dia menuju dapur dan melihat makan malam itu masih berada di sana. Sama seperti terakhir kali Laura melihatnya, tampak rapi dan tidak tersentuh.

"Lala?"

Mario tampak kacau dengan pakaian basah. Sisa air hujan terlihat di lantai kayu itu. Laura mengambil handuk lalu mengeringkan rambut Mario. Dia juga belum mengganti pakaiannya.

"Lala aku pikir kau melakukan sesuatu yang berbahaya." ucap Mario cemas.

"Aku keluar mencari udara segar."

"Lala aku ingin mengatakan sesuatu."

"Katakan saja." ucap Laura berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya.

"Aku akan pulang ke rumah ibuku. Aku ingin membahas masalah pernikahan Lucy dan Jason. Lala, aku membawa mereka pulang. Tapi maaf, aku tidak bisa membawamu." ucap Mario.

Laura menunduk, menyembunyikan rasa kecewanya. "Tidak apa-apa, aku tidak ada kaitannya dengan Lucy. Berapa lama kau di sana?" tanya Laura.

"Mungkin satu minggu."

Mungkin?

Laura tersenyum getir, Mario terlihat ragu-ragu. Satu minggu atau lebih, dia tidak berhak mengetahui urusan itu.

"Selesaikan saja masalah Lucy. Aku mengerti," ucap Laura lirih.

"Aku akan kembali secepatnya. Lala, jangan marah aku mengikuti keinginan ibu. Lucy terlalu kekanakan dan Jason mulai tak sabar padanya. Lala setelah urusanku selesai aku akan melamarmu. Siap atau tidak, kau harus menerimanya."

Laura tersenyum canggung. Dia tidak tahu harus berkata apa untuk membalas ucapan itu.

***

Pagi-pagi buta Mario membangunkannya dan Laura terpaksa mengikuti keinginan laki-laki itu pulang lebih awal. Alasannya Lucy sudah kembali dan saat ini berada di Queens. Laura bahkan tidak mendapat kabar apa pun dari Lucy. Tidak biasanya perempuan itu menyembunyikan sesuatu. Namun, Laura tidak ingin bertanya melihat mood Mario yang buruk itu. Jadi, dia hanya menurut dan duduk diam di samping Mario. Sementara Mario fokus mengemudi. Cuaca pagi itu terlihat cerah, tidak ada mendung sepertinya hari itu tidak turun hujan. Laura melepas mantelnya dan meletakkan di pangkuannya. Dia memandang ke samping, melihat jajaran pohon melalui kaca mobil.

Musim gugur tahun ini terasa biasa saja. Laura tidak melihat festival musim gugur seperti tahun-tahun sebelumnya. Biasanya Lucy yang akan menemaninya. Namun, Lucy melewatkan festival itu karena pekerjaan dan juga pernikahannya dengan Jason. Kini Laura menikmati kesendirian itu tanpa Lucy.

"Lala, apa pekerjaanmu baik-baik saja?" tanya Mario membuyarkan lamunan Laura.

"Maksudmu pekerjaanku di apartemen itu?" Laura balas bertanya. Dia menatap Mario sekilas. "Pemiliknya orang yang baik." ucap Laura.

"Jika kau merasa kesulitan lebih baik berhenti saja. Lala, aku bisa memberimu nafkah. Selama ini kau sudah bekerja keras, perhatikan kesehatanmu. Wajahmu sangat pucat, apa kau begadang akhir-akhir ini?" tanya Mario.

Laura menggeleng. "Aku mengalami insomnia. Minum obat tidur mungkin akan membantu."

"Kau harus mengurangi obatmu tidak baik untuk jangka panjang. Lala, aku bahagia melihatmu sekarang. Lain kali jangan melakukan hal bodoh seperti bunuh diri. Jika kau merasa sedih cobalah untuk membuka diri. Aku juga bukan orang asing untuk mendengarkan ceritamu." ucap Mario.

"Aku baik-baik saja Mario. Kau harus fokus mengemudi. Jangan melihatku, aku tidak akan lari kemana pun."

"Aku takut jika kau pergi dari hidupku. Lala apakah kau sungguh mencintaiku?"

Pertanyaan itu bersamaan dengan Mario kehilangan fokus mengemudi dan hampir menabrak mobil yang berada di depannya. Laura membentur dashboard, untung saja bukan kepalanya. Tadi itu berisiko sekali. Jantungnya masih berdetak kencang mengingat kejadian tadi. Mario menghentikan mobilnya di sisi jalan. Laki-laki itu mengusap wajahnya kasar seolah ada beban berat yang tidak bisa diungkapkan.

"Maaf,"

"Kita hampir celaka. Mario apa yang kau pikirkan?!" tanya Laura tidak bisa menyembunyikan kemarahannya.

"Aku sangat lelah, semalam aku tidak tidur hingga pagi. Dan mobil itu tiba-tiba berada di depan kita. Lala, aku minta maaf."

"Apa hal ini berkaitan dengan Mika?" tanya Laura memastikan.

"Tidak ada hubungannya dengan,"

Lala menyipitkan matanya, Mario tidak sadar hampir menyebutkan nama Mika.

"Lala, biarkan aku istirahat sebentar."

Laura menunggu dengan sabar ketika Mario tertidur. Cukup lama hingga ponsel Mario berbunyi. Laura meraihnya dan melihat nama Mika muncul di layar. Dia meletakkan kembali ponsel itu dan membiarkannya terus berbunyi.

***

"Klien yang kau tolak itu sepertinya orang kaya. Gino, kau mengabaikan orang ini hanya karena Laura. Dan mobil cantikmu tergores karena seorang gadis. Kau ini sangat ceroboh." ucap David.

Gino melempar kartu debit itu ke atas meja. "Ada banyak uang dalam kartu itu. David, pergilah membeli sesuatu untuk menutup mulutmu."

"Aku tidak butuh uang. Aku hanya penasaran pada perempuan yang menamparku. Aku mencarinya di  perusahaan tempatnya bekerja. Dia tidak ada di sana. Menurutmu apakah aku menyukainya?" tanya David.

"Dia sudah memiliki kekasih jangan merusak hubungan orang lain." ucap Gino enggan.

"Laura juga memiliki kekasih. Kau masih tidak bisa melupakannya. Gino, kau harus membeli detergen untuk mencuci otakmu."

Gino menatap David tajam. "Pergi dari sini sebelum aku melemparmu ke bawah."

"Aku tidak memiliki kegiatan. Gino, bagaimana jika kita menghabiskan uang di kartu itu?" David memberi usul. Dia merangkul pundak Gino lalu tersenyum lebar. "Cartier mengeluarkan produk terbaru mereka. Aku ingin sekali melihatnya. Gino, ikut aku keluar daripada kau menghabiskan waktu di sini. Kau juga bisa melihat gadis-gadis Asia di tempat itu."

Ajakan David bukan ide yang buruk. Gino mengikuti laki-laki itu menuju pusat perbelanjaan. Dia hanya melihat David yang fokus memilih jam tangan. Gino tidak tertarik, dia memutuskan untuk keluar dari toko itu. Keramaian di tempat itu Gino tidak menyukainya Namun, berdiam diri di apartemen juga bukan hal bagus. Gino memutuskan memasuki toko buku dan mencari rak berisi novel. Dia ingin sekali membaca kisah Elizabeth Bennett dalam pride and prejudice. Bagaimana prasangka perempuan itu pada Darcy dan akhirnya terjebak perasaan pada laki-laki sombong itu. Gino mengambil buku itu lalu membayarnya di kasir. Dia membeli beberapa buku lainnya yang berkaitan dengan pekerjaannya dan kembali menemui David. Namun, tidak menemukan keberadaan laki-laki itu di sana. Sepertinya David berniat untuk menghabiskan uang perempuan itu.

Lelah jika berkeliling mencari David. Gino memutuskan memasuki salah satu restoran dan memesan minuman dingin. Dia membuka novel itu dan mulai membacanya. Jane Austin seolah membawanya masuk ke dalam cerita itu. Cukup lama, Gino menyibukkan diri dengan buku itu. Hingga tidak menyadari dia telah menghabiskan waktunya di sana selama satu jam. Gino memeriksa ponselnya, ada beberapa panggilan dari David. Namun, pemberitahuan dari grup alumni sekolahnya dulu menarik perhatian Gino. Dia membaca satu per satu tulisan tidak penting itu. Hanya ajakan reuni teman sekelas. Beberapa dari mereka menunjukkan foto keluarga, Gino tersenyum tipis. Masa sekolah yang indah itu berlalu begitu saja. Dia tidak menemukan Laura di antara obrolan itu. Gadis itu menghilang dan memutuskan apa pun yang berkaitan dengan masa lalu.

Argino Mahendra, dapat salam dari Laura Oktaviana. Katanya mau di bawakan gudeg dari Jogja. Di Amerika susah ya cari makanan itu.

Gino tersenyum membaca tulisan itu. Ajeng teman sekelasnya dulu sekaligus sahabat Laura. Lima tahun lalu mungkin Ajeng yang menyarankan Laura pergi ke Amerika. Jika tidak, maka Gino tidak bisa mencurigai orang lain selain Ajeng yang mengetahui keberadaan Laura.

Selain Rahma.

"Aku hampir mati mencarimu. Gino aku bertemu Laura di toko buku. Dia menjatuhkan satu rak buku dan penjaga toko itu memintanya membereskan buku-buku itu. Gino, aku membantu gadismu. Beri aku hadiah untuk hal itu." ucap David lalu memesan minuman mengabaikan Gino yang tampak kesal.

"Laura ada di tempat ini?" tanya Gino terkejut.

Pertanyaan itu belum terjawab ketika Gino melihat Laura berjalan ke arah mejanya. Dia tidak bisa membiarkan Laura melihatnya. Anggap saja dia pengecut namun menghadapi kekecewaan gadis itu. Gino belum bisa menjelaskannya. Peristiwa lima tahun lalu berkaitan dengan kesalahannya.

Gino meraih buku itu untuk menutupi wajahnya ketika Laura menghampiri David. Dia tidak bisa menyembunyikan seluruh wajahnya di balik buku itu. Gino menghitung dalam hati agar Laura pergi dari tempat itu.

"Kau melupakan kartu milikmu." ucap Laura.

Gino mendengarkan dengan seksama percakapan mereka. Dia menajamkan pendengarannya, barangkali David keceplosan menyebutkan namanya. Cukup lama Laura berbicara dengan David. Tampak menyenangkan dan Gino hampir menjatuhkan buku di tangannya ketika Laura menyentuh buku itu.

"Kisah tentang seorang laki-laki sombong yang jatuh cinta pada Elizabeth Bennett. Anda memiliki selera yang bagus."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status