Share

Bab 7

Gino apa kau menindas Laura?!"

David terlihat marah, sepertinya kejadian tadi menyebabkan kesalahpahaman. Dia tidak mengira Laura pergi tanpa mengatakan kalimat apa pun. Gino tahu, menurut informasi David, Laura pendiam. Namun, Gino tidak tahu jika sikap diamnya Laura semakin membuatnya merasa bersalah.

"Aku akan menyusulnya." ucap Gino lalu meninggalkan kamarnya.

Gino mencari keberadaan Laura dan tidak menemukan gadis itu. Dia kehilangan jejaknya lagi. Dia tidak boleh mementingkan perasaannya sementara Laura menghindarinya. Tidak apa-apa meskipun Laura memiliki orang lain di hatinya. Gino hanya ingin berdamai dengan masa lalu.

Melupakan kebodohannya dulu membiarkan Laura pergi dari hidupnya.

Tidak ada pilihan selain meminta bantuan David untuk mencari alamat Laura. Beruntung saat itu, setelah David mengantar gadis itu ke rumah sakit. Diam-diam David mengikuti Laura hingga ke apartemennya. Alasannya David tidak ingin direpotkan dan Gino bersyukur laki-laki itu memahaminya. Kini setelah berdebat cukup lama dengan pikirannya. Gino memberanikan diri menekan bel unit apartemen milik Laura. Dia tidak berharap banyak jika gadis itu mau menerima kedatangannya. Gino sudah menyiapkan mental bila Laura membanting pintu di depan wajahnya. Namun, ketika pintu apartemen itu terbuka Gino tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Laura menyambutnya dengan ekspresi dingin lalu melebarkan pintu dan membiarkan Gino masuk.

Setelah berada di ruang tamu dan Gino duduk di sofa. Laura meletakkan secangkir teh di meja. Gino termangu untuk sesaat. Namun, berhasil mengatasinya. Dia terbiasa menghadapi orang-orang dengan berbagai karakter. Namun, ketika bersama Laura pemahaman itu menghilang entah kemana. Gino tidak bisa menebak sikap gadis itu. Dia telah melukainya dan Laura justru menyambutnya layaknya tamu. Dan teh itu, Gino tidak boleh menghabiskannya sekaligus. Dia ingin menikmati rasa yang mengalir di setiap teguknya.

"Apa kabar No?"

Gino tersedak lalu meletakkan cangkir itu di meja. Dia mengusap bibirnya, hampir saja menyemburkan teh itu di wajah Laura.

"Baik, maksudku baik-baik aja."

Sial, Gino sangat gugup. Dia seperti ujian skripsi dan dosen pembimbing menyerangnya. Terlebih tatapan Laura seolah menuntut jawaban dari pertanyaan itu.

"Aku udah curiga tentang apartemen itu. Dan memang benar kamu pemiliknya." ucap Laura.

"La, jujur selama lima tahun ini aku selalu cari kamu. Di New York, setiap kota dan aku nggak pernah ketemu kamu. Mungkin lewat apartemen itu, pertemuan ini terjadi. La, aku minta maaf buat kesalahanku di masa lalu. Kejadian itu, aku sungguh minta maaf." ucap Gino serius.

"Kalau waktu itu aku nggak percaya sama kamu. Mungkin sekarang aku masih di Jogja."

Gino menunduk tidak berani bersinggungan dengan mata Laura. Dia berusaha melupakan kejadian itu. Namun, tidak pernah berhasil, selama lima tahun ini usahanya hanya sia-sia. Kesalahan seseorang akan terbawa hingga ke masa depan. Dan Gino tahu, Laura tidak pernah melupakannya. Artinya ucapan maafnya itu seperti debu yang tertiup angin.

Agar suasana mencekam itu memudar, Gino bangkit dari duduknya lalu melihat foto-foto yang menempel di dinding. Foto Laura dan seorang perempuan. Di antara foto-foto yang ada di sana. Gino tidak menemukan foto Laura bersama seorang laki-laki. Dia mulai ragu apakah benar gadis itu memiliki kekasih seperti ucapan David. Jika memiliknya, tidak mungkin Laura menyembunyikan seseorang yang dicintainya. Terlebih hanya sebuah foto.

"Namanya Lucy. Sahabatku sejak aku datang ke New York."

Gino menoleh dan melihat Laura yang berdiri di sampingnya. Lucy atau siapa pun itu, Gino harus mengucapkan terimakasih telah menjadi sahabat yang baik untuk Laura.

Setelah Ajeng.

"Temanmu kalau nggak salah, perempuan yang bertengkar sama David gara-gara guci jelek itu." ucap Gino.

"No, aku cuma buat pengandaian."

Gino menoleh. "Maksudnya?"

"Kalau pas itu, kamu nggak pacaran sama mbak Rahma atau kamu yang jadi first kiss-nya dia. Apa kamu masih tetap Gino yang sekarang?" tanya Laura.

Pertanyaan itu terdengar ambigu. Dan maksud dari first kiss itu Gino tidak memahaminya. Lagipula dia tidak pernah berpacaran dengan Rahma. Atau jangan-jangan Rahma yang mengatakan omong kosong itu?

"Aku nggak paham La." ucap Gino jujur.

"Bukannya kamu pernah nginap di rumahku pas orangtuaku masuk rumah sakit?"

Menginap?

Gino semakin tidak memahami arah pembicaraan itu. Laura terlihat menyembunyikan sesuatu dan Gino tidak bisa menebak apa yang disembunyikan gadis itu.

"Udahlah No. Lagian cuma pengandaian."

Gino mengerutkan keningnya. "Apa Rahma yang bilang?" tanya Gino memastikan.

"Nggak, aku cuma berkhayal aja."

Seharusnya Gino tahu, Laura tidak suka mengumbar masalah pribadinya. Dan sejak dulu, Gino tidak bisa menebak sikap Laura. Meskipun gadis itu menyukainya, Gino tidak pernah menyadarinya. Setelah Laura pergi, Gino baru mengetahuinya karena Ajeng yang mengatakannya. Kini setelah bertemu Laura. Gino tetap tidak bisa menebak ekspresi gadis itu.

"Sebenarnya aku benci banget sama kamu No, tapi nggak ada gunanya aku terus lihat kebelakang. Mungkin udah saatnya aku berdamai sama masa lalu."

Gino menarik bahu Laura agar menghadapnya. "Kalau aku nggak mau berdamai gimana?"

***

Tengah malam Laura mendengar ponselnya berbunyi. Mario menghubunginya. Setelah meninggalkannya begitu saja Mario baru mengingatnya. Mungkin laki-laki itu sedang sibuk bersama Mika. Dia yakin jika perempuan itu berada di sana. Percakapan di telepon itu, mengartikan jika hubungan keduanya tidak sesederhana itu.

Laura berdehem lalu menempelkan ponselnya di telinga. "Ada apa?" tanyanya langsung.

"Kau sudah makan malam?"

Laura melihat piring bekas makan malamnya di meja. Gino bersikeras membelikan makanan dan Laura tidak bisa menolaknya. Akhirnya dia terpaksa menerima pemberian itu. Lalu Gino berpamitan sesudahnya dan mengingatkan Laura untuk tidur lebih awal. Namun yang terjadi, Laura terjaga hingga larut sambil menatap ponselnya. Kini sesuatu yang ditunggunya akhirnya menghubunginya. Dan Laura tidak antusias dengan hal itu.

"Lala?"

"Aku sudah makan." ucap Laura singkat.

"Aku ingin mengatakan sesuatu."

"Katakan saja." ucapnya tak sabar.

"Pernikahan Lucy ditunda. Ibu meminta Jason menikahinya dua tahun kemudian. Jason tidak keberatan. Namun Lucy, dia tidak menerimanya. Lucy ingin pernikahan itu tetap dilangsungkan tahun depan. Ibu tidak setuju. Mereka bertengkar dan Lucy kembali malam ini. Mungkin dia sedang berada dalam perjalanan. Jason sedang mengejarnya. Lala, aku ingin mengatakan sesuatu bukan tentang pernikahan mereka. Namun, tentang hubungan kita."

Mario terdengar serius dan Laura takut jika laki-laki itu kembali melamarnya.

"Aku tidak ingin memaksamu Laura, tapi aku tidak bisa menghabiskan waktuku jika kau tidak bersedia menikah denganku. Mungkin,"

"Mungkin kau menyerah dengan hubungan ini?" tanya Laura memastikan.

"Bukan begitu Lala. Aku mencintaimu dan kita tidak pernah menemukan jalan keluar untuk masalah ini. Aku pikir sebaiknya kita berpisah untuk sementara waktu."

Laura terkejut dan berusaha menenangkan diri. Dia sudah menebak kemungkinan itu. Mario mulai lelah dengan hubungan mereka. Dan Laura tidak pernah memahami laki-laki itu sepenuhnya.

"Selain pekerjaan kau juga meminta break untuk sebuah hubungan." ucap Laura getir.

"Lala aku minta maaf. Aku tidak bisa mengatasi masalah ini dan berusaha menjadi kekasih yang baik untukmu. Jika Lucy tidak keras kepala dengan pernikahannya. Aku tidak akan meminta jeda untuk hubungan kita."

"Jadi Lucy yang keras kepala atau kau yang tidak bisa memilih antara aku dan Mika?" tanya Laura dengan nada memojokkan.

Hening.

Laura menarik napas dalam-dalam lalu menatap jam digital di samping tempat tidurnya. Pukul dua dini hari. Selarut itu dia melakukan hal bodoh hanya karena cinta. Laura tersenyum tipis, tidak ada bedanya dengan lima tahun lalu. Sekarang dia masih menjadi perempuan menyedihkan itu.

"Baiklah Mario. Kita akhiri saja, aku akan mengirim barang-barangmu ke rumah Jason." ucap Laura enggan berdebat.

"Lala aku tidak serius dengan perpisahan itu. Aku akan menyelesaikan urusanku dengan ibuku. Lalu aku bisa sepenuhnya memikirkan hubungan kita."

"Mario terimakasih sudah menemaniku selama ini. Aku tidak akan membuatmu kesulitan. Selesaikan masalahmu dan hiduplah dengan baik."

Laura memutuskan sambungan itu. Dia menatap langit-langit kamarnya dan membiarkan air matanya menetes perlahan.

***

Dengan langkah berat Gino memasuki apartemennya. David masih menunggunya di ruang tamu. Gino duduk di sofa sambil mengawasi seluruh ruangan di apartemen itu. Mungkin sudah saatnya Gino merubah hidupnya termasuk menyerah pada perasaannya. Tidak ada gunanya dia hidup dalam kenangan masa lalu. Waktu terus berjalan, dia tidak bisa menghabiskan hidupnya hanya karena sebuah penyesalan.

Meskipun Gino sungguh mencintai Laura.

"Aku pikir kau menghabiskan waktu bersama gadismu."

"Apa kau sedang mengejekku?" tanya Gino kesal.

"Dia keluar dari kamarmu hanya mengenakan pakaian dalam. Gino, kau tertarik pada gadis itu dan menolak gadis-gadis yang menyukaimu. Kau juga tahu Laura sudah memiliki kekasih. Dia tidak akan memilihmu. Orang bodoh mana yang mau menghabiskan hidupnya hanya untuk orang sepertimu?"

"Kau pergilah aku ingin sendiri." ucap Gino mengabaikan ucapan itu.

"Berdoa saja Laura masih datang bekerja besok setelah tahu kau pemilik apartemen ini."

"Diamlah atau aku mengirimmu ke Madagaskar." ucap Gino kesal.

"Lakukan saja, ayahku sudah mencairkan kartu debitku. Aku tidak takut dengan ancaman murahanmu itu. Gino sesekali kau juga harus mengalami kesulitan. Aku pergi dulu, semoga Laura tidak membencimu."

Laura sudah membencinya dan itu sepadan. Seperti luka pada umumnya tidak mudah menghilangkan bekasnya. Gino menghargai keputusan Laura jika terus membencinya.

"Gino aku tiba-tiba teringat dengan perempuan itu. Dia sedang berada di bar. Aku harus pergi melihatnya."

David kembali hanya untuk memberitahu hal itu. Gino tersenyum kecil. Terkadang seseorang melakukan hal bodoh hanya untuk menarik perhatian seseorang yang dicintainya tidak terkecuali pada David yang sedang jatuh cinta itu.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status