Share

Bab 3

Pagi itu Laura dibuat kesal setengah mati oleh salah satu pelanggan. Seorang laki-laki bermulut pedas hingga batas kesabarannya habis. Dan tanpa sengaja Laura mengeluarkan kata-kata umpatan. Mendengar keributan itu Miranda memanggilnya. Biasanya, Laura tidak peduli dengan kemarahan perempuan itu yang menegur cara bekerjanya, tapi kali itu Miranda memecatnya. Terkejut bercampur dengan sisa kemarahan akibat pertengkaran tadi Laura segera mengganti pakaiannya lalu keluar dari restoran itu. Dia bahkan melupakan gajinya.

Laura terus melangkah menuju tempat kerja berikutnya. Toko kerajinan tangan yang hampir bangkrut. Namun, pemiliknya masih memintanya bekerja di sana. Tiba di toko itu Laura dibuat tercengang.

Toko itu terjual.

Ditengah situasi itu, ponselnya berbunyi. Sebuah nomor tidak dikenal menghubunginya.

"Nona aku membutuhkan bantuanmu."

Kening Laura berkerut. "Kau siapa?" tanyanya curiga.

"Aku pemilik apartemen tempat kau berkerja dulu. Aku membutuhkan jasamu, apa kau bersedia?"

Laura membutuhkan pekerjaan saat ini. Dia tidak bisa membiarkan Mario menanggung seluruh biaya hidupnya. Dan pekerjaan membersihkan apartemen tidak terlalu sulit.

"Aku bersedia asal kau membayarku dua kali lipat dari gaji sebelumnya." ucap Laura.

"Sepakat."

Laura menyimpan ponselnya lalu menaiki kereta. Setengah jam kemudian dia tiba di sana. Dengan ragu Laura menekan bel dan detik berikutnya pintu itu terbuka. Seorang laki-laki berambut pirang menyambutnya dengan senyum ramah. Laura memasuki apartemen itu dengan canggung.

"Maaf aku sudah menyinggung temanmu."

"Seharusnya kau meminta maaf padanya." ucap Laura lalu mengambil peralatan pel. Barang-barang itu masih berada di sana tidak ada yang berubah dari terakhir kali Laura meninggalkan apartemen itu.

"Perkenalkan namaku David."

Uluran tangan itu menyebabkan Laura menghentikan pekerjaannya. Dia memperhatikan laki-laki bernama David dengan seksama. Lucy berlebihan tentang laki-laki itu. Cara bicara yang sopan entah kenapa Lucy bisa terpancing emosi.

"Laura." ucap Laura singkat tanpa membalas uluran tangan David. Dia meneruskan pekerjaannya. Mengabaikan keberadaan laki-laki itu di sana.

Hingga dua jam kemudian, Laura telah membersihkan seluruh ruangan di apartemen itu. Dia meregangkan tubuhnya yang kaku. Pekerjaan itu menguras seluruh tenaganya. Laura memutuskan berada di apartemen itu lebih lama. Dia lega ketika David berpamitan keluar dan akan kembali dalam beberapa jam kedepan. Kini Laura sendirian di sana. Apartemen mewah tanpa penghuni seperti setahun yang lalu.

Dan Laura menyukai suasana sepi seperti itu.

Perlahan rasa kantuk menyerang. Laura berbaring di sofa lalu memejamkan matanya. Semoga David tidak mengusirnya saat melihatnya tidur di sofa mahal itu.

***

Pekerjaan menyebabkan emosi Gino tidak stabil. Dia terpaksa pulang terlambat ditambah hujan turun dengan lebatnya. Musim gugur yang menyebalkan. Gino tidak menyukai musim dengan curah hujan tinggi itu. Satu jam setelah terjebak macet akhirnya Gino berhasil tiba di apartemen. Dia melempar tas kerjanya ke lantai lalu menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu. Dia menyandarkan kepalanya sambil menatap langit-langit di ruangan itu. Emosinya mulai terkendali. Dan Gino bisa merasakan kemarahan itu perlahan menghilang.

Namun, tubuhnya membeku ketika melihat sosok gadis tertidur lelap di sofa. Dia hampir terserang penyakit jantung mengetahui bahwa gadis itu adalah Laura. Laura Oktaviana yang dirindukannya selama lima tahun ini. Dengan hati-hati Gino mendekati gadis itu. Dia mengusap wajah Laura. Sudah lama sekali, Gino bahkan tidak ingat kapan terakhir kalinya mengusap pipi Laura. Mungkin saat usia mereka sepuluh tahun atau kurang dari itu. Setelah dewasa Gino tidak pernah melakukan kontak fisik. Dia menghargai Laura dan takut jika perasaannya tidak terkendali bila melakukan sesuatu yang lebih.

"Aku sudah membawa gadismu. Berikan aku Ferrari milikmu."

David tiba-tiba muncul dan menghancurkan suasana itu. Gino melempar kunci mobilnya lalu menatap David tajam.

"Pergi dari tempat ini."

"Aku lelah seharian ini membuat kekacauan agar gadis itu berhenti dari pekerjaannya. Aku juga tidak tahu harus aku apakan toko jelek berisi tanah liat itu. Gino, kau harus membayar lebih atas usahaku ini." David mengulurkan tangannya. "Seratus juta dolar untuk toko itu. Aku rugi tapi tidak apa-apa karena kau temanku." ucap David.

"Ada dua ratus juta dolar di kartu itu. Kau melakukan tugasmu dengan baik. Besok kau bisa kembali ke Denmark dan menikmati hidupmu di sana." ucap Gino lalu menyerahkan kartu debit miliknya pada David.

"Sialan, aku tidak butuh uangmu!" David melempar kartu debit itu ke lantai. "Terakhir kali kau mengirimku ke Siberia. Aku hampir mati kedinginan dan kau menikmati musim panas di sini. Gino, kau keterlaluan."

"Aku ingin menikmati waktu bersamanya." ucap Gino tidak ingin berdebat.

"Aku bisa pergi saat kau bersamanya. Lagipula aku tidak ingin menjadi orang ketiga. Dan kelihatannya gadis itu pendiam. Aku kesulitan beradaptasi dengannya."

"Dia tidak pendiam. Mungkin sebelum dia kehilangan orangtuanya." ucap Gino lirih.

"Sudahlah aku malas mendengar omong kosongmu. Aku pergi sekarang, kau bisa bersamanya. Tenang saja, aku tidak akan mengganggu pertemuan kalian."

"David, jangan biarkan dia melihatku. Sekarang sudah malam hari. Tolong antar dia pulang. Sekaligus melihat tempat tinggalnya."

Suara ponsel menyebabkan Gino beranjak dari tempat itu. Dia masuk kedalam kamarnya, mencoba melihat dari balik pintu. Samar-samar dia bisa mendengar suara Laura yang panik. Tidak lama kemudian, suara itu menghilang. Gino keluar dari kamarnya dan tidak ada siapa pun di apartemen itu. ponselnya berbunyi dari balik saku.

Aku sedang mengantar gadismu pulang. Dan dia cemas tentang kekasihnya yang pingsan.

Pesan singkat yang dikirim David menyebabkan Gino kesulitan bernapas.

Laura memiliki kekasih?

***

"Lucy apa yang terjadi pada Mario?" tanya Laura panik. Pembicaraan melalui ponsel itu sedikit berlebihan di bawah pengawasan David. Dia terpaksa menyetujui tawaran laki-laki itu mengantarnya pulang. Jika bukan karena khawatir pada Mario. Laura tidak akan menerima tawaran orang asing secara sembarangan.

"Dia pingsan dan Jason membawanya ke rumah sakit. Mereka sedang berkuda dan Mario terjatuh dari kudanya. Pergelangan tangannya terluka mungkin sedikit retak. Entahlah, aku hanya mendengarnya dari Jason. Sebaiknya kau melihatnya langsung. Saat ini aku berada di Boston lusa baru kembali. Lala, jangan panik kakakku orang yang kuat."

Mario tidak biasanya memiliki waktu luang berkuda bersama Jason. Laura memutuskan sambungan itu lalu menyimpan ponselnya. Pikirannya kacau, dia tidak ingin sesuatu terjadi pada Mario. Perjalanan menuju rumah sakit itu terasa sangat lama. Ditambah hujan deras sehingga David tidak bisa menambah kecepatan mobilnya. Laura menjadi tidak sabar dan kegelisahan itu mengganggu David. Laki-laki itu berdehem pelan mencoba untuk menarik perhatiannya.

"Maaf," ucap Laura lirih, dia tidak bermaksud bersikap seperti itu. Namun, kekhawatiran itu tidak bisa disembunyikan.

"Aku tidak ingin mengambil risiko dan kita berdua celaka karena kau yang panik ini. Laura, tenanglah sedikit. Aku tidak bisa mengemudi jika kau terus seperti ini." ucap David terus terang.

"Apakah masih jauh?" tanya Laura mengabaikan ucapan David.

"Sebentar lagi."

Laura menghitung dalam hati, dia tidak tahu pada hitungan keberapa mobil itu tiba di rumah sakit. Begitu mobil itu berhenti Laura bergegas menuju rumah sakit mengabaikan teriakan David di belakangnya. Laura bertemu Jason di lobi. Dia menarik lengan laki-laki itu dengan napas tersengal.

"Bagaimana keadaan Mario?" tanya Laura cemas.

"Apa yang kau katakan?" tanya Jason tidak mengerti.

"Mario, terjatuh. Apa dia baik-baik saja?"

"Lala aku tidak paham apa yang kau katakan." ucap Jason.

"Lucy bilang," Laura menahan kalimatnya.

Lucy sialan!

"Pasti Lucy mengerjaimu, setelah lingerie itu dia juga mengarang kejadian ini. Lala aku minta maaf atas nama Lucy. Dia berada di Boston." ucap Jason geli.

"Lucy kali ini aku tidak akan memaafkanmu." ucap Laura geram.

"Aku mendengar tentang lamaran itu. Aku tidak ingin campur namun mengenai penolakan itu. Mario sedikit tertekan. Lala, aku tidak tahu alasan kau selalu menolaknya, tapi kau harus memikirkan Mario. Dia laki-laki yang baik satu-satunya sahabatku, sejak dulu hingga sekarang dia tidak pernah menyentuh seorang gadis. Itu sebabnya dia selalu menentang keras jika aku bertindak berlebihan pada Lucy. Namun, saat ini aku tahu, Mario tidak bisa menahan keinginan itu. Terlebih kau gadis yang dicintainya dan kalian berdua memiliki prinsip yang sama. Lala, jika kau ragu dengan perasaanmu, lebih baik katakan dengan terus terang. Mario pasti mengerti."

"Terimakasih Jason." ucap Laura singkat.

"Kau tidak mencintainya bukan?"

Laura terkejut, dia tidak percaya Jason akan menanyakan hal itu. Jika Lucy mungkin Laura bisa menyangkalnya. Namun, Jason berbeda, laki-laki itu terlalu bijak untuk melihat sisi yang disembunyikannya.

"Aku tidak akan mengatakannya pada Mario. Lala kau pasti mengerti jika cinta tidak bisa dipaksakan. Kau tidak boleh melukai perasaannya karena hal ini. Sudah larut, aku akan mengantarmu pulang." ucap Jason.

Selama perjalanan pulang itu, Laura membisu. Dia hanya diam ketika Jason mengantarnya hingga unit apartemennya. Begitu Mario membuka pintu, laki-laki itu langsung memeluknya dan meminta Jason untuk singgah. Dengan sopan Jason menolak dan Laura merasa pandangan Jason seolah mengintimidasinya. Laura hanya mengangguk ketika Jason berpamitan. Dia melihat Jason hingga masuk kedalam lift. Setelah kepergian Jason, Laura melepaskan pelukan itu lalu melangkah menuju kamarnya. Mario mengikutinya dan duduk di sisi ranjang.

"Apa yang terjadi?" tanya Mario curiga.

"Tidak apa-apa aku hanya lelah." ucap Laura lirih.

"Aku mencarimu dan nyonya Miranda mengatakan kau sudah dipecat. Aku mencarimu di toko kerajinan tangan dan toko itu sudah terjual. Lala, apa yang sebenarnya terjadi?"

"Mario aku sungguh lelah. Malam ini, aku tidak bisa menemanimu bekerja. Maaf,"

"Bukan itu yang aku tanyakan Lala. Ada apa denganmu hari ini?" tanya Mario tidak puas dengan jawaban Laura.

"Mario aku lelah. Biarkan aku istirahat."

"Apa karena kau bekerja di apartemen itu lagi?"

"Mario kau mengikutiku?" tanya Laura tidak percaya.

"Aku tidak ingin sesuatu terjadi padamu. Dan aku meminta seseorang mengawasimu. Lala jangan marah aku hanya,"

"Mario tinggalkan aku sendiri."

"Lala,"

"Biarkan aku sendiri!" teriak Laura.

Laura tahu, Mario terkejut dan tidak bisa mengendalikan ekspresi wajahnya. Mungkin mengecewakan bagi Mario, tapi Laura tidak ingin memahaminya. Dia lelah, sebenarnya bukan lelah karena pekerjaan.

Melainkan.

"Malam ini aku menginap di rumah Jason. Lala, kau bisa menenangkan diri dan jangan lupa minum obatmu." ucap Mario mencium kening Laura sekilas lalu meninggalkan tempat itu.

Lagi, Laura mengecewakan Mario. Dia seperti tokoh antagonis dalam setiap kisahnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status