"Kau mau kemana, Bram? Tunggu ibu, apa kau yakin menyewa rumah kecil ini?"
Bram berhenti dan menatap ibunya. Dia sangat kesal dengan keegoisan keluarganya, mereka masih tak sadar, kalau sedang dalam masalah besar saat ini."Ibu tau, kita tak jadi pergi liburan dan semuanya hangus begitu saja. Uang penjualan rumah hanya tersisa sedikit lagi. Aku harus membuat bapak Amara tak jadi melaporkan kita ke polisi."Bram melangkah pergi. Dia harus segera bertindak, jika tak mau masuk penjara. Satu-satunya cara hanya dengan mengembalikan uang Amara."50 juta sudah aku transfer ke rekening Amara. Semoga bapak mau mengurungkan niatnya untuk melapor ke polisi," ujarnya pelan."Memangnya kau yakin, dengan mengembalikan uang itu, mertuamu tak akan melanjutkan laporan ke kantor polisi, Bram?"Rudi, teman kerja yang dia minta untuk menemaninya ke bank untuk setor tunai. Bertanya seolah tak pasti, kalau laporan akan diurungkan setelah menerima uang dari sahabatnya."Aku hanya bisa berharap mertuaku tak ingkar janji, apalagi aku sudah tambahkan dua juta sebagai bunga."Bram benar-benar tak tau diri. Dia pikir semua beres setelah dia mengembalikan uang kiriman mertuanya dan menambahkan dua juta. Tanpa mengingat keadaan istrinya yang sekarang menghilang."Sebenarnya apa yang terjadi, Bram? Malam itu aku bertemu dengan Amara, tapi dia kabur begitu melihatku."Bram terkejut lalu menatap Rudi. Dia heran kenapa pria itu baru bicara sekarang."Kapan kau bertemu dengan Amara? Kenapa kau baru bicara sekarang, saat aku kehilangan dirinya?"Bukannya menjawab Rudi justru tertawa. Dia seolah mengejek ucapan Bram barusan."Untuk apa aku bicara padamu? Pertama karena kau tak bertanya, kedua keadaan Amara begitu berantakan. Saat aku temui kau di rumahmu, ternyata aku dengar kau baru duel dengannya jadi buat apa aku bilang."Rudi tertawa, lalu melangkah menuju ke motornya. Dia menunggu Bram naik, baru mereka meninggalkan bank."Kalau masih ada uang jangan di bawa kemana-mana, Bram. Bagus kau simpan di bank saja."Mendengar ucapan Rudi, Bram tertawa sedih. Apa yang mau di simpan kalau uangnya semua sudah habis. Tersisa tiga juta saja untuk bertahan hingga akhir bulan."Apa kau bilang, Bram? Uang penjualan rumah tersisa tiga juta. Bukankah seharusnya masih ada sekitar 55 juta lagi. Kemana sisanya kau buat?"Bram menarik napas saat mendengar teriakan ibunya. Dia terpaksa menjelaskan kemana perginya uang itu."Kau kirim ke rekening Amara sebanyak 50 juta. Apa kau sudah gila, Bram? Itu uang penjualan rumah ibu."Brak ....Bram mengebrak meja. Dia sangat kesal mendengar teriakan ibunya, wanita itu seolah tak ingat ancaman bapak Amara, kalau akan melaporkan mereka jika tak mengembalikan uang anaknya."Seharusnya kau jangan bodoh, Bram. Uang Amara kan uangmu juga, mana bisa dijadikan bukti untuk melaporkan kita."Bram menarik napas sekali lagi. Dia tak perduli ucapan ibunya yang penting sekarang dia merasa aman dulu. "Sekarang cari istrimu itu. Ibu mau uang kita kembali, enak saja dia mau menikmati uang penjualan rumah ibu."Brak ... Brak ...Sebelum Bram menjawab ucapan ibunya. Mereka dikejutkan dengan gedoran di depan pintu rumah, membuat Bram dan ibunya melompat karena kaget. Mereka segera bergegas keluar untuk melihat apa yang terjadi."Rumah kontrakan ini satu dinding, apa tak bisa kalian bicara pelan sedikit. Pusing aku dengar suara kalian setiap hari tak kenal waktu, teriak-teriak meski bicara berhadapan."Bram dan ibunya terdiam, saat melihat seorang pria berkepala botak. Kedua pelipisnya di tempeli koyok, sepertinya dia sedang sakit kepala."Memangnya kenapa kalau kami bicara keras-keras? Ini hak kami karena sudah bayar sewa selama setahun, jadi jangan sok karena kita sama-sama pengontrak di sini."Bram terkejut karena mendengar ibunya melawan. Sudah jelas mereka yang salah karena membuat keributan. "Bu, tolong kecilkan suara, mereka terganggu karena kita. Tolong jangan membuat kita susah lagi."Bram berusaha menenangkan ibunya, tapi wanita itu semakin berteriak, seolah tak terima karena pria botak itu. "Sudah Jono, kau masuk saja, biar ibu yang menghadapi wanita tak tau adab ini. Kami sudah sabar sejak kalian datang, tapi semakin lama kok semakin ngelunjak."Seorang wanita tampak berjalan menghampiri. Dia jelas emosi saat mendengar ucapan ibu Bram yang tak mau mengalah meski tau salah. "Sini kau perempuan kurang ajar, aku lawanmu sekarang."Wanita itu menghampiri ibu Bram dan menghajarnya. Semua orang terkejut, namun segera menarik tubuh kedua wanita yang sudah bergelut seperti sumo itu. "Bram tolong, lepaskan wanita gila ini. Kepala ibu sakit ini!"Mendengar teriakan ibunya Bram yang terdengar kesakitan. Membuat wanita yang menyerangnya semakin senang. "Rasakan perempuan sombong, dibilangi baik-baik gak mau dengar," ujarnya ketus."Cukup Mak Romlah. Kau bisa membuatnya botak kalau begitu." Mendengar suara seorang pria yang dia kenali. Mak Romlah segera melepaskan ibu Bram."Apa kalian tak punya malu, ribut sama tetangga sendiri? Apa perlu aku datang kemari daripada kalian bicara baik-baik?" Pria itu terlihat kesal, karena harus datang jauh-jauh untuk melihat warganya bertengkar. "Warga baru ini yang berulah. Dia tak mau dengar kalau suaranya menganggu orang lain."Jono baru pulang jaga malam. Dia sakit kepala sejak pagi, tapi kedua orang ini bicara tak bisa pelan. Suaranya sampai tembus ke rumah kami semua, lihat anak Siti juga tak bisa tenang di dalam rumahnya."Semua orang melihat kearah wanita yang mengendong seorang bayi. Terlihat sekali dia lelah, karena mengendong anaknya sejak tadi pagi. "Anak saya sedang rewel pak RT. Sedangkan mereka terus saja berteriak, membuat bayiku tak bisa tidur."Siti berkata dengan nada pelan. Dia merasa tak enak dengan Bram dan ibunya. "Dengar kan betapa menyusahkan mereka. Sudah tinggal di tengah tak bisa pelan kalau bicara, apa anak lelakinya tuli, sampai harus teriak kalau bicara. Satu lagi, kedua anak gadisnya kerja atau kuliah? Kenapa selalu pulang larut malam, jangan sampai mereka bikin malu wilayah kita."Bram terkejut karena wanita ini mulai membawa-bawa kedua adiknya. Dia mulai kesal, karena nada bicaranya seolah kedua adiknya bukan gadis baik-baik. "Tolong, kalau bicara di jaga, Bu. Jangan karena saya diam, terus anda merembet kemana-mana. Kedua adikku ada urusan, memangnya kenapa kalau pulang malam?"Mendengar ucapan Bram yang terlihat kesal. Pak RT segera menengahi pertengkaran mereka semua. "Sudah-sudah mau sampai kapan kalian ribut? Apa perlu saya usir kalian semua dari sini?"Kali ini pak RT berkata dengan nada keras. Dia tak mau warganya bertengkar seperti ini, dia merasa wilayahnya tak akan tenang, jika ada yang memulai keributan. "Selama ini wilayah ku tenang dan aman saja. Aku tak mau karena kedatangan kalian memancing keributan, aku bisa saja mengusir siapa saja biang keroknya, jadi tolong kerjasamanya untuk membuat tempat ini aman dan tenang."Mendengar ucapan pak RT semua orang terdiam. Mereka takut dan segan pada pria yang telah banyak membantu mereka selama ini."Sudah, kita selesaikan sampai disini. Kalau ada yang tak senang, silahkan pergi dari tempat ini." Pak RT menatap ibu Bram yang terlihat bersungut-sungut. Wanita itu seolah tak perduli, dengan pria yang masih berada di depan rumahnya."Apa ibu mau pergi dari kampung ini? Atau berdamai dengan warga lama? Sebagai warga baru, seharusnya berbuat baik bukan seperti ini bersikap." Ibu Bram tak menjawab, dia memilih masuk ke dalam rumah. Dia merasa pak RT tak bersikap adil hanya karena mereka warga baru."Ayo masuk Bram, kita belum selesai bicara. Heran ada aja gangguan dari kemarin." Siti menunduk karena dia merasa gangguan itu adalah dia, karena anaknya rewel sejak kemarin, akibat imunisasi jadi agak demam."Silahkan masuk rumah mbak Siti, kasihan adik Shifa di luar dari tadi." Siti segera masuk ke rumah. Dia merasa tenang karena bisa istirahat sebentar, kalau anaknya mau tidur."Saya minta maaf, kalau telah menganggu warga sini pak. Saya akan meminta ibu bicara pelan-pelan mulai sekarang." Bram segera meminta maaf, dia tak mau urusan semakin panjang. Karena tak mau harus cari kontrakan baru dan pindah lagi."Baiklah kalau begitu, tolong bersikap baik pada tetangga. Mereka tak akan membantu, kalau kita ada masalah." Bram mengangguk, dia segera masuk ke rumah, setelah melihat pak RT meninggalkan halaman rumahnya. Tak lama kedua adiknya pulang dengan wajah kesal."Tolong kalau bicara pelan- pelan. Kalau tidak kita pasti akan di usir dari sini, kalau masih saja teriak kalau bicara." Bram segera mengingatkan, karena kedua adiknya terlihat kesal. Dia tau keduanya pasti akan marah-marah seperti biasanya. "Tapi masalah apa yang membuat mereka kesal," tanya Bram dalam hati.Tok ...tok ...."Mbak Amara, buka pintu cepat!"Amara bergegas membuka pintu. Karena terburu-buru kakinya sampai menendang kaki kursi, sakit luar biasa tapi dia tak perduli, karena takut terjadi sesuatu pada Bram suaminya."A ... Ada apa, ada apa?"Amara mencari keberadaan suaminya, namun hanya ada kedua adik iparnya yang menatapnya dengan pandangan aneh."Mbak sudah gila, Ya. Kenapa keluar dengan keadaan seperti ini? Memalukan, apa tak bisa pakai baju atau handuk, agar tak kelihatan basah semua rokmu." Amara terduduk lemas dia berlari karena kalut. Dia sedang mencuci baju tentu semua bajunya basah, teriakan adik iparnya sungguh membuatnya emosi.Plak ... Plak ....Kedua adik iparnya terkejut, saat merasa perih di pipi mereka. Amara memberikan masing-masing satu tamparan. "Apa tak ada otak kalian berdua? Sekolah tinggi-tinggi tapi tak beradab. Apa begini cara bertamu ke rumah orang? Kalian hampir membuatku mati karena terkejut. Apalagi yang kalian inginkan sekarang?!" pekiknyaAmara s
Bab9 (Gara-Gara Mesin Cuci)"Kau lihat itu istrimu, dia bahkan membeli mesin cuci. Daripada boros, uangnya kan bisa untuk DP motor buat adikmu sekolah." Dua hari setelah keributan bersama kedua iparnya. Kini sang ibu mertua datang-datang mengamuk karena Amara membeli mesin cuci.Brak ....Amara mengebrak meja, dia sudah capek menghadapi keluarga suaminya yang semakin tidak manusiawi. Bahkan untuk mesin cuci saja mertuanya datang bersama para tetangga."Cukup! Aku sudah muak, Bu. Memangnya kenapa kalau aku beli mesin cuci? Asal ibu tau, tak ada uang mas Bram yang aku pakai untuk membeli mesin cuci ini."Amara berteriak dia sudah sangat kehabisan kesabaran. Apalagi saat melihat suaminya hanya diam saja."Kenapa kau tak bicara, Mas. Katakan kalau mesin cuci ini aku beli, mengunakan uang kiriman bapak. Uang yang sebagian besar dinikmati oleh ...," ucap Amara yang terpotong pekikan Bram."Cukup Amara! Kau tak perlu berteriak, saat bicara dengan ibu. Apa kau tak punya sopan-santun." Amara m
Husin dan istrinya menatap seorang wanita yang duduk dengan pandangan kosong. Dari balik jendela kaca mereka hanya bisa menyeka airmata, karena wanita yang di ruangan itu tak lain adalah Amara putri mereka."Dia sudah mulai membaik, Pak. Setelah menemui psikolog beberapa kali." Husin berbalik, lalu menatap seorang pria yang mengaku telah menolong Amara."Malam itu saya menolong, saat seorang pria mencoba melecehkan dirinya. Dengan sekuat tenaga dia mempertahankan kehormatannya, hingga tanpa sadar telah mengalami pendarahan." Husin kembali menarik napas, dia tak menyangka putrinya mengalami nasib yang begitu menyedihkan."Apa pria itu berhasil di tangkap?" tanya Husin. Pria itu menarik napas saat melihat pria muda di depannya mengelengkan kepala. Ada sesal karena tak berhasil melihat wajah pelaku yang membuat putrinya berakhir di rumah sakit jiwa."Dia tidak gila hanya depresi saja. Saat ini kami sengaja membawanya bertemu psikiater, kami berusaha menyembuhkan dirinya." Husin mendekati
POV : Amara.Aku memilih keluar dari rumah untuk menenangkan diri. Masalah demi masalah membuatku hampir gila. Belum lagi ketika mengetahui, betapa hinanya pria yang aku nikahi. Dia rela mendatangi pangkalan demi memuaskan nafsunya."Setan!"Aku berteriak sembari menendang kaleng kosong bekas minuman. Terlalu emosi hingga tak menyadari seseorang mengikuti sedari tadi. "Kau tak perlu marah-marah, kita bisa bersenang-senang seperti yang Bram lakukan."Aku terkejut saat seorang pria berdiri di depanku. Sepertinya dia mengenalku buktinya dia menyebut nama mas Bram. "Kau tau Ara, aku selalu memimpikan mu sejak Bram berkata. Kalau kau jauh lebih hebat dari wanita-wanita pangkalan, itu salah satu alasan kenapa Bram menolak ketika diajak pergi, namun akhirnya dia mulai mencoba mendatangi pangkalan. Mungkin ingin merasakan perbedaan istrinya dengan pela**r."Aku terkejut mendengar ucapan pria asing ini bicara. Aku bisa menyimpulkan kalau dia teman mas Bram, kurang ajarnya lagi, mas Bram membic
Teriakan mas Bram tak membuatku takut lagi. Kini sebuah ponsel telah aku miliki, setelah dua bulan menipu mereka semua soal uang kiriman bapak."Aku membeli ponsel baru, sama seperti punyamu. Jangan protes karena ini mengunakan uang pemberian bapak, kalau kau tak suka kita pisah saja, bapak pasti mengerti karena aku sendiri yang akan bilang." Aku menarik napas berharap mas Bram takut. Ternyata ancamanku berguna juga, mas Bram takut aku minta cerai."Sial, kalau begini tak perlu begitu lama tersiksa, hidup tanpa uang bersama mas Bram," pikirku."Kenapa kau tak mau mengerti juga. Kita hanya perlu bertahan lima tahun saja, sampai angsuran motor itu selesai. Setelah itu kita terbebas dari ketua adikku karena mereka sudah tamat sekolah." Aku mendengus kesal, ini sudah hampir lewat dua tahun. Aku masih diminta bersabar lagi, apa mas Bram mau aku benar-benar gila."Maaf aku tak bisa lagi mas, jangankan lima tahun, sekarang saja aku sudah mulai tak waras."Aku pergi meninggalkan mas Bram. Lal
Brak ....Husin mengebrak meja dia tak sadar tengah berada di mana. Ucapan Amara sungguh membuatnya emosi. "Kau sudah hampir gila, Ara. Tapi kau masih berat berpisah dengan Bram, dimana akalmu tersimpan?"Husin sampai kehabisan akal untuk menyadarkan anaknya. Dia merasa Amara memang sudah gila, karena masih berat melepaskan Bram suaminya. "Aku sudah kehilangan segalanya, Pak. Bram tak boleh lepas begitu saja, aku yakin pria yang mencoba memperkosaku adalah temannya," ucap Amara.Husin dan istrinya terkejut, mereka menatap Amara seolah tak percaya. Apalagi kalau orang yang membuat mereka kehilangan calon cucu adalah teman Bram. "Lalu apa rencanamu? Jangan bilang kau berniat kembali dengan Bram untuk balas dendam."Mendengar pertanyaan bapaknya, Amara tampak terdiam karena dia belum punya rencana untuk membalas dendam. "Aku bisa membantumu, Ra. Aku tau dimana suamimu kerja, mungkin kau bisa temukan pria, yang hendak memperkosa-mu itu di tempat yang sama."Kali ini semua orang menatap Ik
"Saudara Bramantyo, anda sudah terlalu banyak Meminta ijin cuti. Sehingga banyak pekerjaan yang terbengkalai, saya harap anda mulai memperbaiki kinerja di perusahaan ini, kalau tidak dengan terpaksa anda kami pecat."Bram menarik napas saat mendengar ucapan HRD. Dia memang sering cuti sejak kepergian Amara, sehingga pekerjaannya menjadi berantakan."Baik pak, saya akan memperbaiki kinerja saja. Terima kasih telah memberi saya kesempatan kedua."Bram segera keluar setelah diijinkan untuk pergi. Dengan langkah lemas dia menuju ke meja kerjanya, namun saat di lorong ia bertemu seorang wanita yang sama persis dengan Amara."Sayang, kau kemana saja, syukurlah kau mau menemui aku lagi."Plak ...plak ....Bram menyentuh kedua pipinya yang terasa perih. Setelah melepas pelukan di tubuh wanita yang mirip Amara, dia di hadiahi dua kali tamparan."Kurang ajar, berani sekali orang miskin sepertimu menyentuhku!" teriak wanita itu Bram terkejut dia sampai mundur. Dia melihat tatapan jijik dari waj
"Sudah berapa lama kalian bekerja di perusahaan ini? Apa begini cara kerja kalian? Pantas perusahaan ini tak berkembang. Ternyata hanya memberi gaji buta pada kalian."Hari pertama Amara bekerja, sudah membuat Bram dan Rudi malu luar biasa. Amara berteriak di tengah-tengah para pegawai yang hendak pergi makan siang. Tadi saat Amara memasuki ruangannya sudah membuat Bram dan Rudi terkejut, siangnya baru mereka paham Wanita yang mirip Amara ini kejam dan tidak punya perasaan."Membuat laporan seperti ini, anak kecil juga bisa. Kalian berdua perbaiki ini, sebelum pulang aku mau sudah ada di atas mejaku!" pekiknya.Bram dan Rudi saling menatap. Mereka tak percaya harus mengulang membuat laporan itu, mana harus selesai sebelum pulang pula. "Siapa sih yang menerima mereka bekerja, Mas? Menyusun laporan saja masih berantakan. Heran saja perusahaan sebesar ini memiliki pekerja seperti mereka."Bram dan Rudi terus menerus menarik napas panjang, karena Amara terlihat marah-marah. Meski melalui