Share

Gara-Gara Mesin Cuci.

Bab9 (Gara-Gara Mesin Cuci)

"Kau lihat itu istrimu, dia bahkan membeli mesin cuci. Daripada boros, uangnya kan bisa untuk DP motor buat adikmu sekolah." Dua hari setelah keributan bersama kedua iparnya. Kini sang ibu mertua datang-datang mengamuk karena Amara membeli mesin cuci.

Brak ....

Amara mengebrak meja, dia sudah capek menghadapi keluarga suaminya yang semakin tidak manusiawi. Bahkan untuk mesin cuci saja mertuanya datang bersama para tetangga.

"Cukup! Aku sudah muak, Bu. Memangnya kenapa kalau aku beli mesin cuci? Asal ibu tau, tak ada uang mas Bram yang aku pakai untuk membeli mesin cuci ini."

Amara berteriak dia sudah sangat kehabisan kesabaran. Apalagi saat melihat suaminya hanya diam saja.

"Kenapa kau tak bicara, Mas. Katakan kalau mesin cuci ini aku beli, mengunakan uang kiriman bapak. Uang yang sebagian besar dinikmati oleh ...," ucap Amara yang terpotong pekikan Bram.

"Cukup Amara! Kau tak perlu berteriak, saat bicara dengan ibu. Apa kau tak punya sopan-santun." Amara melotot karena Bram memotong ucapannya, hanya untuk melindungi harga dirinya sebagai suami, itu membuat Amara semakin muak.

"Kalau begitu katakan pada ibumu. Mulai sekarang jangan takut dengan uang anaknya, tak akan aku minta sepeserpun, kalau perlu kita pisah saja agar ibu dan adikmu puas menikmatinya." Bram terkejut, dia tak menyangka Amara akan semarah itu. Para tetangga yang dibawa ibunya, untuk melihat mesin cuci yang dibeli istrinya perlahan menghilang.

"Sejak kapan mertuamu kirim uang, Bram? Pandai istrimu bicara untuk menutupi kecurangannya. Dia pikir aku tak tau, kalau dia pandai mengurangi uang belanja." Mendengar ucapan mertuanya membuat Amara kembali murka. Dia melempar gelas yang hendak dia pakai untuk minum, lalu menatap Bram dan ibunya.

"Sejak aku menikah Bu, jangan bilang ibu tak tau soal itu. Bukankah ibu bisa berhitung, berapa gaji mas Bram dan berapa uang yang kalian makan." Amara berkata sinis. Dia juga tersenyum pada suaminya, pria itu terlihat gugup namun masih bersikap angkuh.

"Baiklah kalau kau memilih diam, Mas. Sebelum kita pisah, aku ingin tau sampai mana harga dirimu itu bertahan." Amara semakin muak, dia memilih untuk bergegas pergi saja. Dia membiarkan Bram dan ibunya mematung, mungkin masih tak percaya, kalau Amara bisa berubah seperti itu.

"Mau kemana kau, Ara. Siapkan dulu makanan, kami sudah lapar," ujar Bram.

"Minta ibumu masak biar dia tau, anaknya tak punya uang untuk membeli makanan di rumah istrinya." Amara berkata dengan nada ketus. Lalu melangkah keluar, menuju warung bakso kesukaannya.

"Belikan bakso saja kami tunggu di rumah!" pekik Bram.

Dia yakin Amara akan pergi menuju warung bakso langganannya, sengaja dia minta agar dibelikan bakso saja, karena tak ada makanan di rumahnya. "Mau dibawa kemana mesin cuci itu?!" teriak Amara.

Wanita itu berteriak sangat keras, hingga mengundang para tetangga. Bukan tak ada alasan dia berteriak, karena mesin cuci yang baru dia beli, telah berada di atas becak orang yang terkenal membeli barang bekas. "Ibu jual karena kau tak membutuhkan itu. Uangnya bisa untuk sekolah adik Bram."

Amara menarik napas panjang lalu kembali berteriak. Bram terlihat ketakutan melihat wajah istrinya. "Kau turunkan mesin cuci itu, lalu tinggalkan rumahku. Asal tau saja rumah ini pemberian bapak, jadi jangan sok berkuasa disini. Bilang ibumu jangan biadab jadi orang, main jual barang orang mau jadi maling juga."

Mendengar teriakan Amara, membuat mertuanya marah besar. Apalagi saat orang yang membeli mesin cuci, menurunkan kembali benda itu. "Dasar menantu kurang ajar, kau membuat aku malu."

****

"Kau keterlaluan, Ara. Hanya karena mesin cuci kau melawan ibuku," ucap Bram dengan kesal. "Itu bukan urusanku, Mas. Sudah cukup aku mengalah selama ini, aku juga bisa merasa lelah." Amara meraih gelas lalu mengisinya dengan air sampai penuh.

Setelah ribut dengan mertuanya dia benar-benar haus. Air dingin itu bisa sedikit menenangkannya, meski amarahnya belum mereda karena wajah dan ucapan suaminya "Aku lelah lahir dan batin, apa kau mengerti itu? Andai kau sedikit saja mengerti, aku tak akan menjadi seperti ini." Amara menarik napas lalu pergi ke kamarnya setelah meletakkan gelas yang baru dia pakai.

"Setelah kita menikah, kapan aku pernah melawanmu ataupun ibumu? Tidak pernah sekalipun, tapi apa yang aku dapatkan selain penghinaan dan penindasan yang tak ada habisnya. Selain itu, apa pernah kau berdiri sekali saja di sampingku untuk memberikan sedikit saja pembelaan?" tanya Amara dengan getir.

Bram terdiam mendengar keluh kesah istrinya. Sayangnya keluhan itu hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri, akhirnya meledak juga setelah wanita itu mengetahui pengkhianatan Bram.

Bram tidak tau berapa dalam luka yang dirasakan sang istri. Pria itu baru menyesal setelah semua sudah terjadi, sekarang dia berada di ambang kehancuran setelah kepergian Amara. "Menikahlah lagi dan cari wanita yang baik dan kaya. Jangan yang seperti istrimu itu, bisanya hanya menyusahkan kita saja." Bram memejamkan mata mendengar saran ibunya.

Dia tak mengerti kenapa ibunya begitu membenci istrinya. Setahunya selama menikah Amara memang penurut, tidak sekalipun dia menolak perintah atau permintaan ibunya, tapi kenapa sang ibu tidak menyukainya.

'Setelah menikah memang sebaiknya kalian pisah rumah. Meski terlihat harmonis dan baik-baik saja, tetap ada rasa segan dan tak enak di hati istri ataupun ibumu, Bram.' saran guru ngaji di kampungnya saat Bram meminta saran.

Sayang saran itu tidak berguna sama sekali, karena mereka hanya pisah tak terlalu jauh dari ibu Bram. Alasannya karena Bram masih tidak tega meninggalkan sang ibu tinggal bersama kedua adiknya, apalagi mereka perempuan. Sekarang dia hanya bisa berpikir kemana sang istri pergi dan menghilang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status