Brak ....
Husin mengebrak meja dia tak sadar tengah berada di mana. Ucapan Amara sungguh membuatnya emosi. "Kau sudah hampir gila, Ara. Tapi kau masih berat berpisah dengan Bram, dimana akalmu tersimpan?"Husin sampai kehabisan akal untuk menyadarkan anaknya. Dia merasa Amara memang sudah gila, karena masih berat melepaskan Bram suaminya. "Aku sudah kehilangan segalanya, Pak. Bram tak boleh lepas begitu saja, aku yakin pria yang mencoba memperkosaku adalah temannya," ucap Amara.Husin dan istrinya terkejut, mereka menatap Amara seolah tak percaya. Apalagi kalau orang yang membuat mereka kehilangan calon cucu adalah teman Bram. "Lalu apa rencanamu? Jangan bilang kau berniat kembali dengan Bram untuk balas dendam."Mendengar pertanyaan bapaknya, Amara tampak terdiam karena dia belum punya rencana untuk membalas dendam. "Aku bisa membantumu, Ra. Aku tau dimana suamimu kerja, mungkin kau bisa temukan pria, yang hendak memperkosa-mu itu di tempat yang sama."Kali ini semua orang menatap Ikhram. Mereka tak menyangka pria itu punya ide yang sangat bagus. "Gunakan pendidikanmu untuk masuk ke perusahaan itu. Aku akan membantumu."Amara masih diam, dia menatap Ikhram. Entah kenapa dia seolah mengenal pria ini, tapi sampai sekarang kepalanya sakit jika mencoba mengingatnya. "Siapa kau, Mas? Kenapa aku merasa kita pernah bertemu sebelumnya?"Kali ini semua orang menatap Ikhram, tapi pria itu hanya tersenyum. Membuat semua orang semakin penasaran, melihat wajah Amara dan kedua orangtuanya, membuat Ikhram masuk ke kamar yang selalu terkunci, lalu kembali membawa sebuah album foto. "Kau masih ingat foto ini, Ra. Aku rasa kau tak akan pernah mengingatnya."Amara menatap foto itu dan ingatannya mulai terbuka. Tanpa sadar mulutnya menyebut sesuatu. "Tonggos?"Ikhram tertawa, dia tak menyangka Amara bisa menyebut nama itu. Dia kembali tertawa saat Amara terlihat menutup mulutnya. "Tak mungkin? Bagaimana bisa kau berubah setampan ini."Plak ...."Aduh sakit, Bu!" pekik Amara.Semua orang tertawa, setelah mendengar ucapan Amara. Ikhram juga, kemudian dia menunjukkan sebuah foto di akhir album itu. "Tonggos adalah aku, sebelum merapikan gigi, Ra. Sekarang inilah aku anak yang selalu kau bela waktu SMP."Amara menelan ludah, dia tak menyangka akan bertemu dengan anak malang yang buruk rupa itu lagi. Walau sekarang dia sudah berubah menjadi sangat tampan. "Sekarang apa kau siap untuk balas dendam, aku akan membantumu untuk mewujudkan semuanya."Amara mengangguk, dia berharap untuk segera membalas sakit hatinya pada Bram. Juga mencari pria yang pernah berniat memperkosanya. "Kalau begitu, mulai besok kau harus ikut aku, untuk merubah penampilanmu. Jangan sampai Bram mengenalmu."Amara dan orangtuanya saling pandang. Husin segera mengeluarkan sebuah kartu ATM dan menyerahkan pada putrinya. "Gunakan ini untuk merubah penampilanmu, Ra. Ini uang hasil menjual rumahmu dan uang penganti dari Bram. Semoga cukup untuk modal membalas dendam pada mereka semua."Amara menangis sembari memeluk orangtuanya. Dia tak menyangka akan mengalami semua ini, sehingga harus melibatkan orangtuanya.****"Tolong lakukan perawatan tubuh untuknya. Nanti aku kembali lagi setelah dia selesai." Setelah beberapa hari berunding, akhirnya rencana itu dimulai dengan memperbaiki penampilan Amara. Ikhram membawanya ke sebuah klinik kecantikan, untuk melakukan perawatan."Tapi ini seperti terlalu berlebihan, Mas. Saya tak akan sanggup membayar semua ini." Ikhram tertawa, dia segera memberi tanda agar Amara di bawa masuk. Dia akan pergi untuk melakukan pekerjaan lainnya.Saat Amara sedang perawatan. Ikhram segera pergi menuju ke sebuah showroom mobil, dia harus total merubah Amara. Selain membantu Amara balas dendam, dia juga punya rencana lain untuk wanita itu.Saat menunggu Ikhram menjemput. Amara menatap cermin di depannya, jangankan Bram dia sendiri tak mengenali dirinya. Karena begitu takjub, dia sampai tak tau kedatangan Ikhram. Sama seperti Amara pria itu juga terpesona pada penampilan barunya."Cantik," ujar Ikhram lirih.Mendengar ucapan Ikhram membuat Amara terkejut. Dia segera berpaling dan menatap pria yang telah banyak membantunya, Ikhram mencoba menguasai dirinya karena masih terpesona pada wanita di depannya. "Kau memang terlihat semakin cantik, Ra. Aku rasa suamimu tak akan mengenalimu lagi sekarang."Amara tersenyum karena ucapan Ikhram benar. Sekarang dia akan lebih mudah membalas dendam pada suaminya. Saat Amara sedang bersiap membalas dendam, di tempat lain Bram sedang merasakan kesal luar biasa."Kau sudah pulang, Bram? Mana gajimu bulan ini. Biar ibu pegang daripada habis tak bersisa." Bram yang saat itu baru pulang kerja, terpaksa menyerahkan uang gajinya. Lalu menarik napas karena hanya di beri 300 ribu untuk beli bensin."Kita harus berhemat, Bram. Mulai besok kau bawa bekal dari rumah, jangan membeli makanan dari luar." Bram menatap sang ibu, dia tak menyangka nasibnya akan semalang ini, sejak kepergian Amara istrinya. "Dimana kau Ra? Pulanglah aku minta maaf."Bram terlihat mendesah dengan pelan. Membuat ibunya heran, namun tak lama kemudian dia kembali membawa segelas air putih untuk anak lelakinya. "Hidup harus di teruskan, Bram. Carilah wanita yang baik lalu nikahi, percuma kau tunggu Amara, entah masih hidup atau sudah mati anak itu."Bram menarik napas panjang, saat mendengar ucapan ibunya. Meski marah mendengarnya tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. "Jika ibu tak bisa bicara baik-baik lebih baik lagi kalau ibu diam. Aku tak mau ada kejadian buruk pada istriku, Bu."Bram berdiri dan langsung menuju ke kamarnya. Dia kesal mendengar ucapan ibunya seperti menyumpahi Amara. "Tak usah kau merajuk, Bram. Percuma kau bertingkah begini, belum tentu juga istrimu mau kembali, apalagi setelah bapaknya menjual rumahnya." Sang ibu terlihat tak senang, dengan tingkah laku Bram yang seolah merindukan Amara.Menurutnya Bram lebih baik mencari istri baru saja, daripada mengharapkan kepulangan Amara. "Bodoh, masih saja memikirkan perempuan tak berguna itu.""Saudara Bramantyo, anda sudah terlalu banyak Meminta ijin cuti. Sehingga banyak pekerjaan yang terbengkalai, saya harap anda mulai memperbaiki kinerja di perusahaan ini, kalau tidak dengan terpaksa anda kami pecat."Bram menarik napas saat mendengar ucapan HRD. Dia memang sering cuti sejak kepergian Amara, sehingga pekerjaannya menjadi berantakan."Baik pak, saya akan memperbaiki kinerja saja. Terima kasih telah memberi saya kesempatan kedua."Bram segera keluar setelah diijinkan untuk pergi. Dengan langkah lemas dia menuju ke meja kerjanya, namun saat di lorong ia bertemu seorang wanita yang sama persis dengan Amara."Sayang, kau kemana saja, syukurlah kau mau menemui aku lagi."Plak ...plak ....Bram menyentuh kedua pipinya yang terasa perih. Setelah melepas pelukan di tubuh wanita yang mirip Amara, dia di hadiahi dua kali tamparan."Kurang ajar, berani sekali orang miskin sepertimu menyentuhku!" teriak wanita itu Bram terkejut dia sampai mundur. Dia melihat tatapan jijik dari waj
"Sudah berapa lama kalian bekerja di perusahaan ini? Apa begini cara kerja kalian? Pantas perusahaan ini tak berkembang. Ternyata hanya memberi gaji buta pada kalian."Hari pertama Amara bekerja, sudah membuat Bram dan Rudi malu luar biasa. Amara berteriak di tengah-tengah para pegawai yang hendak pergi makan siang. Tadi saat Amara memasuki ruangannya sudah membuat Bram dan Rudi terkejut, siangnya baru mereka paham Wanita yang mirip Amara ini kejam dan tidak punya perasaan."Membuat laporan seperti ini, anak kecil juga bisa. Kalian berdua perbaiki ini, sebelum pulang aku mau sudah ada di atas mejaku!" pekiknya.Bram dan Rudi saling menatap. Mereka tak percaya harus mengulang membuat laporan itu, mana harus selesai sebelum pulang pula. "Siapa sih yang menerima mereka bekerja, Mas? Menyusun laporan saja masih berantakan. Heran saja perusahaan sebesar ini memiliki pekerja seperti mereka."Bram dan Rudi terus menerus menarik napas panjang, karena Amara terlihat marah-marah. Meski melalui
"Apa kau bilang Bram? Di pecat, kok bisa? Memangnya kesalahan apa yang kau lakukan?!" pekik ibu Bram.Wanita itu berteriak, setelah anaknya berkata, kalau dia sudah tidak berkerja lagi. Kali ini Bram harus menerima tatapan sinis, dari ibu dan kedua adiknya. "Memangnya kenapa kalau aku tak bekerja? Mulai sekarang kita hidup masing-masing. Aku sudah tak sanggup menafkahi kalian bertiga."Bram berkata dengan santai membuat kedua adiknya melotot. Karena mereka selalu mengandalkan uang dari Bram saja. "Ini tidak boleh terjadi Bu, sebentar lagi kami ujian, kalau tak membayar uang sekolah mana bisa ikut ujian. Setelah tamat kami juga mau kuliah, kalau mas Bram tidak kerja siapa yang membiayai kita?" rengek kedua adik Bram.Bram menarik napas mendengar ucapan adiknya. Ternyata selama ini Amara benar, dia terlalu memanjakan kedua adiknya, sehingga keduanya tak bisa bertahan. Ketika mereka tertimpa masalah keuangan. "Kau dimana Ara? Kenapa kau menghilang begini? Bahkan di persidangan kau juga t
"Tapi kita harus bagaiman lagi Bram, kalau kau di pecat? Selama ini hanya kau tulang punggung keluarga ini." Bram terlihat sedih mendengar ucapan ibunya. Dia tak menyangka nasibnya akan seburuk ini, kehilangan istri dan sekarang kehilangan pekerjaan. "Seandainya ibu sedikit saja berbuat baik pada Amara, semua ini tidak akan terjadi. Apa ibu tidak sadar kalau selama ini aku lebih condong memanjakan ibu daripada istriku, bahkan untuk nafkah saja dia menerima sisa dari ibu. Aku harus melunasi semua hutang ibu yang tak ada habisnya, sedangkan Amara tidak bicara apapun meski dia kekurangan, tapi apa yang ibu lakukan padanya selain menyakitinya. Seandainya ada kesempatan kedua aku ingin meminta maaf padanya, Bu. Tapi kemana aku harus mencarinya? Setelah dia pergi lalu menghilang begitu saja.Mana sidang cerai akan terus berlanjut, tapi sampai sekarang aku belum juga bertemu dengan Amara. Entah dimana dia bersembunyi." Bram terlihat bingung, matanya menatap nanar ke luar rumah. Seolah berh
'Aku tak tau, dia pergi dengan seorang pria yang menolongnya. Aku tak sempat memperkosanya.' Bram teringat ucapan Rudi tadi. Akhirnya dia hanya bisa menangis, dia baru tau apa yang menimpa Amara. Keributan di rumah Rudi, berakhir dengan pengusiran pria itu dari rumah mertuanya."Percuma kau menangis Bram. Semua sudah terjadi, menurut ibu itu bagus, jadi kau tak perlu berhubungan lagi dengan Amara. Dia pasti tak akan lepas dari keluarga besar Yanto," ucap ibu Bram dengan santai.Mendengar ucapan ibunya, Bram teringat nasib Yanto. Pria itu cacat seumur hidup, karena ketabrak mobil saat melarikan diri dari kejaran bang Poltak suami si Butet.Dia ingat jelas ucapan ibunya Yanto yang akan membalas dendam, karena suami dan anaknya sekarang hidup sengsara. "Anakku cacat, semua ini karena Amara. Aku bersumpah akan mencari dan menuntut balas padanya."Itu ucapan terakhir yang didengar Bram. sebelum dia pergi meninggalkan rumah lamanya, karena di jual oleh bapak Amara. Alasannya rumah itu pembe
Bram berlari dan segera berlutut, dia tau pria ini pasti merasakan sakit yang luar biasa, karena putrinya menderita di bawah perlindungannya."Maafkan Bram, Pak. Tolong beritahu di mana Amara berada, aku mau minta maaf." Bram menangis membuat Husin meludah ke tanah. Dia muak melihat tingkah Bram, seolah pria itu tengah bersandiwara di hadapannya."Sudah cukup Bram, semoga kau bisa memperbaiki diri meski tanpa Amara. Lepaskan dia, kalau memang kau mencintainya." Bram masih berlutut sambil menangis. Namun Husin tak mau tau lagi, dia tadi datang untuk melihat kehancuran menantunya, kini dia bisa melangkah dengan tenang, setelah melihat kedua pria itu saling menghancurkan."Dendam sudah terbalaskan, sekarang kita tinggal menunggu kehancuran Bram dan keluarganya. Mereka tak boleh hidup tenang setelah membuat Amara menderita." Husin menatap ikhram yang sedang mengemudikan mobil. Pria itu tersenyum seolah ikut senang setelah mengetahui yang terjadi pada Bram."Benar, ini pasti jadi berita ba
"Disini rupanya kau bersembunyi, Ara? Pantas berkeras minta cerai setelah kabur dari rumah, rupanya kau sudah dihidupi pria kaya dasar lont*."Plak ....Ibu Bram terkejut, saat merasakan pipinya terasa perih, setelah menerima tamparan dari Amara. Wanita itu menatap mantan menantunya yang dua bulan lalu baru ketuk palu. "Berani kau menamparku dasar murahan. Kau tinggalkan suami mu demi hidup mewah dengan pria kaya."Wanita itu kembali bicara menghina Amara. Dia tampak senang, saat beberapa orang warga datang karena ingin tau masalahnya."Ada apa ini Jeng? Apa kau kenal wanita ini?"Mendengar pertanyaan itu membuat ibu Bram tersenyum senang. Dia pasti akan membuat malu Amara yang telah menyengsarakan hidup Bram. "Tentu saja aku kenal, dia mantan menantuku yang pergi dari rumah, lalu menggugat cerai suaminya. Anakku yang malang terus mencari, sedang wanita ini hidup nyaman menjadi simpanan orang kaya."Amara mengepalkan tangannya, karena warga mulai berkomentar buruk padanya. Mantan mert
Bram terkejut saat seseorang memukul pagar tepat di depannya. Dia melotot saat melihat satpam berbadan tegap, menatapnya dengan pandangan curiga. "Mau apa kau menatap rumah ini? Mau melihat kondisinya untuk kau rampok, iya?"Bram mengelus dadanya karena terkejut. Untung dia tak punya penyakit jantung, kalau tidak mungkin sekarang dia sudah menjadi mayat, karena terkejut atas perbuatan satpam itu.."Dasar tidak punya otak. Kau hanya kacung, harusnya bersikap sopan pada tamu. Aku mau bertemu Amara, beritahu dia Bram ingin bertemu. Kalau perlu suruh keluar juga pria yang memelihara pelac** itu."Trang ...Trang ....Bram menutup kupingnya, saat satpam itu dengan beringas memukuli pagar dengan tongkat yang dia pegang. Bram berteriak, meminta pria itu untuk berhenti memukuli pagar. "Hentikan Beno? Kau menganggu ketenangan warga kampung. Untuk apa kau lakukan itu?"Amara bersama kedua orangtuanya keluar menemui satpam. Mereka melihat apa yang membuat Beno melotot keluar pagar."Kau?"Bram m