Amara, istriku yang baik dan penurut, tiba-tiba berkata kalau dia lelah hidup denganku. Apakah aku harus menikah lagi seperti permintaan ibu?
Lihat lebih banyak"Masih sakit?" tanya Ikhram sambil memijit punggungku. Astaga aku hanya istirahat satu jam, setelah itu dia menyiksaku hingga menjelang petang.Aku tidak menjawab pertanyaannya, hanya memukul tangannya dengan pelan, alasannya karena tangan itu mulai nakal lagi. Dia mulai meraba dari punggung lalu maju ke depan dan naik ke dada. "Pinggangku sudah seperti mau patah, entah gaya apa saja yang kau pakai." Aku mengomel sambil berjalan menuju ke kamar mandi. "Jangan bergerak tetap di tempatmu!" ujarku dengan suara naik satu oktaf. Dengan wajah sedih, Ikhram kembali duduk di tempat tidur. Sudah mendapat jatah berkali-kali masih belum puas juga, melihatnya duduk dengan patuh, membuatku tenang ketika masuk ke kamar mandi. Hingga tak butuh waktu lama aku sudah keluar dalam keadaan rambut basah. Sambil mengeringkan rambut dengan handuk, aku melihat Ikhram berbaring telentang dengan lengan menutupi matanya. Setelah menarik napas panjang, aku mendekatinya lalu menyentuh keningnya."Tidak sakit,
"Masih marah?" tanyaku saat sudah di dalam mobil, akhirnya kami bergerak menuju ke kota, tempat awal semua cerita tentang aku, Ikhram dan juga Bram. Bicara tentang Bram, aku baru tau tadi dari mulut anak Desi. Kalau pria itu tengah mengusahakan kebebasan adiknya, ironis saat orang dewasa gila membuat keributan, sedangkan anak-anak yang menjadi alasan keributan itu justru sudah baikan."Aku minta maaf, Rama. Kata nenek aku yang membuat ibu masuk penjara. Sekarang aku tidak tau akan tinggal dengan siapa, bapak juga tidak mau membawaku menemui "nenek" ibu dari ayah," ujar anak Dodi dengan sedih. "Semua akan baik-baik saja, sayang. Sekarang Dodi pulang dulu, jadi anak yang baik besok ibumu pasti pulang." Aku melirik Ikhram yang terdengar menarik napas dengan kesal. "Desi sudah kehilangan tangannya, aku rasa itu sudah lebih dari cukup untuknya. Sayang, biarkan dia bebas, kasihan Dodi karena dia yang akan menderita karena masalah ini." Aku memeluk pinggang Ikhram, diikuti Rama dan Rara
"Presdir, sekaligus pemilik perusahaan ARTAMA." Identitas itu cukup menghancurkan Bram dan istrinya. Sekarang mereka hanya bisa menunggu nasib sialnya, itu tidak menunggu lama, karena besok paginya saham perusahaan Maharani jatuh ke titik terendah.Aku hanya menarik napas panjang, tidak menyangka Bram akan kembali hancur karena ulah adiknya. "Kenapa, tak rela melihatnya menderita?" tanya Ikhram sinis."Ternyata cintaku masih ada untuknya?" jawabku datar. "A ... Apa yang kau bilang?!" pekik Ikhram seperti orang gila. "Huh, cari gara-gara dilawan berteriak kalap." Bara berkata dengan wajah datar."Apa yang kau lakukan, Am. Turunkan aku sekarang juga, turunkan aku!" Aku berteriak tapi Ikhram seolah tidak mendengarnya, dengan santai dia meminta ijin pada bapak lalu membawaku pergi.Di depan semua orang dia melajukan mobilnya, membawaku yang berteriak seperti orang gila. "Semakin lama kau semakin keterlaluan, aku harus memberimu pelajaran agar tidak asal bicara," ketusnya di depan wajahku
"Kalian bisa makan dengan tenang?" tanyaku dengan wajah garang. Dua orang pria yang tengah berebutan, mengambilkan makanan itu langsung terdiam.Mengambilkan makanan untuk kedua anak itu mereka berebut, lalu untuk bapak dan ibu juga sama, setelah itu gantian berebut mengambilkan makanan untukku. Bahkan piringku saja sudah penuh dengan makanan."Kau semakin kurus jadi harus makan banyak, aku rasa kau terlalu banyak makan hati jadi kurus begini, bagaimana kalau aku ajak kabur lagi?" Dengan wajah polos Bara mengajakku.Dia bahkan tidak melihat, iblis yang tengah menatapnya dengan pandangan membunuh. Anak ini semakin lama semakin berani, bahkan berani memprovokasi Ikhram. Konon Pak Abraham dan Aska saja, masih memiliki rasa segan pada pria ini. "Apa kau sudah bosan hidup, Bar? Kalau belum sebaiknya kau tutup mulut. Jika tidak kau tak akan sempat memiliki Melati," ancamku."Memangnya kenapa?" Astaga, pria ini masih saja bertanya. Rasanya ingin sekali aku lihat isi kepalanya, jangan-jangan
"Mami, Abang dan Adik sudah tidak bisa sekolah lagi?" tanya Rama yang membuatku tersentak, untung Ikhram segera menjawab pertanyaan itu, "Sekolah dong, tapi tidak di tempat itu lagi. Kita akan pindah dan masuk ke sekolah baru." Sayangnya aku justru terkejut dengan jawaban Ikhram. Sejak kapan dia memutuskan kami akan pindah, dengan bingung mau menatap bapak dan ibu, tapi mereka terlihat tenang seolah mereka sudah tau keputusan Ikhram itu. "Ikhram benar, sebaiknya kalian pindah. Selama ada keluarga mantanmu itu, kita tidak akan bisa tenang. Lagipula sebagai istri kau harus mengikuti kemana pun suamimu pergi." Aku melotot begitu mendengar ucapan bapak. Aku tidak menyangka dalam waktu sedemikian cepat, Ikhram kembali mengambil hati bapak dan ibu. "Kita bicarakan lagi nanti." Ikhram memegang tanganku lalu memberi tanda untuk diam."Terserah kau saja, aku akan keluar membeli sayuran dan daging untuk makan siang nanti." Aku beranjak keluar dan berjalan menuju ke gerobak tukang sayur. Sialn
"Memangnya kenapa, tidak mengijinkan aku dekat dengan Aska dan Bara?" tanyaku sambil menatap wajah suami yang menyebalkan itu."Masih perlu aku beritahukan alasannya?" jawab Ikhram dengan kesal. Aku mendengus lalu meninggalkannya, "Kalau tidak mau ngomong, gak usah pasang wajah seperti itu juga kali.""Mau kemana lagi?" tanyanya saat melihatku beranjak pergi. "Ke kamar melihat barang yang baru aku beli, selama ini aku bodoh telah mengabaikan uang yang sebanyak ini. Sekarang aku akan menghabiskan sebisaku selagi menjadi istrimu," ketusku sinis."Bagus, ada kemajuan jadi pergunakan sebanyak yang kau mau. Kalau habis aku akan kerja lebih keras lagi, asal bayaran cukup memuaskan di atas ranjang," bisiknya di telingaku. "Semakin lama kau semakin mesum, aku heran apa Kartika tidak cukup memuaskanmu," ujarku pelan. Tiba-tiba terdengar suara pintu di tutup dengan kencang, setelah itu aku terdorong hingga jatuh ke atas tempat tidur. Tidak lagi, pria ini masih mau berhubungan intim, setelah tad
"Sepi, katamu ada tamu," tanyaku dengan heran, karena begitu keluar dari kamar aku tidak mendengar, suara atau gerakan di ruang tamu. "Mana aku tau, kau yang menahanku tadi, mungkin saat ini Denis sudah membawa orang yang mencarimu itu pergi. Lagi pula siapa yang tahan, menunggu hampir dua jam tanpa kepastian," ujar Amara ketus. "Tuan." Tiba-tiba terdengar suara Denis, dari depan pintu penghubung ruang tamu dan ruang tengah. Aku dan Amara saling pandang lalu menarik napas panjang. "Padahal aku berniat membawamu kembali masuk ke kamar," ujarku lirih di telinga Amara. "Huh, maumu terus aja itu," ketus Amara sambil melangkah menuju ke dapur. "Nyonya, tidak usah membuatkan minuman lagi, karena saya sudah menyiapkan di depan." Aku tersenyum mendengar ucapan Denis ternyata dia gesit juga. "Nyonya Amara, tolong maafkan saya, saya mohon." Tiba-tiba seorang wanita mendekat lalu berlutut di depan istriku. Aku kesal begitu mengetahui siapa wanita itu. "Denis sepertinya kau semakin lambat da
Kekuasaan memang bisa membutakan mata, sayangnya pria ini terlalu buta sehingga tidak melihat kenyataan di depan mata. Cara bicaranya begitu arogan sehingga tidak menatap tingginya langit di atas sana."Bu Weni termasuk warga lama di sini, begitu juga dengan mbak Desi. Sedangkan kalian termasuk pendatang karena bukan warga sini, setahu saya baru beberapa bulan saja kalian datang kan?" tanya pria yang ternyata RT lingkungan sini. Aku mengerutkan kening, karena sepertinya dia tidak mengetahui tentang bapak dan ibu yang warga lama dari kampung ini. Aku menatapnya karena bingung, seharusnya dia mengenal bapak karena warga lama sini saja mengenal beliau."Apa kau mengenal Franky?" tanyaku tiba-tiba. Pria itu terdiam sebentar sebelum menganggukkan kepala. Aku tersenyum sinis lalu segera berdiri karena aku tak mau menghabiskan waktu dengan percuma."Kalau begitu silakan tinggalkan rumah mertuaku, kita ketemu di kantor polisi. Satu lagi temui Franky, aku rasa ada yang akan dia katakan padamu.
Aku baru saja keluar dari kamar mandi, ketika melihat Amara termenung sembari menatap ponselnya. Entah apa yang tengah dia pikirkan kali ini, apa mungkin tengah memikirkan Aska atau Bara."Ada apa? Termenung seperti itu?" tanyaku lirih sembari menahan emosiku. "Anakmu memukuli anak orang." Aku tersentak mendengar ucapan Amara. Mau bertanya lebih jelas tapi istriku itu sudah berlari seperti orang gila keluar kamar."Bapak." Amara memangil bapak yang juga tengah berjalan dengan wajah panik. "Seumur mereka hidup baru kali ini, Rama memukuli anak orang." Akhirnya aku baru sadar apa yang terjadi, dengan panik kami berlarian keluar rumah. "Ini?" Bapak, ibu dan Amara tercengang, begitu melihat dua motor gede terparkir di depan rumah. Denis menggaruk kepalanya, saat melihat keterkejutan di wajah ketiga orang itu. "Beri bapak kuncinya, satu lagi serahkan padaku." Bapak terpaku sejenak lalu mengambil kunci di tangah Denis. Setelah itu membantu ibu naik ke motor gede itu."Menantu kurang ajar,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.