Seorang gadis bertubuh tinggi, menatap dirinya di depan kaca besar. Helaan napas yang berat terdengar menyedihkan setiap kali bertemu dengan pantulan wajahnya di kaca. Tangannya bertumpu pada wastafel setelah membasuh wajah berkali-kali untuk menjernihkan pikirannya yang kalut. Gadis itu menunduk, dan membasuh lagi, sudah tidak terhitung berapa kali dia melakukan hal yang sama.
Park Hye Jin, perempuan dengan warna kulit medium—pertengahan antara cokelat, warna kulit terang dan zaitun—itu berdiri di toilet sejak 15 menit yang lalu. Kedua matanya tak berpaling dari pantulan dirinya sendiri di depan kaca, di waktu yang sama otaknya pun masih bekerja keras. Berkali-kali ponselnya berdering keras, tetapi ia tak menghiraukannya.
Aroma pengharum lantai terasa menyejukkan, toilet yang bersih dan nyaman. Namun, bukan hal tersebut yang membuat perempuan berdarah Korea Selatan-Indonesia itu berlama-lama di sana. Ia sedang menghindari seseorang yang sedari tadi menunggu dan menyerangnya dengan berpuluh-puluh panggilan.
“Kau sedang apa sih?” Pesan masuk membuat ponselnya menyala terang. Notifikasi lain pun datang bersamaan, dari orang yang berbeda. “Kau harus kembali dengan berita yang aku inginkan!” Pesan lain yang datang dari sosok yang lebih menyebalkan dari seseorang yang tengah menunggunya di depan toilet.
Tatapan kosong kedua matanya yang terbingkai bulu mata lentik, mengarah pada sebuah tanda pengenal yang beberapa menit lalu dilemparkan dengan santai ke pojok wastafel. Tulisan PERS dengan tinta merah yang jelas, dan nama Hye Jin Park tertulis di bawahnya. Dia menghela napas kasar, sambil menyambar benda itu lagi. Hye Jin ingin kabur dan menghindari tugas-tugas menguntit yang menyebalkan, tetapi rasa cinta pada pekerjaan tersebut membuatnya kembali lagi.
Perempuan itu memasukkan tanda pengenalnya ke dalam tas berikut dengan ponsel yang tidak mau berhenti berdering sejak tadi. Setelah mengikat rambut panjang berwarna hitam kecokelatan miliknya, dia melangkah dengan pasti meninggalkan aroma parfum yang segar di dalam ruangan itu.
Hye Jin terhenti sejenak, menatap kedua sepatu kets putih yang menutupi kedua kakinya. “Apa aku harus percaya padanya?” ragunya sambil memegangi knop pintu.
Hye Jin menyampirkan ranselnya di bahu sebelah kanan, sambil melangkah keluar dari toilet tersebut. Dalam hitungan detik, seseorang langsung menyerangnya dari arah kanan dengan tatapan kesal, wajahnya mengkerut, dan bibir merah mudanya mengerucut.
“Seonbae[1]! Kenapa lama sekali sih? Aku menunggumu hampir satu jam!” cecar seorang pria yang kini mengekor di belakang Hye Jin.
Hye Jin pun tak menggubris keluhan pria itu, ia malah celingak-celinguk mencari tempat duduk kosong. “Jangan banyak bicara!” ucapnya ketus sambil menoleh sejenak, “Kalau dia tidak muncul, maka aku tidak akan percaya lagi denganmu,” sambungnya sambil menjatuhkan tubuhnya di sebuah kursi kosong, tepat mengarah pada pintu keluar penumpang.
Suara seorang wanita di bagian informasi menggema ke seluruh penjuru, mengumandangkan nomor penerbangan untuk memberi tahu pada setiap penumpang yang menunggu. Hye Jin terdiam mendengarkan suara tersebut, layaknya menikmati sebuah lagu. Suara para penumpang tidak mau kalah, mereka saling berbincang-bincang, bertukar pikiran tentang tujuan kepergiannya.
Bandara Incheon-Korea Selatan memang tidak pernah sepi dari para pengunjung. Sejak tadi tidak henti orang-orang bermunculan dan berlalu lalang sambil menarik koper mereka. Ada pula orang-orang asing yang muncul dari pintu keluar, bersama Tour Guide yang tak berhenti menjelaskan dengan suara yang lantang. Wajah asing selalu menghiasi penjuru Korea Selatan, terlebih saat ini sedang musim dingin. Waktu yang tepat untuk berlibur, walau tubuh harus menggigil karena suhu yang mencapai sebelas derajat celcius.
Hye Jin akui bahwa Korea Selatan merupakan tempat wisata yang cukup baik untuk menghabiskan liburan panjang dan menikmati hari demi hari yang indah. Sekadar minum kopi di pinggir Sungai Han atau mengelilingi Myeongdong untuk menghabiskan uang, sudah menjadi ide terbaik saat menghabiskan waktu di Negeri Ginseng itu.
Hye Jin mendongakkan kepalanya, menatap pria yang sedari tadi berdiri di sampingnya dengan mata yang tidak berhenti menjelajahi setiap penjuru bandara. Ia menggelengkan kepala saat melihat kegigihan pria itu. Hye Jin melipat kedua tangannya di depan dada dan bersandar santai di kursi. “Ya[2]! Dia tidak akan muncul!” serunya.
“Tidak, Seonbae! Aku yakin dia pasti muncul,” jawabnya berani.
“Tidak akan, Dong Joon-a!” seru Hye Jin lagi. Gadis itu bangkit dan meninggalkan pria itu di sana.
Pria dengan nama lengkap Park Dong Joon itu merungut sedih, ia berusaha mensejajarkan langkahnya dengan sang senior, walau langkah gadis di depannya itu terlalu cepat. “Seonbae! Kenapa kau tidak percaya padaku?” tanyanya kesal, kedua kakinya mulai kesulitan mengejar gadis itu.
Hye Jin hanya melirik sejenak pada pria yang berjalan setengah berlari itu lewat ekor matanya yang tajam. Ia tak henti menghela napas mendengar keluhan-keluhan junior yang baru dua bulan bekerja dengannya itu. Ia hanya berjalan lebih cepat, menuju lantai B1 untuk ke stasiun kereta.
Seorang pria berdiri tepat setelah Hye Jin melangkahkan kakinya, dengan gerakan seribu bayangan tubuhnya sudah berada di kursi kosong tersebut. Sedangkan Dong Joon berdiri tidak jauh dari tempat Hye Jin, bertumpu pada handle grip untuk menjaga keseimbangan.
Tidak ada yang bisa dilihat di sekelilingnya, semua orang sibuk dengan ponsel mereka. Bahkan seorang wanita dengan perkiraan usia 40-an di sampingnya pun sibuk dengan ponsel canggih keluaran terbaru. Masyarakat telah hanyut dalam kenikmatan teknologi yang semakin canggih.
Saat ini, bukan lagi musimnya berlangganan koran harian yang dikirim ke rumah-rumah. Namun, masyarakat lebih memilih untuk membaca berita lewat ponsel mereka. Keberadaan Hye Jin termasuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan berita-berita di dunia.
Hye Jin mengangkat kepalanya setelah melihat dua orang di sisi kanan dan kirinya. Tepat saat itu sorot mata Dong Joon menembak ke arahnya, membuat gadis itu memusatka kedua matanya ke ponsel canggih merek Samsung yang baru dibelinya tiga bulan lalu. “Menakutkan!” gumamnya bergidik. Dia kini sibuk menjelejahi Siber perusahaannya.
HanNews adalah salah satu perusahaan Pers terbesar di Seoul-Korea Selatan. Perusahaan itu sudah berdiri sejak tahun 2010 dengan perkembangan yang begitu pesat setiap tahunnya. Setiap anggota Pers di sana memiliki latar belakang Pendidikan yang sempurna, termasuk dengan Hye Jin.
Seleksi untuk bergabung dengan perusahaan tersebut cukup sulit, otak yang cerdas tentu menjadi andalan utama. Jadi tak ada istilah “nepotisme” di sana, walau Hye Jin sempat meragukan hal tersebut setelah Dong Joon bergabung dan menjadi rekan kerjanya.
Dengan latar belakang seorang traveler, tanpa mengetahui dasar-dasar seputar PERS, pria berkulit cokelat—eksotis—itu telah mematahkan kepercayaan Hye Jin selama ini, bahwa perusahaannya juga memberlakukan sistem “Nepotisme”.
[1] Senior – Bahasa Korea, biasa dipakai sebagai panggilan formal.
[2] Hei- dalam bahasa Korea
Hye Jin melempar ranselnya dengan santai ke atas meja, membuat beberapa benda di atas meja itu berjatuhan. Ia membanting tubuhnya di kursi tanpa menghiraukan beberapa lembar kertas hingga pulpen yang berserakan di lantai.Walau tubuhnya terasa lelah, pikiran gadis itu tetap tertuju pada pekerjaan yang menumpuk di depan mata.Setelah menempelkan dua lembar koyo di pinggangnya, Hye Jin kembali menghadapi realita kehidupan di hadapannya. Realita bahwa semua pekerjaan di hadapannya tidak bisa selesai begitu saja, jika ia hanya duduk termenung meratapi nasib. Layar laptop dengan cahaya yang menyorot langsung ke retina, memaksanya untuk menuliskan beberapa kata di lembar Microsoft Word yang masih kosong. Namun, konsentrasinya sudah terkuras habis tanpa sisa, karena insiden hari ini.“Park Hye Jin-Ssi[1]!” panggil seorang wanita dari jarak yang tidak terlalu jauh. Posisinya sekarang hanya terpisahkan oleh dua meja dari tempat Hye
Hye Jin menyangga dagunya sembari meratapi layar laptop dengan wallpaper gif hujan salju yang diberi efek slow motion turun dari langit. Dinginnya salju dan ketenangan yang ia rasakan, membangunkan harapannya untuk dapat melihat salju yang sebenarnya. Musim dingin telah tiba, tetapi salju pertama belum juga datang. Matanya berpindah ke dinding kaca di ruangannya, menunggu salju menghampiri menawarkan ketenangan.“Seonbae!” Dong Joon meletakkan secangkir kopi hangat di hadapan Hye Jin. Ia berdiri tegak, sambil menundukkan kepalanya. “Kau belum bicara denganku sejak kemarin,” keluhnya manja dengan bibir yang mengerucut. Usianya sudah 25 tahun, tetapi sikapnya seperti bocah 6 tahun.Hye Jin melirik sejenak secangkir kopi di hadapannya. Warna kecokelatan yang tenang dengan granul di atasnya, aromanya mulai mengambil alih konsentrasi gadis itu. Ia melirik pria yang memberikannya, sebelum memutuskan untuk menyeruput kopi
Musim panas, Seoul-Korea Selatan.Hye Jin duduk bersandar di Halte, sambil meneguk sebotol air mineral dingin. Di lehernya terdapat kamera Canon dengan resolusi cukup tinggi, serta tanda pengenal bertuliskan Trainee di depan dadanya. Setelah berkeliling kota mencari bahan berita untuk dilaporkan, gadis itu merehatkan diri sejenak sambil menselonjorkan kedua kakinya yang ingin melepaskan diri setelah disiksa berjalan jauh.“Ah … aku harap ada sebuah kejadian besar. Agar aku bisa kembali membawa berita yang spektakuler,” pintanya sambil menerawang ke langit yang terik karena cahaya matahari.Hye Jin memejamkan matanya sejenak yang terasa lengket seperti diberi perekat. Gadis yang baru menyelesaikan pendidikannya lima bulan lalu, dan memilih bergabung di salah satu perusahaan Pers terbesar harus kehilangan banyak waktu tidur. Tentu saja, tim kejahatan dan politik memang terkenal menyita waktu setiap anggotanya. Termasuk
Hye Jin menghempaskan tangan Polisi itu dengan kasar, kedua matanya menatap berani. Ia tidak terima. “Tadi Anda tidak menjawab pertanyaan saya, dan sekarang menarik tangan saya dengan kasar. Apakah Anda tidak keterlaluan memperlakukan masyarakat seperti itu? Apakah Anda tahu? Saya melakukan ini untuk bertahan hidup! Bertahan pada pekerjaan yang sangat sulit ini!” serunya lantang dengan kedua mata yang berkaca-kaca.Walau keringat membanjiri wajah gadis itu, dia tetap berdiri tegak melawan Polisi di hadapannya. “Seharusnya Anda menjawab pertanyaan saya tadi, jadi saya tidak perlu melangkah ke sini!” bentaknya sambil menyeka keringat yang mulai jatuh dari pelipisnya.Polisi itu terdiam, menatap gadis di hadapannya dengan tatapan kosong. “Terserah kau saja!” katanya, kemudian berlalu meninggalkan aroma Menthol yang menyengat.Deru napas Hye Jin menjadi tak karuan, perasaannya diporak-porandakan dalam hitungan menit. Wala
Semilir angin bergerak lamban, membuat beberapa helai rambut gadis itu menari-nari mengikuti arah angin. Sinar bintang yang terang, menjadi penunjuk jalan bagi jiwa yang kegelapan. Hye Jin menyandarkan tubuhnya di sebuah Halte yang sepi tanpa siapapun, hanya ada dirinya dan suara binatang malam yang menjadi melodi untuk kesendiriannya.Jemari kurusnya tidak berhenti memijat kedua kaki yang hampir kehilangan nyawa , setelah berjalan ke sana kemari mencari bahan berita. Seluruh anggota tubuhnya terasa ingin lepas satu persatu kemudian lari mencari tuan baru. Gadis itu menghela napas panjang saat mengetahui jadwal bus terakhir hari ini baru saja berangkat. Pantas saja tak ada satu pun orang yang menunggu bus lagi.Hye Jin melirik arloji berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, ia mendengus lelah. “Kalau jalan, bisa sampai jam sebelas. Kalau naik taksi, pasti mahal.” Dia menatap bintang malam sambil memikirkan cara untuk pulang. Waktu sudah
Hye Jin mendorong pintu restoran dengan nuansa klasik, gemerincing bel terdengar nyaring saat pintu yang terbuat dari kayu itu dibuka. Pencahayaan yang tidak terlalu terang, desain interior yang terkesan lampau, serta aroma daging yang khas, itulah kesan pertama yang didapatkan saat memasuki restoran yang telah menginjak usia 20 tahun tersebut. Gadis itu mengondisikan detak jantungnya yang berantakan, dengan kedua mata yang berkelana mencari sang kekasih di lantai satu. Entah dirinya yang terlalu gugup atau memang kekasihnya tidak ada di lantai satu, kedua matanya tak berhasil menangkap batang hidungnya sekali pun. Hye Jin menarik napas, dan mengembuskannya perlahan. Tangannya sibuk mengusap dada hingga terasa hangat, jantungnya sibuk berlarian tanpa henti. Ini bukan kali pertama baginya merayakan hari jadi bersama sang kekasih, tetapi setiap tahun rasanya seperti baru kali pertama. “Park Hye Jin-Ssi?” Seorang pelayan berseragam rapi menghampiri Hye
Suara mesin fax dan mesin foto kopi terletak dengan jarak yang tipis, saling bersahutan melakukan tugasnya. Cahaya pagi yang cerah, menerangi setiap sudut ruangan yang menampung dua puluh orang di dalamnya. Para manusia yang berada di balik rentetan kata berita-berita panas para aktor, aktris dan idol, di sanalah mereka bernaung.Denting jam besar yang terpasang di dinding ruangan tersebut, mengantarkan suara yang nyaring. Waktu baru menunjukkan pukul sepuluh pagi dan semua orang tertunduk menatap pekerjaan di hadapan wajah. Kening yang mengkerut, menautkan dua alis yang semula saling berjauhan, wajah yang terlipat-lipat metampakkan kesulitan.Konsentrasi penuh mereka dedikasikan untuk membuat berita panas, yang mampu mengaduk-aduk emosi pembacanya. Wajah serius mereka metampakkan perintah ‘Jangan ganggu!’ yang terlukis jelas.Ada yang sepenuhnya mendedikasikan diri untuk menciptakan hal yang terbaik, ada pula yang setengah hati dalam menjalani peker
Saat pria itu mulai memposisikan ponsel layar sentuhnya di tempat yang aman, Hye Jin masih mengawasi gerak-gerik gadis muda itu dan Jae Ha yang baru keluar dari mobilnya dengan ekspresi kesal. Berkali-kali Aktor yang selalu memerankan peran protagonis dalam setiap dramanya itu, menunjuk-nunjuk wajah gadis tersebut dengan sorot mata yang tajam. Bentakan yang keras dan kasar juga keluar dari mulut Aktor dengan imej lembut di dunia hiburan tersebut. Nada bicara yang tinggi, dengan kata-kata kasar, serta alur pembicaraan yang sulit dimengerti. Berkali-kali gadis tersebut mengelak dan melawan saat tangannya ditarik oleh Aktor yang baru berusia 27 tahun itu. “Bukankah mereka sedang bertengkar?” Hye Jin menoleh sejenak pada rekan kerjanya yang masih sibuk mengatur posisi kamera ponsel. “Sepertinya begitu!” jawab Dong Joon tanpa memindahkan pandangannya. Dia tersenyum puas melihat hasil pengambilan gambar hari ini. Gadis itu pun pergi setelah Jae Ha memaksany