Share

Secret Of The "Black"
Secret Of The "Black"
Author: Adinda Destiana Zein

1. Stalker-

Seorang gadis bertubuh tinggi, menatap dirinya di depan kaca besar. Helaan napas yang berat terdengar menyedihkan setiap kali bertemu dengan pantulan wajahnya di kaca. Tangannya bertumpu pada wastafel setelah membasuh wajah berkali-kali untuk menjernihkan pikirannya yang kalut. Gadis itu menunduk, dan membasuh lagi, sudah tidak terhitung berapa kali dia melakukan hal yang sama.

Park Hye Jin, perempuan dengan warna kulit medium—pertengahan antara cokelat, warna kulit terang dan zaitun—itu berdiri di toilet sejak 15 menit yang lalu. Kedua matanya tak berpaling dari pantulan dirinya sendiri di depan kaca, di waktu yang sama otaknya pun masih bekerja keras. Berkali-kali ponselnya berdering keras, tetapi ia tak menghiraukannya.

Aroma pengharum lantai terasa menyejukkan, toilet yang bersih dan nyaman. Namun, bukan hal tersebut yang membuat perempuan berdarah Korea Selatan-Indonesia itu berlama-lama di sana. Ia sedang menghindari seseorang yang sedari tadi menunggu dan menyerangnya dengan berpuluh-puluh panggilan.

“Kau sedang apa sih?” Pesan masuk membuat ponselnya menyala terang. Notifikasi lain pun datang bersamaan, dari orang yang berbeda. “Kau harus kembali dengan berita yang aku inginkan!” Pesan lain yang datang dari sosok yang lebih menyebalkan dari seseorang yang tengah menunggunya di depan toilet.

Tatapan kosong kedua matanya yang terbingkai bulu mata lentik, mengarah pada sebuah tanda pengenal yang beberapa menit lalu dilemparkan dengan santai ke pojok wastafel. Tulisan PERS dengan tinta merah yang jelas, dan nama Hye Jin Park tertulis di bawahnya. Dia menghela napas kasar, sambil menyambar benda itu lagi. Hye Jin ingin kabur dan menghindari tugas-tugas menguntit yang menyebalkan, tetapi rasa cinta pada pekerjaan tersebut membuatnya kembali lagi.

Perempuan itu memasukkan tanda pengenalnya ke dalam tas berikut dengan ponsel yang tidak mau berhenti berdering sejak tadi. Setelah mengikat rambut panjang berwarna hitam kecokelatan miliknya, dia melangkah dengan pasti meninggalkan aroma parfum yang segar di dalam ruangan itu.

Hye Jin terhenti sejenak, menatap kedua sepatu kets putih yang menutupi kedua kakinya. “Apa aku harus percaya padanya?” ragunya sambil memegangi knop pintu.

Hye Jin menyampirkan ranselnya di bahu sebelah kanan, sambil melangkah keluar dari toilet tersebut. Dalam hitungan detik, seseorang langsung menyerangnya dari arah kanan dengan tatapan kesal, wajahnya mengkerut, dan bibir merah mudanya mengerucut.

Seonbae[1]! Kenapa lama sekali sih? Aku menunggumu hampir satu jam!” cecar seorang pria yang kini mengekor di belakang Hye Jin.

Hye Jin pun tak menggubris keluhan pria itu, ia malah celingak-celinguk mencari tempat duduk kosong. “Jangan banyak bicara!” ucapnya ketus sambil menoleh sejenak, “Kalau dia tidak muncul, maka aku tidak akan percaya lagi denganmu,” sambungnya sambil menjatuhkan tubuhnya di sebuah kursi kosong, tepat mengarah pada pintu keluar penumpang.

Suara seorang wanita di bagian informasi menggema ke seluruh penjuru, mengumandangkan nomor penerbangan untuk memberi tahu pada setiap penumpang yang menunggu. Hye Jin terdiam mendengarkan suara tersebut, layaknya menikmati sebuah lagu. Suara para penumpang tidak mau kalah, mereka saling berbincang-bincang, bertukar pikiran tentang tujuan kepergiannya.

Bandara Incheon-Korea Selatan memang tidak pernah sepi dari para pengunjung. Sejak tadi tidak henti orang-orang bermunculan dan berlalu lalang sambil menarik koper mereka. Ada pula orang-orang asing yang muncul dari pintu keluar, bersama Tour Guide yang tak berhenti menjelaskan dengan suara yang lantang. Wajah asing selalu menghiasi penjuru Korea Selatan, terlebih saat ini sedang musim dingin. Waktu yang tepat untuk berlibur, walau tubuh harus menggigil karena suhu yang mencapai sebelas derajat celcius.

Hye Jin akui bahwa Korea Selatan merupakan tempat wisata yang cukup baik untuk menghabiskan liburan panjang dan menikmati hari demi hari yang indah. Sekadar minum kopi di pinggir Sungai Han atau mengelilingi Myeongdong untuk menghabiskan uang, sudah menjadi ide terbaik saat menghabiskan waktu di Negeri Ginseng itu.

Hye Jin mendongakkan kepalanya, menatap pria yang sedari tadi berdiri di sampingnya dengan mata yang tidak berhenti menjelajahi setiap penjuru bandara. Ia menggelengkan kepala saat melihat kegigihan pria itu. Hye Jin melipat kedua tangannya di depan dada dan bersandar santai di kursi. “Ya[2]! Dia tidak akan muncul!” serunya.

“Tidak, Seonbae! Aku yakin dia pasti muncul,” jawabnya berani.

“Tidak akan, Dong Joon-a!” seru Hye Jin lagi. Gadis itu bangkit dan meninggalkan pria itu di sana.

Pria dengan nama lengkap Park Dong Joon itu merungut sedih, ia berusaha mensejajarkan langkahnya dengan sang senior, walau langkah gadis di depannya itu terlalu cepat. “Seonbae! Kenapa kau tidak percaya padaku?” tanyanya kesal, kedua kakinya mulai kesulitan mengejar gadis itu.

Hye Jin hanya melirik sejenak pada pria yang berjalan setengah berlari itu lewat ekor matanya yang tajam. Ia tak henti menghela napas mendengar keluhan-keluhan junior yang baru dua bulan bekerja dengannya itu. Ia hanya berjalan lebih cepat, menuju lantai B1 untuk ke stasiun kereta.

Seorang pria berdiri tepat setelah Hye Jin melangkahkan kakinya, dengan gerakan seribu bayangan tubuhnya sudah berada di kursi kosong tersebut. Sedangkan Dong Joon berdiri tidak jauh dari tempat Hye Jin, bertumpu pada handle grip untuk menjaga keseimbangan.

Tidak ada yang bisa dilihat di sekelilingnya, semua orang sibuk dengan ponsel mereka. Bahkan seorang wanita dengan perkiraan usia 40-an di sampingnya pun sibuk dengan ponsel canggih keluaran terbaru. Masyarakat telah hanyut dalam kenikmatan teknologi yang semakin canggih.

Saat ini, bukan lagi musimnya berlangganan koran harian yang dikirim ke rumah-rumah. Namun, masyarakat lebih memilih untuk membaca berita lewat ponsel mereka. Keberadaan Hye Jin termasuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan berita-berita di dunia.

Hye Jin mengangkat kepalanya setelah melihat dua orang di sisi kanan dan kirinya. Tepat saat itu sorot mata Dong Joon menembak ke arahnya, membuat gadis itu memusatka kedua matanya ke ponsel canggih merek Samsung yang baru dibelinya tiga bulan lalu. “Menakutkan!” gumamnya bergidik. Dia kini sibuk menjelejahi Siber perusahaannya.

HanNews adalah salah satu perusahaan Pers terbesar di Seoul-Korea Selatan. Perusahaan itu sudah berdiri sejak tahun 2010 dengan perkembangan yang begitu pesat setiap tahunnya. Setiap anggota Pers di sana memiliki latar belakang Pendidikan yang sempurna, termasuk dengan Hye Jin.

Seleksi untuk bergabung dengan perusahaan tersebut cukup sulit, otak yang cerdas tentu menjadi andalan utama. Jadi tak ada istilah “nepotisme” di sana, walau Hye Jin sempat meragukan hal tersebut setelah Dong Joon bergabung dan menjadi rekan kerjanya.

Dengan latar belakang seorang traveler, tanpa mengetahui dasar-dasar seputar PERS, pria berkulit cokelat—eksotis—itu telah mematahkan kepercayaan Hye Jin selama ini, bahwa perusahaannya juga memberlakukan sistem “Nepotisme”.

[1] Senior – Bahasa Korea, biasa dipakai sebagai panggilan formal.

[2] Hei- dalam bahasa Korea

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status