Suara mesin fax dan mesin foto kopi terletak dengan jarak yang tipis, saling bersahutan melakukan tugasnya. Cahaya pagi yang cerah, menerangi setiap sudut ruangan yang menampung dua puluh orang di dalamnya. Para manusia yang berada di balik rentetan kata berita-berita panas para aktor, aktris dan idol, di sanalah mereka bernaung.
Denting jam besar yang terpasang di dinding ruangan tersebut, mengantarkan suara yang nyaring. Waktu baru menunjukkan pukul sepuluh pagi dan semua orang tertunduk menatap pekerjaan di hadapan wajah. Kening yang mengkerut, menautkan dua alis yang semula saling berjauhan, wajah yang terlipat-lipat metampakkan kesulitan.
Konsentrasi penuh mereka dedikasikan untuk membuat berita panas, yang mampu mengaduk-aduk emosi pembacanya. Wajah serius mereka metampakkan perintah ‘Jangan ganggu!’ yang terlukis jelas.
Ada yang sepenuhnya mendedikasikan diri untuk menciptakan hal yang terbaik, ada pula yang setengah hati dalam menjalani peker
Saat pria itu mulai memposisikan ponsel layar sentuhnya di tempat yang aman, Hye Jin masih mengawasi gerak-gerik gadis muda itu dan Jae Ha yang baru keluar dari mobilnya dengan ekspresi kesal. Berkali-kali Aktor yang selalu memerankan peran protagonis dalam setiap dramanya itu, menunjuk-nunjuk wajah gadis tersebut dengan sorot mata yang tajam. Bentakan yang keras dan kasar juga keluar dari mulut Aktor dengan imej lembut di dunia hiburan tersebut. Nada bicara yang tinggi, dengan kata-kata kasar, serta alur pembicaraan yang sulit dimengerti. Berkali-kali gadis tersebut mengelak dan melawan saat tangannya ditarik oleh Aktor yang baru berusia 27 tahun itu. “Bukankah mereka sedang bertengkar?” Hye Jin menoleh sejenak pada rekan kerjanya yang masih sibuk mengatur posisi kamera ponsel. “Sepertinya begitu!” jawab Dong Joon tanpa memindahkan pandangannya. Dia tersenyum puas melihat hasil pengambilan gambar hari ini. Gadis itu pun pergi setelah Jae Ha memaksany
Song Mi Ran, wanita yang ditakdirkan Tuhan menjadi malaikat bagi gadis kecil dengan kedua orang tua yang sibuk. Saat ayah dan ibu Hye Jin pergi bekerja dari pagi sampai malam, bahkan sering tidak pulang ke rumah. Hye Jin kecil dan adiknya dirawat oleh Mi Ran, atau sering dipanggil Bibi Song itu.Segala kebutuhan Hye Jin, Mi Ran yang mengatur. Sejak kecil dirinya sudah sangat dekat dengan wanita itu, melebihi kedekatannya dengan sang ibu. Wanita paruh baya itu hidup sebatang kara, setelah ditinggal sang belahan jiwa untuk selama-lamanya karena sakit jantung, ditambah anak semata wayangnya yang tidak lama menyusul dengan penyakit yang sama.Sejak saat itu Mi Ran memfokuskan dirinya untuk merawat Hye Jin kecil dan adiknya dengan kasih sayang yang sempurna. Walau tidak ada ikatan darah atau kekeluargaan, hal itu tidak membuat Mi Ran memperlakukan Hye Jin semena-mena. Karena ketulusannya sejak dulu, hubungan mereka saat ini melebihi hubungan keluarga. Perasaan mereka sudah
Hye Jin melempar ranselnya ke lantai, helaan napas panjang mengiringi tubuhnya saat jatuh di atas sofa. Kedua kakinya diselonjorkan ke atas meja, dan punggungnya yang terasa bertekuk-tekuk diluruskan di sofa tersebut. Aktivitasnya semakin hari semakin padat, mengingat saat ini dirinya sudah menginjak akhir semester kelas 3 Sekolah Menengah Atas. Otaknya sejak pagi hingga malam bekerja tanpa henti, memasukkan segala macam materi dari sekolah maupun dari tempat les. Walau kadang kala otaknya memberontak ingin menyerah, gadis itu tetap memberikan asupan ilmu yang berlebihan agar dirinya dapat memperoleh nilai terbaik di ujian akhir. Waktu santai di hari libur, baginya hanya sebuah mimpi di siang bolong. Kedua matanya berkelana menjelajahi seisi rumah, keningnya mengkerut mendapati suasana rumah yang hening tanpa suara. Bahkan suara napas orang pun tidak terdengar di sana. Ia melirik ke arah jam dinding yang terpajang di ruang tamu, waktu menunjukkan pukul 09.00 P.M.
Sejak hari itu, hari dimana dunia Hye Jin runtuh, semangatnya hilang, hidup segan mati tak mau. Tatapan kosong, pikiran yang kalut, berat badan yang semakin turun, dan tubuh yang tidak terurus. Sejak hari itu jangankan untuk tertidur, makan pun tidak berselera. Kehidupannya hilang, saat satu-satunya cinta yang tersisa dalam kehidupannya yang berharga, telah hilang. Waktunya hanya untuk menangis di dalam kamar, di dalam kamar mandi sambil diguyur air dari shower. Menarik-narik rambutnya hingga rontok, membenturkan kepalanya ke dinding hanya untuk melampiaskan kebodohan dan kelalaiannya sebagai seorang kakak. Ia bahkan tidak segan menggores kulitnya dengan silet, tetapi goresan itu tidak cukup dalam untuk memutus urat nadinya. Pagi, siang, dan malam, tubuhnya berdiri di trotoar. Membagikan selebaran kehilangan, menghalangi langkah setiap orang yang ditemuinya di sana. Mencecar mereka dengan pertanyaan, “Apakah Anda pernah melihatnya? Dia Adikku! Tolong hubungi
Hye Jin mengekor di belakang Dong Joon dalam keadaan lapar, perutnya meronta-ronta minta segera diisi. Namun, perjalanan mereka tak kunjung sampai pada tujuan. Mereka masih menelusuri jalan setapak yang di sekelilingi tembok besar pembatas ke jalan raya. Ia memegangi perutnya sambil mengatur napas yang berantakan karena perjalanan jauh hanya untuk makan siang.Setelah menghabiskan waktu yang panjang untuk menelusuri jalan tanpa ujung, akhirnya mereka sampai di sebuah restoran sederhana yang berdiri tepat di belokan keenam di sepanjang jalan setapak itu. Entah apa yang memotivasi sang pemilik restoran tersebut hingga mendirikan usahanya di daerah yang sulit terjangkau kendaraan roda empat, dan terlalu sempit untuk kendaraan roda dua.“Kenapa tidak ke restoran biasa saja sih? Ini tuh jauh banget!” keluhnya saat menjatuhkan tubuh di kursi yang terletak di pojok ruangan. Sebuah restoran sederhana dengan jalur keluar masuk udara yang tidak terlalu
Irama musik pop mengalun memanjakan indra pendengaran Hye Jin ketika dirinya melangkah di lobi. Beberapa orang menyapanya sambil tersenyum dan membungkukkan badan mereka lima belas derajat. Permen karet yang sudah berubah rasa, masih betah berada di mulutnya untuk memberikan peregangan kepada rahang-rahang yang akhir-akhir ini kurang pergerakan. Gadis itu memutar kunci mobil di jari telunjuknya sembari bersenandung ringan, membolak-balikkan gumpalan permen karet di mulut dengan santai. Seringaian tipis terlukis di bibirnya saat melihat Dong Joon berdiri kaku di pintu keluar.Hye Jin melemparkan kunci tersebut setelah berpapasan dengan Dong Joon. Pria itu refleks dan menangkapnya cepat. “Seonbae, ini apa?” tanyanya dengan kedua alis yang naik.Gadis itu membuang permen karetnya di tisu, “Kau tidak bisa lihat itu apa?” Kemudian melemparnya ke arah tempat sampah di sudut lorong.“Iya aku bisa lihat, tapi maksudnya apa?”
Keningnya mengkerut menautkan dua alis hitam dan tebal yang semula berjauhan menjadi dekat. Sejak tadi malam, hingga pukul 7 pagi Hye Ji terperangkap di depan layar cerah berukuran 14 inchi. Tanpa disadari kedua mata besarnya yang indah telah berubah menjadi sepasang mata panda dengan kantung mata yang hitam. Ia bahkan tidak khawatir akan radiasi yang terpapar langsung ke retinanya.Otaknya tidak berhenti beroperasi, kedua matanya tidak berhenti menjelajahi layar laptopnya, serta jemarinya berselancar hebat di atas keyboard. Inilah yang sering dia sebut sebagai bentuk penyiksaan diri secara nyata. Di sebelah kanan ada dua cangkir kosong, menyisakan ampas kopi hitam. Aroma kopi, bercampur dengan aroma sisa ramen yang mangkuknya masih tergeletak di sudut kamar, belum lagi jamur-jamur yang tumbuh di sudut lemari membuat aroma di kamar itu mirip kandang hewan.Hye Jin terjebak dalam diamnya, bibirnya terkatup rapat, hanya ada suara deru napas yang bersahutan keluar masuk l
Kehangatan yang mengalir ke seluruh tubuh Hye Jin lewat genggaman sang kekasih, membuatnya tidak berhenti tersenyum tenang. Udara yang mengalir lembut, menerbangkan beberapa helai anak rambutnya yang tidak terkuncir dengan baik. Kesegaran angin masuk lewat pori-pori tangan dan lehernya yang tidak tertutupi. Saat Won Seok terpaku oleh pemandangan sungai Han yang tenang dan jernih, Hye Jin memilih objek pemandangannya sendiri. Kedua matanya terpaku menatap lirih ketika anak-anak kecil berlarian di dekatnya. Tubuh kecil mereka dengan celana levis selutut, mengantar kedua kaki mereka berlari saat bermain layang-layang di taman tersebut. Senyuman mereka merekah luas saat layang-layang berbentuk segi empat dan segi lima itu terbang tinggi di angkasa. Tawa mereka saat melihat angin mengarahkan layangan ke arah yang lebih jauh, menjadi melodi yang mengantarkan Hye Jin untuk berkelana lebih jauh ke dalam alam bawah sadarnya. Dia rehat sejenak dari penatnya urusan dun