Share

Memalsukan Garis Dua

Part 2 Memalsukan garis dua

Aku bersiap, kurang dari setengah jam lagi mas Arga pulang. Sekitar sepuluh menint yang lalu, ia mengabariku kalau ia dan rombongan temannya sudah sampai di rumah Iwan yang hanya berbeda satu kelurahan dengan rumahku. Ia juga teman kerja mas Arga yang juga ikut mendaki. Katanya.

"Assalamualaikum." Terdengar salam dari luar pintu depan.

Akhirnya yang ku tunggu-tunggu pulang juga. Saatnya beraksi. "Waalaikumussalam," balasku seraya membuka pintu.

Aku mencium punggung tangan suamiku, berpura-pura seperti tak mengetahui apa-apa.

Mas Arga melongos masuk dan meletakkan barang-barangnya di dekat meja ruang tamu. Ia menyandarkan badannya di kursi tamu. Berpura-pura kelelahan sepertinya. Hmm, pintar juga aktingmu,mas.

"Ini, Mas, yang mau aku kasih lihat ke kamu," ucapku seraya meletakkan benda kecil di atas meja.

Dengan malas mas Arga meraihnya. Ia tampak bingung melihatnya. "Ga-garis dua?" tanyanya gugup.

"Iya, Mas," balasku antusias.

Sebenarnya aku tak benaran hamil, ini hanya bagian dari rencanaku untuk memberikan pelajaran bagi mereka. Lagipula itu tespeck punya Lela, tetangga sekaligus sahabatku. Rumahnya tepat di sampingku.

Enak saja, uang lima puluh juta yang kemarin mas Arga pinjam dari bank dengan alasan mau di pinjamkan ke Rumi -istri Tama, ipar mas Arga- untuk tambahan modal toko kelontongnya, itu pakai sertifikat tanah dimana rumah ini dibangun.

Kalau saja tidak menggunakan sertifikat milikku, sudah ku abaikan mereka. Bod* amat dengan mas Arga. Lagipula, siapa suruh menikah lagi.

"Nanti abis mahgrib kita ke rumah ibu, ya. Ibu pasti udah pulang dari pikniknya, kita minta oleh-oleh sekalian ngasih kabar ini. Gimana?"

Mas Arga tampak diam. Pasti ia sedang memikirkan sesuatu. Tak peduli apapun pikirannya, yang jelas mas Arga tidak mungkin menolak permintaanku, mengingat jika ia menolaknya, aku selalu mengacamnya pulang ke rumah orang tuaku, meskipun hanya bercanda, namun entahlah, mas Arga selalu menanggapinya dengan serius.

Mungkin dia takut dengan ucapan yang ku anggap main-main itu, atau karena abahku adalah seorang mudin -salah satu Kasi/Kaur kelurahan, biasanya mengurusi orang-orang yang akan menikah atau mengurusi orang yang meninggal dunia-.

"Aku ke rumah Abah saja, lah," ujarku ketika ku tahu mas Arga menerima pesan dari Preti kala itu.

"Mau ngapain?"

"Ambil kain kafan!" balasku ketus.

"Buat apa, Dek?"

"Kali aja ada yang meninggal ntar malem di rumah ini," ucapku seraya melangkahkan kaki kearah pintu.

Mas Arga menahanku. "Iya, ya, aku blokir nomernya ini."

Di awal pernikahan, beberapa kali aku mengetahui kalau mas Arga masih suka chatingan dengan Preti. Karena aku sering mengacamnya untuk melaporkan perilakunya pada bapak mertuaku, mas Arga lambat laun benar-benar tak lagi ku temui ia berkirim pesan dengan mantannya itu.

Sebenarnya pernikahanku dengan mas Arga memang baru beberapa bulan, itu pun karena tiba-tiba mas Arga dan keluarganya datang melamarku.

Sementara Abah dan bapak mas Arga yang sudah meninggal beberapa minggu yang lalu sudah lama bersahabat. Apalagi di usiaku yang sudah kepala tiga, membuat Abah menerima lamarannya begitu saja.

Karena tak ingin disebut anak durhaka, aku hanya menurut saja, lagipula bosan juga dikatain teman-teman sebayaku kalau aku perawan tua.

Tapi, aku pun merasa aneh kenapa ibunya mas Arga menyetujui pernikahan kami. Pernah dengar dari beberapa tetangga, kalau bu Darmi -ibunya mas Arga- mata duitan. Ia menyetujui perniakahanku karena selain Abah pejabat kelurahan, pakdeku seorang lurah, abah punya beberapa sawah juga peternakan ayam.

Tapi aku tidak mempercayainya, karena selama pernikahan keluarga mas Arga tak pernah menyinggung soal harta kepunyaan abah.

"Bagaimana Mas? " tanyaku membuyarkan lamunan mas Arga.

"Ekh, iya, Dek, iya, nanti kita kesana. "

"Gitu dong! "

***

Usai sholat mahgrib aku dan mas Arga bergegas ke rumah ibu, tak jauh dari rumahku, hanya membutuhkan waktu sekitar lima menit saja sudah sampai.

Kebetulan ibu mertuaku ini tinggal satu rumah dengan Tama, anak keduanya. Juga Rosi, adik bungsu mas Arga yang masih duduk di bangku SMA.

Karena masih masa pandemi, Rosi sekarang hanya beberapa kali dalam sepekan ke sekolahnya, selain itu kerjaannya hanya joget-joget di depan hp doang. Setiap di tanya katanya tok-tokan begitu. Mending kalau menghasilkan duit, lah ini, masih sering meminta uang pada mas Arga untuk membeli kuota. Dengan alasan daring!

Mereka juga harus merasakan permainan kali ini. Karena dari panggilan video kemarin, mereka tampak bahagia sekali.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Dasar mertua dan suami zolim
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
Ayuk bikin Arga dan keluarganya kena imbas nya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status