Share

RIVAL 6

Part 6

“Pak saya izin mau pulang lebih awal karena ada acara,” ucapku meminta izin pada kepala sekolah.

“Aduh, satu jam lagi ya, Bu Diah. Soalnya ini ada yang harus Bu Diah isi lebih dulu. Ini pendataan guru honorer. Kalau Bu Asih berangkat sih, Bu Asih yang mengisi. Tapi ‘kan, Bu Asih tidak berangkat. Jadi, Bu Diah yang mengisi,” kata kepala sekolah.

Aku semakin tidak bisa konsentrasi.

“Tidak bisakah saya kerjakan di rumah saja, Pak?” Aku memaksa.

“Lha mau saya bawa ke kantor kok, Bu … hari ini terakhir mengumpulkan.”

Dengan terpaksa, aku mengundur kepulangan untuk mencari tahu tentang apa yang terjadi dengan Meida. Jika hanya mengisi data dan melengkapi berkas milikku saja, hanya memakan waktu setengah jam. Akan tetapi, aku harus mengerjakan milik Mbak Asih juga, jadi jam dua belas baru selesai. Mas Rizal berkali-kali mengirim pesan bertanya apa aku sudah menemui Bu Ambar apa belum, tapi tidak kubalas.

Tepat saat adzan Dzuhur berkumandang, aku berkemas. Meneguk air putih dari galon yang harganya murah, bukan yang asli bermerek--untuk menghilangkan haus. Rencana semula tetap ku jalankan, akan ke sekolah Meida setelah tidak ada guru di sana. Mengapa yakin Bu Ambar di sekolah? Karena menurut tetangga sekitar, dia selalu berada di sekolah sampai sore hari. Sementara jam satu siang, guru-guru sudah pulang. Mas Rizal sekolah SMA yang naungannya provinsi jadi sudah menggunakan fingerprint. Sementara sekolah yang dinaungi oleh dinas pendidikan kabupaten masih menggunakan manual.

Sampai rumah, aku menatap Meida dengan tatapan menyelidiki. Sebelum menemui Bu Ambar, hati masih berharap anak itu jujur. “Tadi Ayah ke sekolah dan melihat kamu menyapu lagi? Nasi kamu juga tercecer di meja. Apa yang terjadi? Belum mau jujur sama Ibu?” tanyaku tegas.

Meida yang sedang berdiri di depan kulkas, mundur dan bersandar pada tembok. Dari sorot matanya ia terlihat sangat takut. Tak lama, terlihat bola mata indah itu basah oleh air.

“Jawab Ibu! Mau bohong sama Ibu?” Kali ini aku membentak. Napas sudah naik turun. Antara emosi, sakit hati juga kasihan bercampur menjadi satu.

Meida terisak. “Ibu jangan marah! Aku takut. Ibu mau menyuruh aku apa saja, aku mau. Asalkan Ibu tidak memarahiku. Aku tidak kenapa-napa, Bu. Kemarin nasinya tumpah di meja, aku harus membersihkan karena itu mejaku. Nanti kalau buat nulis bukunya kotor ….” Di sela-sela tangisnya, Meida menjawab. Sesekali punggung tangannya mengusap ujung mata yang basah.

“Ibu tahu kamu berbohong, Meida.”

“Aku tidak berbohong, Bu. Tidak ada teman yang nakal sama aku.”

“Lalu kata Mbah Putri, kenapa kamu pulangnya sampai siang?”

“Aku menulisnya lambat, Ibu. Jadi harus menyelesaikan dulu tulisan yang ada di papan tulis.”

“Lalu kenapa kamu setiap hari harus menyapu sendirian?” Kali ini kesabaranku habis sudah. Aku membentaknya.

“Karena aku mau belajar menyapu biar bisa membantu Ibu di rumah ….”

Anakku pintar berbohong.

 Tanganku sudah berkacak pinggang. Napas tersengal naik turun tidak beraturan. Aku menghembuskan dan membuangnya kasar, lalu mengambil air wudhu.

Entah setan mana yang merasuk hati ini, meski sudah shalat tetap saja masih emosi. Ditambah lagi, sholatku tadi tidak khusyuk. Masih kepikiran dengan apa yang menimpa Meida.

Setelah melepas mukena, aku melihat Meida duduk di pojok ruang keluarga. Ia memainkan jari-jarinya sambil menatap tanpa kedip ke arah depan. Aku segera menelpon Ibu untuk datang ke rumah, kebetulan juga beliau belum membawa Nazmi pulang. Kusuruh beliau cepat datang karena aku harus pergi ke sekolah. Jam sudah menunjukkan pukul satu tepat. Sepertinya semua guru sudah pulang.

Sekolah Meida sangat dekat dari rumah. Namun, aku memilih memakai kendaraan agar tidak perlu berjalan kaki. Tentu saja dalam hitungan waktu tidak sampai satu menit sudah tiba di tempat tujuan. Motor kuparkir di pinggir jalan depan pintu gerbang.

Saat melangkahkan kaki di halaman hati berusaha untuk tetap tenang melawan gemuruh dalam dada. Ekor mata ini menangkap motor yang kukenal ada di sana. Dengan sedikit memelankan langkah kaki agar tidak terdengar, kaki ini berjalan.

“Assalamualaikum ….” Aku mengucap salam.

Dua orang yang tengah duduk berdampingan kemudian menjauh seketika. Kaget dengan kehadiranku. Pak Sela tengah berduaan di kantor bersama Bu Ambar. Bukan hal yang aneh dalam pikiran ini karena desas-desus tentang hubungan mereka memang sudah santer terdengar.

Ada yang menarik perhatianku. Sebuah tote bag bertuliskan merk tas ternama ada di meja. Aku yakin, di dalamnya ada tas dengan merk tersebut. Sebuah brand yang diimpikan para kaum hawa, tak terkecuali aku. Namun, aku sadar belum mampu membeli itu hanya untuk bergaya.

Barang milik siapakah itu? Bu Ambar memang penjual. Akan tetapi, tas tersebut tentu tidak dijualnya karena kalangan pembeli tidak akan membelinya.

“Ya sudah, Bu, aku pamit pulang,” kata Pak Sela gugup mengemasi barangnya dan memasukkan ke dalam tas. “Mari Mbak Diah,” pamitnya saat melewatiku. Agak canggung terdengar karena sudah lama kami tidak bertegur sapa.

Kulihat wajah Bu Ambar kecewa karena kepergian Pak Sela. Pandangan mataku berhenti pada lengan Bu Ambar yang memakai baju dengan lengan tiga perempat.

Gelang yang sama persis dengan yang diunggah di status w******p, kini melingkar indah di tangan putihnya. Aku tahu, itu dibeli dari toko mas mana. Karena aku menyimpan nomor toko mas itu juga, untuk melihat-lihat status perhiasan yang dijual. Hanya melihat-lihat saja, belum pada sampai membeli sebagai koleksi. Dan harganya cukup membuat mata ini membulat.

Hati, berhentilah memiliki prasangka buruk akan dari mana asal barang-barang yang ada di dekat Bu Ambar.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
asnawati Wati
baru saja enak baca cerita,,,dah berhenti karena dah gak ada bonus
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status