Part 91Sekar berlari menghampiri Boy yang hendak masuk.“Kenapa?” Boy bertanya saat paham dirinya seperti ditahan masuk.“Jangan masuk dulu, Boy! Ibu sedang sensitif sekali,” jawab Sekar dengan menahan rasa tidak enak.“Ok, aku bawa kabar bahagia untuk kamu. Aku sudah beli rumah untuk kita tinggali, jadi, kamu tidak akan kubawa hidup di tempat kontrakan lagi,” ucap Boy dengan posisi terhalang pintu pagar setinggi satu meter.“Iya, tapi aku tidak bisa pergi sekarang. Ibu masih membutuhkanku,” sahut Sekar.Meski kecewa, Boy berusaha tersenyum. “Tak apa, kamu akan kujemput kapanpun kamu sudah siap.”Sekar dilema. Wajahnya terlihat bimbang. “Bisakah kamu belajar melupakanku? Aku juga akan belajar melupakan kamu. Bagaimanapun apa yang kita lakukan ini salah,” katanya dengan wajah yang berubah sedih.“Aku tidak akan melarang kamu untuk merawat ayah kamu kok. Kita akan hidup bersama, suatu hari nanti. Aku akan setia menunggu sampai kamu selesai dengan tugasmu di rumah ini,” ucap Boy.Sekar
Selama beberapa hari di rumah, Sekar sama sekali tidak berani bermain media sosial. Ia takut berhubungan dengan Boy meskipun rindu dalam hatinya sudah menggunung.Hardi sering menasehati Sri untuk tidak terlalu keras. “Anak kita sedang butuh pertolongan, beri kasih sayang pada dia agar tidak merasa butuh kasih sayang dari orang lain.” Begitulah kalimat yang selalu diucapkan pada sang istri.Perlahan hati Sri mulai melunak. Pagi hari ia akan membangunkan Sekar untuk sholat Subuh, lalu mengajak Sekar berbelanja dan memasak. Wanita itu berusaha mendekatkan diri dengan putrinya.Sekar mulai mau beribadah lima waktu, meski terkadang ia melakukan itu karena merasa terpaksa.“Tuhan itu ada dalam hati kita. Kalau kita beriman pada Tuhan, cukuplah setiap waktu mengingatNya, cukuplah setiap saat menjadi waktu untuk beroda. Tak perlu kamu beribadah lima waktu sehari yang itu justru membebani kamu. Agama itu jangan dijadikan beban. Kalau kamu terus menerus mengingat ibadah, kamu tidak akan punya
Part 93Sekar ketakutan setengah mati. Terlebih saat merasakan pintu seperti ada yang menggedor. Ia menangis sejadi-jadinya.“Bapak, Ibu, maafkan aku ...,” lirihnya sambil berurai air mata.“Sekar, buka pintunya! Sekar, ini aku, Boy. Buka pintunya!” teriak seseorang dari luar.Antara takut dan ingin mendapat pertolongan, Sekar ragu untuk membuka. Sempat terlintas keinginan untuk kabur, tetapi jendela rupanya memiliki teralis besi yang sangat kuat.“Sekar, buka pintunya!” teriak Sekar dari luar.Sekar bangkit perlahan dan mulai memutar kunci. Membuka sedikit dan berjaga-jaga. Rupanya di luar sudah sepi dan lampu sudah menyala terang, tidak seperti tadi yang menggunakan lampu remang-remang.“Boy, kamu dari mana?” pekik Sekar bernapas lega.“Maaf, aku tadi lama ya keluarnya? Kamu menangis? Buka yang lebar pintunya,” kata Cella yang memahami jika Sekar ketakutan.“Siapa mereka, Boy? Siapa mereka?” tanya Sekar.“Siapa? Tidak ada siapa-siapa,” jawab Cella.“Tidak, Boy, aku tadi melihat bebe
Part 94 “Maaf, Bu, saya tidak tahu apa-apa. Saya seorang muslim dan saya tidak akan berpindah agama. Cella, kamu keterlaluan melakukan ini semua. Aku tidak suka dengan cara kamu ini,” ucap Sekar marah. “Cella, memilih sebuah agama atau berpindah keyakinan, itu adalah keinginan dari setiap orang. Kamu memaksa orang seperti ini? Maaf, Cella, kami tidak akan pernah menerima siapapun. kamu sudah sangat salah melakukan ini,” kata suster kecewa. Sekar menangis sejadi-jadinya. “Bu, tolong pesankan saya taksi untuk pulang. Saya takut dengan dia, Bu, dia sudah membawa saya ke rumah yang di sana ada pesta s e x sesama jenis. Saya sangat takut dan saya ingin pulang,” kata Sekar yang tiba-tiba memiliki keberanian untuk mengadu. Suster yang sudah berusia di atas lima puluh tahun itu menatap marah pada Boy. “Benar kamu melakukan ini?” “Saya pamit pulang. Saya akan mengantar dia,” kata Cella menarik lengan Sekar secara paksa. “Tidak! Aku akan pulang sendiri,” kata Sekar sambil mengusap air mata
EKSTRA PARTPuntung rokok berserakan. Aroma kamar tentu saja tidak sedap. Ditambah lagi beberapa botol minuman yang masih ada isinya dan berhari-hari tidak dibuang.Micella menyesap rokok dalam keadaan terbatuk-batuk. Semenjak Sekar menjauh dari hidupnya hingga akhirnya menikah dengan Catur, hidupnya sudah tidak terarah lagi. Ia keluar dari kampus, kembali ke kotanya dan setiap hari hanya mabuk-mabukan saja.Orang tua Micella sudah kehabisan akal untuk bisa menyembuhkan putri kesayangan dari perbuatan menyimpang. Mereka hanya bisa pasrah dan merawat Micella dengan sebaik-baiknya.Suatu pagi, Micella yang merasa suntuk jalan-jalan keliling komplek. Duduk sendiri di sebuah kursi panjang di trotoar membuat ingatannya berlari pada masa dimana ia dan Andrew masih sekolah. Dengan tatapan kosong memandang rumah yang ada di depan sana. Tempat tinggal sang mantan kekasih, sosok yang sudah tidak akan pernah ia miliki.“Kamu sedang melihat apa di sana, Micel?” Sebuah suara membuat Micella kaget
Part 1Sebagai ibu rumah tangga yang bekerja, sepulang dari tempat kerja pasti disibukkan dengan berbagai macam pekerjaan. Hal itu seringkali membuatku lupa pada satu benda yang bernama ponsel.Hari itu, aku baru mengingat benda tersebut saat sudah pukul tiga sore. Setelah menitipkan anak-anak di rumah Ibu, aku menuju sekolah tempat mengajar. Iya, aku seorang guru honor di sebuah sekolah dasar yang menempuh waktu sepuluh menit untuk sampai di sana dengan menaiki motor. Setiap guru sudah diberi kunci kantor, pun denganku.Memarkir kendaraan di depan gerbang, sengaja kulakukan.Pintu gerbang masih terbuka?Dengan langkah pelan, kaki melangkah menuju ruang kantor yang ada di paling ujung. Masih ada satu motor, berarti kantor masih ada orang. Namun, dari jarak beberapa meter aku melihat pintu dan tirai kantor yang tertutup.“Apa ada orang?” ucapku sambil membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. “Astaghfirullah ….” Spontan aku beristighfar saat melihat dua orang yang aku kenal sedang be
Part 2Dengan terburu-buru aku mandi dan berdandan ala kadarnya. Yang penting memakai suncare, lipstick dan minyak wangi saja. Menggendong Nazmi dan menaiki motor mengantarkan dia ke rumah Ibu. Tidak lupa, tas dan juga bekal buat Meida aku bawa serta.Saat sampai di sekolah Meida, suasana sudah ramai. Bola mata ini bergerak kesana dan kemari mencari sosok mungil yang tadi pagi tidak sempat aku kuncir rambutnya. “Kamu lihat Meida?” tanyaku saat melihat kawan satu kelasnya lewat.“Di kelas, Bu. Sedang menyapu,” jawabnya.Aku segera berjalan cepat menuju kelas yang terletak di ujung nomor dua.“Kakak ….”Meida yang sedang memegang sapu menoleh. “Ibu kenapa kesini?” tanyanya panik.“Mau antar bekal kamu,” kataku sambil mengulurkan tempat nasi.“Ibu, aku tidak usah diantar makanan.”“Kamu belum minta uang saku juga,”Meida tersenyum. Hati ini lega melihat senyum itu mengembang. Wajah Meida sedari tadi hanya murung, sedih, dan panik saja.“Ini.” Selembar uang sepuluh ribuan aku ulurkan pada
Part 3Meida Hasya Rumaisa. Nama anak sulungku. Seorang gadis kecil yang sangat lincah dan multi talenta. Ia menguasai banyak hal. Dari menyanyi, bercerita, membaca puisi dan juga berpidato. Meski baru menginjak kelas dua SD, ia mampu melakukan itu karena sudah terbiasa mengikutiku saat melatih siswa-siswa yang akan ikut lomba.Itu dulu, sebelum dia mendapat perundungan di sekolah. Semenjak ia bersikap murung, Meida seolah kehilangan kepercayaan dirinya.Namaku Diah Setiyani. Nama yang cukup familiar dan mudah dihafal. Aku adalah seorang guru honorer berusia tiga puluh satu tahun. Namun, semangatku untuk mengukir prestasi pada anak didik boleh dikatakan sudah tidak diragukan lagi. Semua orang tahu akan hal itu. Berbagai piala berjejer di etalase sekolah, itu semua adalah hasil dari semangatku dalam melatih anak didik.Orang mengatakan kalau aku ini cerdas. Akan tetapi, nasib baik belum juga menghampiri. Berkali-kali harus gagal mengikuti seleksi CPNS meski nilai sudah tinggi. Namun, p