Share

Bab 6: M.C. of Heaven

Gagasan pembentukan geng telah disetujui. Sekarang Renoir, Ivan, Niguel dan Sebastian sedang berdebat menyoal penamaan kelompok mereka.

"Heaven's Crew?" saran Ivan.

"Terdengar seperti kelompok malaikat." Renoir kurang setuju.

"Killer Angels!" Nama itu mungkin terdengar garang bagi Niguel, namun terlalu ekstrem.

"Kita bukan pembunuh, paham?" sanggah Renoir.

Desahan keras Renoir menyiratkan kebuntuan. Nama adalah identitas, geng ini perlu nama yang menggambarkan ciri anggotanya.

"Bagaimana kalau M.C.—Master of Charm? Kita ini ahli pesona, bukan?" Sebastian bertutur pelan.

Bukan hanya Renoir, mata Ivan dan Niguel juga sontak menyorot ke arah Sebastian.

"Ah, ide yang bagus!" Niguel menggebu-gebu.

Renoir pun merasa setuju. "Nama yang bagus. Aku setuju."

"Kurasa itu nama yang tepat," tambah Ivan.

M.C. akhirnya resmi terbentuk oleh empat penggawang, diketuai Renoir, semuanya setuju dengan hal tersebut sebab ia memenuhi seluruh syarat; satu, jelas laki-laki, dua, Renoir punya pengaruh paling besar di antara mereka, tiga, ia populer di kalangan murid-murid perempuan.

"Kita perlu basecamp. Tidak asyik kalau hanya berkumpul di kantin. Kita perlu markas," tutur Ivan.

"Soal markas ... aku tahu tempat yang pas." Renoir punya ide.

Ia mengajak Ivan, Niguel dan Sebastian ke bagian belakang sekolah, tepatnya ke gimnasium lama. Tempat kosong terbengkalai itu hendak Renoir alih fungsikan sebagai tempat nongkrong mereka. Renoir mendorong pintu bangunan berbentuk lingkaran tersebut, tidak terendus bau debu memang, tapi, sayangnya tempat itu tidak dibekali pencahayaan. Niguel sudah mencoba menaikkan sekring namun nihil.

“Sepertinya listrik di tempat ini sudah diputus,” terang Niguel.

“Ah, sial! Padahal ini markas terbaik.” Renoir bersikukuh untuk membuat gimnasium lama menjadi markas untuk gengnya. “Begini saja, bagaimana kalau kita bicara dengan staf sekolah untuk menyediakan listrik di tempat ini lagi?”

“Eh? Memangnya keinginan kita bisa dikabulkan?” Sebastian tidak yakin.

“Kita coba dulu. Aku percaya staf sekolah bisa menuruti permintaan kita.” Apa yang Renoir inginkan pasti Renoir dapatkan.

Motto yang selalu dipegang teguh oleh pemuda konglomerat itu seolah jadi mantra wajib baginya. Saat ia dan ketiga temannya menemui pihak administrasi sekolah, seorang wanita tambun berkacamata nan ketus, kendati bukan hal mudah tapi Renoir berhasil membujuk wanita itu untuk memasang listrik di gimnasium lama berkat sebuah pernyataan konyol.

“Kami tahu diri, tidak akan membebani biaya aktivitas kami kepada pihak sekolah, kok. Biar kami yang menanggungnya.”

“Maksudmu ... kalian yang akan mengeluarkan biaya instalasi dan tagihan listrik tempat itu?” Wanita tambun itu awalnya ragu.

“Jangan meragukan kami!” tegas Renoir. “Ehm! Bukankah Gerrard Kim adalah salah satu penyumbang dana terbesar di yayasan sekolah ini?” ujar Renoir sambil mengorek kuku tangan dengan raut congkak.

Wanita itu terlihat berpikir.

“Bu, Anda tidak tahu? Dia ini anaknya Tuan Kim!” sontak Ivan membanggakan temannya.

Berkat pengungkapan itu, tiga hari kemudian listrik di gimnasium lama akhirnya berfungsi. Lampu-lampu menyala menerangi ruangan, tampaklah area yang sangat luas untuk bermain. Dua lapangan tenis, satu lapangan basket, area berlari serta kursi-kursi bertingkat berjajar rapi melingkar mengikuti bentuk bangunan. Empat pemuda tampak puas dengan markas mereka. Tidak main-main, fasilitas sekolah dijadikan tempat khusus untuk mereka, semua itu berkat sang ketua.

Setelah dipikir-pikir, tempat ini terlalu luas hanya untuk mereka berempat.

"Menurutku, kita perlu mengajak anak-anak lain untuk bergabung ke dalam kelompok kita!" Suara sang ketua menggaung seraya melempar bola ke dalam ring.

"Benar juga. Kita butuh anggota untuk semakin mengukuhkan keberadaan kelompok ini." Sebastian melakukan dribble.

"Saranku, cari anggota yang mumpuni, bukan sekedar minat saja. Kriterianya; latar belakang yang bisa diperhitungkan dan mampu berkelahi. Kita perlu dipandang bukan hanya di sekolah ini, tapi juga di sekolah lain." Ivan bersemangat.

"Kita akan berkelahi?" sahut Niguel.

"Biasanya suka terjadi adu kekuatan antar geng sekolah. Kita perlu mendapatkan pamor." Ivan bicara dengan yakin.

"Tapi ... aku tidak bisa berkelahi, tahu." Niguel merasa ciut.

"Dasar. Kau bisanya apa, sih?" ejek Ivan.

"Sudahlah. Aku terima saran Ivan. Kita perlu anggota yang bisa bertarung untuk jaga-jaga. Perkelahian antar anak SMA itu hal biasa," ujar sang ketua.

"Kau sendiri jago berkelahi?" tanya Renoir pada Ivan.

“Aku ini murid nakal di SMP, jangan ragukan aku. Akhir-akhir ini aku juga mempelajari tinju,” terang Ivan.

“Aku mempelajari judo sejak SD,” papar Sebastian sambil mengangkat tangan.

Sedang, Niguel hanya bisa diam mengingat ia yang paling tidak mampu di antara keempatnya.

"Aku jago IT, kok. Suatu saat pasti keahlianku dibutuhkan," bela Niguel. "Aku ... tidak ditendang dari geng, kan?"

Renoir menyeringai. "Tenang saja, kawan. Setidak bergunanya dirimu, kau tetap ku terima. Karena kau adalah teman baikku."

Pada akhirnya, setelah ide perekrutan anggota, seluruh siswa di kelas—8 orang tambahan—jadi anggota Geng M.C.. Mereka jadi anak-anak paling diperhitungkan di SMA Heaven.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status