Share

Bab 8: Impian Sederhana

Renoir berusaha keras mengalihkan perhatian Cherie dari sikap yang diterimanya dari Gerrard. Ia  sengaja mengajak sang ibu bermain agar benaknya melupakan kesedihan itu. Renoir meminta bantuan Cherie untuk menyusun set Lego pesawat Millenium Falcon, terdiri dari 5.174 butir dan seingat Renoir, baru tersusun sekitar 100 butir.

“Ibu tolong susun Lego-nya. Aku mau ganti baju dulu,” pintanya tanpa berpikir kalau permintaan yang ia sebutkan bukanlah hal mudah.

Cherie mengankat alis tatkala melihat bongkahan-bongkahan kecil yang berserakan di meja. Anak itu memang gemar dengan kerumitan, tapi tidak perlu mengajak-ajak ibunya untuk ikut. Ia lebih suka mencampur adonan daripada menyusun rangkaian seperti yang satu ini. Namun, sulit baginya menolak permintaan putra kesayangannya. Alhasil tangan Cherie meraih satu-satu balok kecil untuk disusun.

Di dalam lemari, Renoir melepas setelan seragam sekolah kemudian dikumpulkan pakaian kotor itu ke dalam keranjang. Ia memang dibiasakan menjaga kerapihan. Kaus putih bertuliskan merk mode ternama selalu jadi andalan, juga celana pendek hitam selutut serta sandal berbulu yang terasa lembut di telapak kaki. Renoir terlebih dahulu merapikan rambut agar tidak berantakan. Ia selalu ingin terlihat baik di hadapan ibunya, sebab hanya sang ibu yang kerap membanggakan dirinya. Berbeda dengan Gerrard, Renoir bahkan ragu kalau ia disebut putra kandung pria arogan itu.

Satu lagi, Renoir hampir lupa mengenai cokelat-cokelat di dalam tas. Sebaiknya segera disimpan ke dalam lemari pendingin sebelum meleleh. Renoir membawa ranselnya turut serta keluar dari lemari, ia melewati sofa di tengah ruangan tempat sang ibu yang sedang konsentrasi menyusun kepingan Lego berada, lalu menghampiri kulkas kecil di sudut ruangan. Yang dimaksud kulkas kecil adalah cuma kulkas satu pintu setinggi 180 cm. Cuma kulkas kecil bila disandingkan dengan yang ada di dapur rumah.

Lupakan soal kulkas—mari kembali ke tujuan awal. Renoir melempar tas ke sofa lalu ikut bergabung dengan Cherie di sana. Wanita itu tampak serius menggabungkan satu kepingan dengan kepingan lainnya. Renoir senang kalau akhirnya raut kalut yang tak disenanginya sudah pudar. Lebih baik ia mengerjai sang ibu dengan pekerjaan penuh konsentrasi ketimbang membiarkannya larut dalam kesedihan. Renoir benci melihat ibunya bermuram durja apalagi sampai menitikan air mata. Hanya orang bodoh yang tega melakukan hal tersebut kepada ibu kesayangannya dan orang itu adalah Gerrard—ayahnya.

Selamanya, aku akan membenci orang itu!” benak Renoir bahkan enggan menyebut nama sang ayah.

“Bu ...” panggil Renoir pelan.

“Ya?” balas Cherie tanpa mengalihkan atensinya dari Lego.

“Apa Ibu tidak membenci ayah?”

Perhatian Cherie teralih seketika pada Renoir.

“Mengapa Ibu masih bertahan dengan pria seperti itu?”

Cherie tampak sendu untuk sesaat, namun ia segera mengubahnya dengan tersenyum hangat sambil menatap Renoir lekat-lekat. “Kenapa Ibu harus membencinya?”

“Ibu pasti lebih tahu daripada aku, seberapa buruknya sikap ayah kepadamu.”

“Ayahmu memang berwatak buruk. Tapi, bagaimana pun, dia adalah orang yang telah menghidupi aku dan dirimu selama bertahun-tahun dan dia tidak masalah menanggung semua urusan kita, Reno.”

Renoir tersenyum miring. “Itu memang sudah tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga untuk menafkahi kita.”

“Tapi, apa Ibu puas diperlakukan dingin terus-menerus? Kalau jadi Ibu, aku pasti sudah lari. Mana mau aku hidup bersama orang yang kubenci,” oceh Renoir.

“Ibu tidak membencinya, Renoir.”

“Ayolah, Bu. Jangan terlalu baik! Kau harus pikirkan kebahagiaanmu juga!” Renoir tidak habis pikir dengan sikap Cherie yang selalu berusaha tegar di setiap situasi.

“Kau pikir Ibu tidak bahagia?” timpal Cherie. Ia meraih ujung kepala Renoir lalu mengusapnya perlahan.

“Melihatmu tumbuh dengan baik dan tersenyum kepada Ibu, sudah cukup untuk membuatku bahagia. Aku sudah merasa sangat bahagia karenamu, Renoir.”

Renoir menyaksikan sorot mata Cherie tampak berkaca-kaca.

“Kalau kau benci ayahmu, maka jangan jadi sepertinya. Aku tidak ingin kau membenci dirimu sendiri.” Cherie menatap tepat ke arah sepasang mata indah milik pemuda tampan di hadapannya. “Jadilah pria yang lembut di dalam, namun kuat di luar. Benar kata ayahmu, kau harus jadi pria kuat. Kau harus jadi kuat untuk melindungi dirimu sendiri dan juga Ibu.”

Renoir menanamkan pesan itu di dalam hatinya. Hati kecil yang tengah terbagi antara kebencian dan perasaan kasih sayang. Di rumah ini selalu punya dua sisi, api yang berkobar ketika berhadapan dengan Gerrard dan keluluhan serta kasih yang tulus bila dipersatukan dengan ibunya. Renoir sendiri berkecamuk ingin menjadi siapa nantinya. Tentu saja menjadi seperti Gerrard bukanlah pilihan, ia tidak ingin menjadi seorang tiran. Renoir selalu memilih untuk mendikte sang ibu. Kelembutan dan kehangatan itu kerap ia tanamkan dalam relung hatinya. Pencarian jati diri ini teramat sulit, Renoir hanya khawatir, di masa depan ia akan salah menentukan arah dan menjadi pribadi yang sama sekali tidak pernah ia harapkan.

---

Saat makan malam tiba, ketiga anggota keluarga duduk bersama menikmati berbagai hidangan di meja besar nan panjang, di bawah lampu kristal mewah. Renoir mencuri pandang ke arah Gerrard yang tampak tenang. Orang itu tidak bicara  sepatah kata pun sejak mereka berkumpul. Ini adalah pertama kalinya Renoir melihat batang hidung ayahnya semenjak hari pertama masuk SMA. Kendati pergi berhari-hari tanpa kabar, tampaknya Gerrard tidak berniat membuat klarifikasi apa pun. Renoir amat gemas, pasalnya sang ayah bahkan tidak memberinya ucapan selamat atas pencapaian barunya menjadi murid Heaven High School yang cukup terkemuka.

Hah ... sepertinya aku salah perkiraan. Aku menaruh harapan terlalu tinggi agar dia bisa menganggapku setelah aku berhasil meraih gelar sabuk hitam. Ternyata tidak.” Renoir menggerutu dalam hati.

Tatapannya terlihat tidak sedap dan tepat dipergoki oleh Cherie di seberang. Renoir sontak mengubah wajahnya, sebuah senyuman menghiasi wajah tegasnya.

Sampai makan malam selesai pun Gerrard tetap mengunci mulut. Ia pergi seusai makan, meninggalkan meja seolah tidak ada orang lain di sana.

Cherie mengikuti langkah Gerrard melalui tatapan. Pria itu sangat dingin sedari pulang tadi sore. Sebelumnya Gerrard memang bersikap dingin—sejak lama, namun kepulangannya hari ini mengubah sikapnya makin drastis. Raut Cherie kembali murung. Ia hanya mampu menghela napas berat seolah tidak berdaya untuk mengubah perlakuan suaminya agar menjadi lebih baik kepada dirinya juga putra mereka.

Renoir berubah posisi, ia duduk tepat di sebelah ibunya. Makan malam kali ini pasti jadi salah satu momen terburuk dalam hidup Cherie. Renoir berencana untuk menebus makan malam menyebalkan ini dengan makan malam terbaik unuk merek berdua.

“Bu, bagaimana kalau kita dinner berdua Jumat malam nanti?” Renoir menunggu persetujuan sang ibu.

“Hanya kita?”

“Benar, hanya kita berdua. Tidak perlu ajak orang  lain.

Cherie mengerti betul maksud ‘orang lain’ yang dikatakan Renoir.

“Hmm ... biar Ibu pikirkan dulu.” Cherie sengaja mengulur waktu untuk menggoda putranya yang tidak sabaran.

“Ayolah, pikirnya jangan lama-lama. Ibu kan tidak pernah ke mana- mana, untuk apa pakai pikir-pikir segala!” Cherie berhasil memancing Renoir.

“Kira-kira menurutmu, Ibu harus jawab apa?”

“Katakan saja, “Tentu saja Ibu mau, Reno-ku sayang. Private dinner itu ide bagus!” Seperti itu.”

“Mmh, baiklah ... Tentu saja aku mau, Reno-ku sayang. Private dinner itu ide yang saaangat cemerlang!” Cherie melebih-lebihkan cara bicaranya.

“Ya ampun, Bu. Tidak usah berlebihan juga jawabnya.” Renoir agak terganggu dengan respons ibunya.

Cherie tertawa pelan. “Rencananya mau makan malam di mana?”

“Hm, belum tahu. Mungkin Ibu punya ide?”

“Sebenarnya ada satu tempat yang selalu ingin aku kunjungi. Dulu, Ibu pernah dibawa ke sebuah restoran Italia bersama ayah, sekali. Kuharap aku bisa pergi ke sana lagi, tapi ayahmu tidak kunjung mengajak Ibu lagi setelah sekian lama.”

“Baiklah, sudah diputuskan! Kita akan pergi ke tempat yang Ibu inginkan.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status