Share

Bab 4: Pria yang Mengancam

Tatapan Renoir bergetar memandang ayahnya yang berwajah tenang. Meski tenang, keberadaannya tetap mengancam. Atmosfer di ruangan menjadi kelam. Renoir masih bungkam dengan pertanyaan Gerrard. Apa yang terjadi padanya, sebaiknya tidak perlu diungkap.

"Siapa yang mengajarimu mengabaikan pertanyaan orangtua?" sambung Gerrard sebab Renoir tak kunjung menjawab.

"Aku terjatuh waktu main sepak bola di sekolah," jawab Renoir spontan.

Gerrard mengangkat sebelah alis. "Kau terjatuh? Katuh dari lantai berapa? Jangan coba-coba membodohiku. Kecuali kau mendapat luka-luka itu dari bola yang dihantamkan ke wajahmu berkali-kali, aku akan percaya."

"Ehh ..." Renoir kehabisan kata-kata untuk membalas pernyataan sang ayah.

"Katakan yang jujur, kenapa wajahmu bisa seperti itu?" 

Renoir meremas ujung celana pendeknya.

"Kau berani membohongi Ayahmu, Renoir?" Tatapan Gerrard semakin tajam.

Renoir tidak sanggup menghadapinya lagi. "Aku dipukuli!" sontak Renoir, "... oleh senior-seniorku," ungkapnya lirih.

Napas Cherie terasa sesak mengetahui kebenarannya.

"Maaf, Ayah, Ibu ... aku berbohong." Renoir menunduk menyesali perbuatannya.

"Ayah kecewa, Renoir. Siapa yang mendidikmu seperti itu?"

"Maaf, Ayah ..."

"Aku lebih kecewa karena kau masih saja kalah berkelahi. Apa gunanya selama ini kau belajar ilmu bela diri kalau masih jadi pria lemah?!" Suara Gerrard menggelegar ke seluruh ruangan.

Renoir meremas ujung celananya semakin erat. Kepalanya sama sekali tidak mampu untuk ditegakkan.

Gerrard bangkit dan meraih kerah kaus yang dikenakan anak itu, kemudian menariknya seraya memerintah, "Berdiri!"

Cherie hanya bisa mematung sambil menahan adrenalin.

"Ayo, tunjukkan padaku hasil latihanmu selama ini!" Gerrard menyeret Renoir keluar dari ruang makan.

Renoir bagai boneka yang hanya bisa menuruti kemauan tuannya, menyeretnya ke sana kemari tanpa bisa melawan.

"Gerrard!" Cherie hanya mampu berteriak sambil mengikuti mereka.

Renoir dibawa melewati lorong dan selasar menuju halaman belakang. Gerrard melepas genggaman eratnya dengan kasar sambil memainkan lidah menyentuh deretan gigi bagian dalam. Mereka berdiri di atas rumput halaman yang menggelitik kaki, dalam gelap hanya diterangi cahaya remang dari lampu di selasar. Cherie dan beberapa pelayan berhamburan di ujung selasar menunggu apa yang akan terjadi. Pelayan-pelayan di asrama yang terletak di belakang rumah juga mengintip dari jendela. Sepertinya akan terjadi pertunjukan malam ini.

"Ayo, tunjukkan padaku apa saja yang kau pelajari di tempat les." Gerrard menantang pria muda itu.

Renoir bisa menduga ia akan jadi bulan-bulanan Gerrard. Lari tidak lari sama saja, mungkin lari akan lebih buruk.

Gerrard mundur dua langkah menjauh dari Renoir. Mereka saling membungkuk lalu memasang kuda-kuda. Renoir terlihat gemetar, sementara Gerrard seperti prajurit tangguh.

"Serang aku!" perintah Gerrard.

Renoir melayangkan tendangan ke arahnya namun berhasil dielakkan. Renoir lanjut memukul tapi tidak kena. Gerrard malah menyeringai sambil terkekeh.

"Ayo, terus ... Lanjutkan ..."

Renoir terus melayangkan serangan yang tidak kunjung kena hingga merasa kelelahan. Napasnya tersengal-sengal hampir berhenti. Ayahnya sangat sulit dilawan.

"Segitu saja kemampuanmu? Pantas saja orang-orang masih menindasmu." Gerrard meremehkannya. "Biar kutunjukkan cara yang benar."

Sedetik kemudian, tanpa aba-aba, Renoir berhasil tergeletak di atas rumput. Bantingan itu terjadi begitu cepat, yang Renoir tahu ia hanya mendengar ibunya berteriak.

"Hentikan, Gerrard!" Cherie berusaha menghampiri sepasang pria dewasa dan pemuda di tengah-tengah halaman.

"Jangan, Nyonya!" Kepala asisten menghalangi Cherie untuk pergi.

"Tidak, jangan halangi aku! Renoir bisa terluka!"

Namun para asisten tidak mengindahkannya. Mereka menahan Cherie lebih keras agar tidak ikut bergabung.

"Ayo, bangun!" Gerrard menarik kerah Renoir lagi, padahal pemuda itu masih merasa pusing karena bantingannya.

Renoir berdiri dan langsung melakukan serangan percuma. Dengan sekali pukul, Gerrard berhasil membuat Renoir meringis namun Renoir tidak jatuh. Ia semakin menggebu-gebu menyerang sang ayah yang belum tersentuh sedikit pun. Segala macam pukulan dan tendangan terus Renoir layangkan, tapi apa yang terjadi, Renoir malah kena tendangan telak hingga membuatnya terpental dan tersungkur di tanah.

"A-argh!" Renoir merintih kesakitan.

"Cepat berdiri!" Belum cukup, Gerrard kembali menyuruhnya bangkit.

Renoir berusaha bangun sebisa mungkin, meski tubuhnya kini tidak lagi bisa tegak. Ia menatap sang ayah penuh amarah.

"Dasar payah! Lembek! Kau tidak pantas jadi putraku! Tidak berguna!" maki Gerrard di depan muka Renoir. Gerrard sudah amat muak dengan sang putra yang sama sekali tidak mewarisi kegarangannya.

Sebagai penutup, Gerrard memberi bogem keras dan berhasil membuat Renoir berbaring menatap langit. Renoir tak mampu berbuat apa pun, tubuh ringkihnya hanya mampu menahan sakit akibat serangan pria tiran itu. Dengan mata berbinar-binar ia melihat Gerrard pergi meninggalkannya tanpa peduli. Renoir menghela napas berat, rasanya begitu sakit, tubuh juga hatinya.

"Mengapa aku diperlakukan seperti ini?"

Langit malam yang dilihat Renoir sangat indah. Kalau boleh memilih, Renoir ingin diciptakan sebagai salah satu dari bintang-bintang itu daripada jadi manusia yang diperlakukan semena-mena.

"Gerrard, kau apakan putraku?!" jerit Cherie saat Gerrard melewatinya dengan cuek. Ia tidak menggubris teriakan sang istri, Gerrard lebih peduli urusan kalorinya yang sedikit terkuras.

Cherie berhasil lepas dari belenggu, ia berhamburan menghampiri putra semata wayangnya yang tergeletak tak berdaya di atas rumput tebal.

"Renoir!" pekiknya sambil lari tergesa-gesa.

"Reno!" Cherie berhasil menghampiri Renoir yang terlihat menyedihkan.

"Ibu ..." ucap Renoir lemah.

"Sayang ..." Cherie tak kuasa menahan tangis.

"Kenapa Ibu menangis? Ibu jangan menangis," pinta Renoir.

Cherie mendekap Renoir dalam pelukannya seraya terisak.

"Jangan tangisi aku. Aku ini pria yang kuat," oceh Renoir. "Aku harus kuat seperti kata Ayah. Aku harus jadi kuat untuk melindungi Ibu ... dari Ayah."

Cherie menatap mata sang putra berusaha menahan tangisnya. "Ayo, Ibu bantu kau berdiri." Cherie membantu Renoir bangkit.

"Merry! Tolong bantu Renoir!" Cherie memanggil kepala asisten untuk membantu mereka.

Di kamar Renoir yang seluas satu unit rumah minimalis, ia bersandar di kepala ranjang sambil menatap kosong televisi besar yang menayangkan tayangan kartun favorit Renoir. Wajah bonyoknya tengah dibersihkan dengan hati-hati oleh sang malaikat pelindung. Walau terasa sedikit menyakitkan, tapi Renoir tidak meringis. Ia sudah berjanji pada diri sendiri untuk menjadi kuat, meski hatinya sangat rapuh.

"Sampai kapan aku terus begini?" gumam Renoir. Perhatian Cherie teralih.

"Hanya perasaanku saja, atau memang ayah benci padaku?"

"Jangan bicara omong kosong, Renoir. Mau bagaimana pun, kau adalah darah daging Gerrard Kim. Seburuk apa pun ia memperlakukanmu, dia pasti menyayangimu, Reno." Cherie berusaha menepis kerisauan Renoir, meski ia sendiri tidak yakin kalau Gerrard punya secercah rasa sayang kepada anak mereka.

"Tidak, cara ayah memandangku sangat berbeda dengan Ibu. Tatapan kalian kepadaku sangat berlainan."

"Sudahlah. Sejak dulu kan ayah memang seperti itu, sifatnya memang tempramental. Kalau dia tidak sayang denganmu, untuk apa ayah sering mengabulkan permintaanmu?" Cherie semakin meyakinkan Renoir untuk percaya bahwa Gerrard tidak seburuk yang ia kira—walau begitu kenyataannya. 

"Jangan pikir yang aneh-aneh lagi!" Cherie menyudahi perannya menjadi perawat medis. Kini ia mengambil sepiring lauk untuk makan malam Renoir, berganti peran menjadi baby sitter. "Makan dulu, ya."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status