“Kamu dari mana saja, Nak?” pertanyaan ibunya itu membuat Irina mengangkat wajahnya seketika. Saat ini Irina baru saja mengembalikan sepedanya di gudang.
“Baru saja selesai main sepeda, Bu.” Jawab Irina dengan riang.
“Sama siapa?” tanya ibunya lagi.
“Tuan Kevin.” Jawab Irina dengan polos.
“Kemarilah.” Ibunya meminta Irina mendekat, dan Irina menuruti apa yang diperintahkan sang ibu. “Dengar, Nak. Lebih baik kamu jangan terlalu dekat dengan Tuan muda.”
“Kenapa, Bu? Tuan Kevin itu baik. Kalau di sekolah, dia sering beliin Irina jajan, dan cuma Tuan Kevin teman Irina saat di sekolah.”
“Nak, kita itu sudah beruntung bisa hidup dan tinggal di rumah ini. Kamu juga sangat beruntung bisa disekolahkan di sekolah yang sama dengan Tuan Kevin. Jadi kamu harus tahu batasan saat berteman dengan Tuan Kevin.”
“Maksud Ibu?”
“Jangan terlalu dekat dengan Tuan Kevin. Sampai kapanpun, Tuan Kevin adalah majikan kita…”
Irina mengingat dengan jelas percakapannya dengan sang ibu saat itu, ketika dia bahkan masih menginjak kelas 3 SD. Ibunya sudah banyak memberikan nasehat agar dirinya tidak terlalu dekat dengan majikan mereka, dan Irina benar-benar melakukannya.
Tapi kini… lihat, saat ini dia sedang berada di sebuah ruang tindakan dengan seorang dokter dan beberapa perawat yang sedang menanamkan embrio pria itu ke dalam rahimnya.
Semua ini bermula saat Irina merasa putus asa, disebabkan oleh suaminya yang bernama Maximillan bersikap dingin padanya karena dia memutuskan hal terkeji dalam hidupnya yaitu menggugurkan bayinya dengan Max. Irina ingin membuat Max kembali lagi dalam pelukannya dengan cara dia mengandung kembali. Tapi Irina tahu bahwa dia tidak akan bisa mengandung anak Max lagi karena Max sama sekali tak ingin menyentuhnya lagi.
Pada akhirnya, Irina memutuskan meminta bantuan Kevin, sang Tuan muda yang harus dihindarinya seperti yang dipesankan oleh mendiang ibunya dulu.
“Baik, prosesnya sudah selesai.” Samar-samar Irina mendengar dokter mengucapkan kalimat itu. Waktu berlalu cepat, Irina sudah dirapikan kembali dan ranjang yang dia tiduri kini sudah di dorong keluar meninggalkan ruang tindakan.
Di luar ruang tindakan, dia melihat seorang pria yang sudah menunggunya. Pria itu menghampirinya dan menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
“Hei.” Hanya itu yang bisa diucapkan oleh Irina.
“Bagaimana keadaannya?” tanya pria itu pada dokter.
“Sangat baik, Pak. Pasien hanya harus beristirahat sampai waktu diperbolehkan pulang.” Jawab sang dokter. Pria itu hanya mengangguk.
Irina lalu memberanikan diri meraih jemari pria itu dan menggenggamnya erat-erat. Pria itu menatap Irina dan Irina menyunggingkan senyuman lembutnya.
“Terima kasih,” bisik Irina lirih.
“Ucapkan itu setelah apa yang kamu inginkan berhasil kamu dapatkan,” jawab pria itu dengan nada dingin.
Irina tersenyum dan menggeleng pelan. Dia bahkan tidak kuasa menahan bulir airmatanya jatuh dengan sendirinya. “Terima kasih karena sudah memberiku kesempatan sekali lagi,” lirih Irina sekali lagi nyaris tak terdengar.
Setelah menggugurkan bayi pertamanya, Irina memang sangat menyesali perbuatannya. Dia nyaris despresi karena penyesalan itu, ditambah lagi sikap Max yang sangat tak bersahabat padanya. Irina mengerti, mungkin Max memang sangat kecewa dengan keputusannya, karena itulah Irina merasa bahwa Tuhan sedang menghukumnya. Mungkin, dia tidak akan diberi kesempatan untuk menjadi ibu lagi, dan kini… kesempatan itu datang lagi setelah dia meminta bantuan dengan Kevin dan pria ini bersedia membantunya.
“Kita tidak tahu apa yang akan terjadi dua minggu kedepan. Jadi jangan ucapkan rasa syukurmu dulu.”
Irina tersenyum dan mengangguk. “Baik, Tuan Muda…” jawab Irina dengan nada menggoda. Tuan Muda adalah panggilan godaan yang diberikan Irina pada Kevin. Irina tahu bahwa Kevin sangat benci ketika dipanggil dengan panggilan seperti itu, tapi Irina tetap melakukannya karena dia senang membuat Kevin kesal.
Ya, seperti itulah hubungan dekatnya dengan Kevin Putra Diningrat. Pria kaya raya yang dulunya merupakan majikan ibunya. Meski ibunya dulu sering kali mengingatkan tentang batasan berteman dengan seorang Kevin, nyatanya Irina merasa bahwa peremanannya dengan Kevin memang sangat dekat bahkan hampir tak memiliki batasan.
Kevin selalu ada untuknya, untuk membantu dirinya bahkan saat Irina kini sudah hidup sendiri tanpa kedua orang tua. Kevin sudah seperti saudaranya sendiri, dan akan selalu seperti itu… Kini, pria itu sekali lagi membantunya, dan jika semua ini berhasil, Irina bersumpah akan menjadi orang yang akan selalu ada di saat Kevin membutuhkannya. Ya… Irina akan melakukannya, melakukan apapun yang diinginkan oleh Kevin darinya…..
-TBC-
“Apa lagi yang kamu inginkan?” tanya Kevin dengan wajah datarnya. Saat ini, dia sedang menemui Irina, perempuan yang selama ini sudah mengaduk-aduk perasaannya. Apa pun yang diinginkan Irina bisa saja dia lakukan dan dia turuti. Entahlah, Kevin sendiri tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan dirinya.Irina menggeleng dan perempuan itu mulai menangis. “Max benar-benar meninggalkanku.”“Biarlah, mungkin itu memang yang terbaik untuk kalian.” Kevin menjawab dengan nada datar.“Tapi, aku mencintainya, Vin. Apa kamu enggak bisa lihat?” tanya Irina yang saat ini sudah berurai air mata.“Kamu harus tahu bahwa cinta terkadang tak harus memiliki, bukan?” Kevin masih mencoba untuk membuat Irina mengerti.“Lalu, bagaimana denganku? Bagaimana dengan anakku ke depannya?” tanya Irina dengan penuh tuntutan. Jujur saja, Irina bingung dan mulai tertekan. Sejak perutnya mulai membesar, Irina menjadi tak percaya diri. Dia diliputi rasa takut jika tubuhnya menjadi tak indah lagi. Bukan tanpa alasan, Ir
Irina membuka mata ketika hari sudah gelap. Dia mengalihkan pandangan ke segala penjuru ruangan dan hanya mendapati dirinya yang terbaring di ranjang sendirian. Apa Kevin sudah pergi meninggalkannya?Irina langsung bangun. Dia segera keluar dan mencari keberadaan Kevin. Entah mengapa, Irina merasa ingin ditemani. Dia tidak ingin Kevin meninggalkannya sendirian saat ini.Tidak lama, dia mendapati Kevin sedang sibuk di dapur. Lalu, Irina mengamatinya dari belakang. Apa pria itu sedang memasak untuknya? Ya, mungkin saja. Irina tidak heran karena sejak dulu, Kevin memang sangat perhatian padanya.***Irina sedang duduk sendirian di bangku taman sekolah saat itu. Biasanya, saat istirahat jam makan siang, Irina sering menghabiskan waktu di sana dengan membaca buku yang ia pinjam dari perpustakaan. Ingin ke kantin pun Irina tidak memiliki uang. Sebenarnya, dia mendapat uang jajan oleh orang tua Kevin, tetapi uang jajan itu dia simpan untuk membeli sesuatu yang lebih berguna.Irina terkejut s
Sejak Max memutuskan untuk benar-benar mengakhiri pernikahannya dengan Irina dua bulan yang lalu, Irina menjadi lebih tertutup. Padahal, banyak sekali media yang sedang memburunya. Bagaimana tidak? Dia berpisah saat sedang mengandung. Hal itu membuat media bertanya-tanya bahkan mengejarnya untuk mendapatkan berita.Akhirnya, Irina memilih untuk menghabiskan banyak waktu di apartemen pribadinya. Beruntung, lagi-lagi Kevin mau membantunya menyiapkan semua yang ia butuhkan. Kehamilan Irina kini sudah hampir memasuki usia 6 bulan. Irina merasa bahwa tubuhnya sudah banyak berubah. Dia mulai sering lelah dan hormonnya benar-benar kacau. Irina sering merasa bahwa dia tidak menjadi dirinya sendiri, seperti sering menangis sendiri, bahkan tak jarang dia merengek pada Kevin.Ya, mau bagaimana lagi? Irina tak mungkin menghubungi Max lagi. Mantan suaminya itu kini mungkin sudah bahagia dengan kekasih simpanannya. Satu-satunya orang yang ia miliki saat ini hanyalah Kevin. Namun, Irina sadar. Kevi
Plak!Wajah Irina terlempar ke samping setelah tamparan keras dari Dewi, ibu dari Kevin, mendarat sempurna di pipinya.“Mama!” Kevin berseru karena tak percaya dengan apa yang sudah dilakukan ibunya. Bahkan, dia segera menarik tubuh Irina ke belakangnya, menengahi karena dia tidak mau ibunya berbuat lebih jauh lagi pada Irina.“Perempuan kurang ajar! Inikah balasan yang kamu berikan pada keluarga saya?! Kamu sudah melempar kotoran pada keluarga besar saya!” Dewi sangat marah. Sungguh.Kevin adalah putra satu-satunya dari Keluarga Diningrat. Sejak dulu, Dewi ingin memiliki anak lain, jika bisa anak perempuan. Karena Tuhan tidak memberikan kesempatan tersebut, ia akhirnya menganggap Irina sebagai anaknya sendiri. Dewi membiayai Irina karena dia tahu, Irina adalah anak yang baik dan pintar. Ditambah, Irina mau bekerja keras. Saat Irina terjun di dunia permodelan dan sukses di sana, Dewi juga mendukung penuh.Kini, Dewi tidak menyangka bahwa Irina akan mempermalukan keluarga besarnya samp
Irina menatap rumah besar di hadapannya dengan penuh kekaguman. Itu adalah rumah lain dari Keluarga Diningrat. Ini adalah pertama kalinya Irina diajak mengunjungi rumah ini.Berbeda dengan rumah utama yang bergaya modern, rumah yang satu ini cenderung lebih klasik. Yang membuat Irina senang adalah halaman rumah ini sangat lebar dan ditumbuhi pepohonan, hingga tidak merasa bahwa rumah ini berada di pinggiran kota metropolitan. Suasananya terasa nyaman dan asri, membuat siapa saja akan merasa tenang berada di area rumah ini.“Kenapa sampai ternganga gitu?” Pertanyaan itu diajukan oleh Kevin yang kini menatap Irina yang kini sedang menampilkan ekspresi lucunya.“Aku kagum sama rumahnya.”“Bagus, ya?” tanya Kevin kemudian. “Ini akan menjadi rumah masa depanku.”“Maksudmu?” Irina tak mengerti.“Kalau aku menikah nanti, aku mau tingggal di sini dengan istri dan anak-anakku. Kamu lihat di sana, halamannya sangat luas. Nah, aku bisa buat lapangan bola mini di sana.”Irina tersenyum lembut. “P
Irina menunggu cukup lama sembari meremas kedua belah telapak tangannya. Hari ini, dia tengah berada di sebuah rumah sakit. Bukan untuk memeriksakan diri, melainkan untuk menemui Rani yang bekerja menjadi dokter di sana.Irina sudah beberapa kali menghubungi Rani. Dia memiliki kontaknya karena dia dan Rani memang saling mengenal dengan baik. Namun, Rani seakan tak ingin mengangkat teleponnya. Perempuan itu seakan menutup semua komunikasi yang dilakukan Irina padanya. Hingga akhirnya, Irina memutuskan untuk menemui Rani di tempat kerjanya saja hari ini, beberapa hari setelah ia dan Kevin sudah resmi menikah.Irina berharap bahwa Rani mau menemuinya. Bagaimanapun juga, dia berutang maaf pada Rani. Irina bahkan berencana untuk mengembalikan Kevin pada Rani setelah dia melahirkan. Dan semoga saja, Rani bersedia menerima niatannya tersebut hingga semua bisa berjalan seperti sebelumnya.Pintu ruang tunggu dibuka, menampilkan sosok Rani yang sudah berdiri di ambang pintu dan menatap Irina de
Kevin baru saja selesai rapat saat tiba-tiba dia merasa sangat merindukan Irina. Sebenarnya, hal seperti ini sering dirasakan oleh Kevin, tetapi ia memilih untuk mengabaikannya. Bahkan, menganggap bahwa perasaannya yang merindukan Irina adalah perasaan yang tak seharusnya dia rasakan.Kini, Kevin merasa bahwa perasaan seperti ini wajar dia rasakan. Irina adalah istrinya dan perempuan itu sedang mengandung anaknya. Jadi, sangat wajar saja jika dia mengkhawatirkan atau bahkan merindukan Irina.Kevin tidak bisa menghentikan niatannya untuk menghubungi Irina. Dalam sekejap mata, Kevin sudah terhubung dengan Irina melalui saluran telepon.“Kamu di mana?”“Aku sedang di kafe dengan temanku. Ada apa? Tumben kamu telepon?”“Bisa ke kantorku?”“Ada masalah?” tanya Irina.“Enggak. Cuma mau pulang bersama saja nanti.” Kevin menjawab seadanya. Dia juga tidak tahu kenapa dia ingin sekali Irina berada di sekitarnya saat ini.“Oke, kalau gitu aku ke sana.” Kemudian panggilan ditutup. Kevin hanya men
Irina sedikit terkejut saat tiba-tiba mobil yang ditumpanginya bersama Kevin membelok menuju ke sebuah tempat yang cukup ia kenal. Itu adalah tempat di mana dia akan pergi menggunakan jet pribadi. Irina tahu karena dia pernah melakukannya dengan Kevin juga Max. Kenapa Kevin mengajaknya ke tempat ini?“Kita … mau ke mana?” tanya Irina saat mobil mereka berhenti.“Aku ada kerjaan di luar kota.” Kevin menjawab pendek dengan nada setengah mendesis.“Kamu akan menginap di sana?” tanya Irina kemudian.Kevin menatap Irina dengan sungguh-sungguh. “Bukan hanya aku, tapi kita.”“Tapi, aku enggak bawa baju. Maksudku….” Irina bahkan baru ingat jika baju yang dia gunakan di balik coat ini masih kotor akibat jus yang ditumpahkan Rani padanya. Bagaimana mungkin dia bepergian menggunakan pakaian seperti itu?“Kamu tidak bisa menolak.” Kevin tak bisa diganggu gugat. Irina menghela napas panjang. Pada akhirnya, dia hanya bisa mengikuti apa pun kemauan Kevin. Keduanya lalu turun dari mobil dan disambut