Irina membuka mata ketika hari sudah gelap. Dia mengalihkan pandangan ke segala penjuru ruangan dan hanya mendapati dirinya yang terbaring di ranjang sendirian. Apa Kevin sudah pergi meninggalkannya?
Irina langsung bangun. Dia segera keluar dan mencari keberadaan Kevin. Entah mengapa, Irina merasa ingin ditemani. Dia tidak ingin Kevin meninggalkannya sendirian saat ini.
Tidak lama, dia mendapati Kevin sedang sibuk di dapur. Lalu, Irina mengamatinya dari belakang. Apa pria itu sedang memasak untuknya? Ya, mungkin saja. Irina tidak heran karena sejak dulu, Kevin memang sangat perhatian padanya.
***
Irina sedang duduk sendirian di bangku taman sekolah saat itu. Biasanya, saat istirahat jam makan siang, Irina sering menghabiskan waktu di sana dengan membaca buku yang ia pinjam dari perpustakaan. Ingin ke kantin pun Irina tidak memiliki uang. Sebenarnya, dia mendapat uang jajan oleh orang tua Kevin, tetapi uang jajan itu dia simpan untuk membeli sesuatu yang lebih berguna.
Irina terkejut saat tiba-tiba ada dua orang anak laki-laki berjalan mendekatinya. Itu adalah anak laki-laki kelas 3, mungkin satu kelas dengan Kevin. Sedangkan, Irina sendiri memang masih duduk di bangku kelas 1.
“Hai, aku sudah ngamatin kamu sejak lama. Boleh kenalan, enggak?” tanya salah satunya sembari mendekat ke arah Irina.
Irina hanya tersenyum lembut, kemudian dia mengangguk. “Boleh.”
“Aku Ares. Kamu Irina, ya?” tanya anak lelaki bernama Ares tersebut.
“Iya. Kok tahu?” tanya Irina balik.
“Kan aku sudah bilang kalau aku sudah ngamatin kamu sejak lama,” jawab Ares lagi.
Irina hanya tersenyum lembut menanggapi jawaban Ares. Tiba-tiba saja, seseorang datang dengan ekspresi dinginnya.
“Jauhi dia.” Hanya dua kata, tapi mampu membuat Irina dan Ares serta temannya menatap ke arah si pemilik suara. Siapa lagi jika bukan Kevin.
Irina sempat bingung. Sedangkan Ares dan temannya segera pergi meninggalkan Kevin dan Irina. Sepeninggal mereka, Irina memberanikan diri untuk bertanya, “Kenapa kamu melakukan itu?”
“Mereka bukan anak baik-baik. Jangan dekat-dekat dengan mereka.”
“Tapi, kupikir dia ramah.”
“Aku sudah memperingatkanmu, jangan mau didekati mereka.” Kevin berkata sekali lagi dengan tegas sebelum pria itu melenggang pergi begitu saja.
Irina baru menyadari, bahwa ucapan Kevin saat itu benar. Setelah beberapa bulan kemudian, Ares terkena kasus karena telah menghamili anak SMP. Sungguh, Irina merasa bersyukur karena saat itu Kevin menghalangi Ares mendekatinya.
***
Kaki Irina mendekat ke arah Kevin, kemudian tanpa diduga dia melingkarkan lengannya pada perut Kevin. Ia memeluk Kevin dari belakang.
Kevin sempat membeku karena ulah Irina. Selama ini, hubungan mereka memang dekat. Namun, Irina seperti selalu menjaga jarak darinya. Entah apa yang terjadi dengan Irina malam ini, Kevin tidak tahu. Dan seharusnya, dia tak perlu mencari tahu karena dirinya tidak akan berharap lagi kepada sosok Irina.
“Aku senang kamu masih di sini. Kukira kamu udah pulang.” Irina setengah menggumam saat mengatakan kalimat tersebut.
“Aku akan pulang setelah memastikan kamu sudah makan.” Kevin membuka suaranya. Nadanya masih sama, dingin dan datar seakan tak berekspresi.
Pelukan Irina makin mengerat. “Aku tidak tahu kenapa. Tapi, aku … ingin kamu lebih lama di sini,” ucap Irina dengan manja. Dia tidak pernah bersikap seperti itu dengan Kevin sebelumnya.
“Ya, aku akan menemanimu sampai kamu tidur nanti.”
Irina tersenyum lembut. “Terima kasih. Kamu memang kakak yang baik.”
Kakak? Sekali lagi, Kevin disadarkan bahwa Irina memang selalu menganggapnya sebagai kakak. Dan entah kenapa, Kevin merasa tidak suka. Segera Kevin melepas paksa pelukan Irina, kemudian ia membalikkan tubuhnya untuk menatap Irina.
Irina menatap Kevin penuh tanya. Tadi, dia merasakan bahwa Kevin sudah menanggapi ucapan dan keinginannya dengan lembut. Namun kini, pria itu malah menatapnya dengan tajam.
“Sekarang, duduklah saja. Aku akan menyelesaikan masakan makan malam ini,” perintah Kevin dengan nada dingin seakan tidak ingin dibantah sedikit pun. Irina pun menurutinya.
***
Makan malam akhirnya berlangsung dalam suasana hening. Hanya suara denting piring dan sendok yang saling beradu. Irina menyantap dengan lahap masakan Kevin. Dia tidak mual sedikit pun dannafsu makannya seakan kembali. Padahal, sepanjang hari Irina merasa ia tidak ingin memakan apa pun.
Kevin sendiri hanya mengamati Irina, seakan-akan memang hanya Irina yang membuatnya tertarik. Ketika Irina mengangkat wajahnya dan menatapnya sembari tersenyum, Kevin tetap tak bereaksi. Dia hanya fokus menatap Irina yang menghabiskan masakan buatannya seperti seorang yang sedang kelaparan.
“Wah! Aku enggak nyangka bisa habisin makanan ini. Padahal, aku enggak pernah bisa makan banyak. Apalagi sejak hamil,” ucap Irina sembari menepuk-nepuk perutnya yang sudah terlihat sedikit buncit. Hal itu tak lepas dari tatapan mata Kevin.
Sebenarnya, Kevin bukannya tak peduli. Hanya saja, sejak pertama kali menyetujui ide gila sebagai pendonor sperma bagi Irina, keduanya sudah menandatangani kontrak yang mengatakan bahwa pria itu tidak berhak atas bayi yang dikandung Irina. Jadi, Kevin mencoba untuk membutakan matanya perihal kondisi perempuan di hadapannya itu.
Ditatap intens seperti itu oleh Kevin membuat Irina sedikit salah tingkah. Kevin memang hampir tidak pernah memikirkan atau bertanya tentang kehamilan Irina. Karena itulah, saat Kevin sedang menatap perutnya seperti itu, Irina merasa kurang nyaman.
“Kalau begitu, aku beresin dulu.” Irina bangkit membereskan piringnya dan menuju ke arah bak cuci piring. Kevin hanya diam di tempat duduknya dan hal itu membuat Irina menghela napas lega.
Tak lama, Irina merasakan bahwa Kevin mendekatinya. “Lebih baik kamu tidur saja, sudah malam. Aku yang akan membereskan semuanya.”
“Kamu mau cepat-cepat pulang?” tanya Irina setelah mencuci tangannya dan menghadap ke arah Kevin.
“Kenapa kamu berkata seperti itu?” Kevin bertanya balik.
“Karena kamu tadi bilang kalau kamu akan pergi setelah aku tidur.”
“Jadi, apa maumu?” tanya Kevin kemudian.
Irina menunduk lesu. Dia tidak tahu apa yang dia inginkan, dia hanya tak ingin sendiri. “Bisakah … malam ini kamu menginap? Maksudku, aku tidak ingin menghabiskan malam sendiri. Maksudku….”
Irina tidak tahu harus menjelaskan seperti apa. Tentu saja, tak mungkin mereka akan tidur bersama dengan intim. Irina hanya ingin ditemani dan membayangkan bahwa Kevin yang menemaninya, itu membuat Irina merasa tenang dan nyaman.
“Tidurlah lebih dulu, nanti aku menyusul.” Kevin menjawab.
Pada akhirnya, Irina pergi. Dia menuju ke dalam kamarnya dan berpikir bahwa Kevin tidak akan menemaninya. Pada akhirnya, Irina kembali menangis. Entahlah, dia hanya merasa benar-benar kesepian. Seperti inikah akhir hidupnya?
Akan tetapi, setelah beberapa saat, Irina mendengar pintu kamarnya dibuka. Dia melihat ke arah pintu dan mendapati Kevin berada di sana. Pria itu masuk ke kamarnya dan tanpa basa-basi, dia tidur di sisi lain dari ranjang Irina.
“Kamu … tidur di sini?” tanya Irina yang masih tak percaya dengan apa yang dilakukan Kevin. Dia mengira bahwa Kevin akan pulang dan tak memedulikannya.
“Bukankah kamu yang memintaku agar menginap?” tanya Kevin dengan nada dingin.
Meski pertanyaan itu terdengar dingin di telinga Irina, tapi Irina tak dapat menahan senyumannya. Dia senang dan sangat lega saat Kevin memilih untuk tetap tinggal di sisinya malam ini.
“Terima kasih.” Hanya itu yang dapat dikatakan oleh Irina.
“Tidurlah.” Kevin menjawabnya dengan sebuah perintah.
Irina sendiri melakukan apa yang diperintahkan Kevin. Mungkin, saat ini Kevin sedang kesal padanya. Mungkin, Kevin tak rela menemaninya. Irina tidak peduli, yang dia pedulikan saat ini adalah fakta bahwa malam ini dia tak akan merasakan kesepian.
-TBC-
Sejak Max memutuskan untuk benar-benar mengakhiri pernikahannya dengan Irina dua bulan yang lalu, Irina menjadi lebih tertutup. Padahal, banyak sekali media yang sedang memburunya. Bagaimana tidak? Dia berpisah saat sedang mengandung. Hal itu membuat media bertanya-tanya bahkan mengejarnya untuk mendapatkan berita.Akhirnya, Irina memilih untuk menghabiskan banyak waktu di apartemen pribadinya. Beruntung, lagi-lagi Kevin mau membantunya menyiapkan semua yang ia butuhkan. Kehamilan Irina kini sudah hampir memasuki usia 6 bulan. Irina merasa bahwa tubuhnya sudah banyak berubah. Dia mulai sering lelah dan hormonnya benar-benar kacau. Irina sering merasa bahwa dia tidak menjadi dirinya sendiri, seperti sering menangis sendiri, bahkan tak jarang dia merengek pada Kevin.Ya, mau bagaimana lagi? Irina tak mungkin menghubungi Max lagi. Mantan suaminya itu kini mungkin sudah bahagia dengan kekasih simpanannya. Satu-satunya orang yang ia miliki saat ini hanyalah Kevin. Namun, Irina sadar. Kevi
Plak!Wajah Irina terlempar ke samping setelah tamparan keras dari Dewi, ibu dari Kevin, mendarat sempurna di pipinya.“Mama!” Kevin berseru karena tak percaya dengan apa yang sudah dilakukan ibunya. Bahkan, dia segera menarik tubuh Irina ke belakangnya, menengahi karena dia tidak mau ibunya berbuat lebih jauh lagi pada Irina.“Perempuan kurang ajar! Inikah balasan yang kamu berikan pada keluarga saya?! Kamu sudah melempar kotoran pada keluarga besar saya!” Dewi sangat marah. Sungguh.Kevin adalah putra satu-satunya dari Keluarga Diningrat. Sejak dulu, Dewi ingin memiliki anak lain, jika bisa anak perempuan. Karena Tuhan tidak memberikan kesempatan tersebut, ia akhirnya menganggap Irina sebagai anaknya sendiri. Dewi membiayai Irina karena dia tahu, Irina adalah anak yang baik dan pintar. Ditambah, Irina mau bekerja keras. Saat Irina terjun di dunia permodelan dan sukses di sana, Dewi juga mendukung penuh.Kini, Dewi tidak menyangka bahwa Irina akan mempermalukan keluarga besarnya samp
Irina menatap rumah besar di hadapannya dengan penuh kekaguman. Itu adalah rumah lain dari Keluarga Diningrat. Ini adalah pertama kalinya Irina diajak mengunjungi rumah ini.Berbeda dengan rumah utama yang bergaya modern, rumah yang satu ini cenderung lebih klasik. Yang membuat Irina senang adalah halaman rumah ini sangat lebar dan ditumbuhi pepohonan, hingga tidak merasa bahwa rumah ini berada di pinggiran kota metropolitan. Suasananya terasa nyaman dan asri, membuat siapa saja akan merasa tenang berada di area rumah ini.“Kenapa sampai ternganga gitu?” Pertanyaan itu diajukan oleh Kevin yang kini menatap Irina yang kini sedang menampilkan ekspresi lucunya.“Aku kagum sama rumahnya.”“Bagus, ya?” tanya Kevin kemudian. “Ini akan menjadi rumah masa depanku.”“Maksudmu?” Irina tak mengerti.“Kalau aku menikah nanti, aku mau tingggal di sini dengan istri dan anak-anakku. Kamu lihat di sana, halamannya sangat luas. Nah, aku bisa buat lapangan bola mini di sana.”Irina tersenyum lembut. “P
Irina menunggu cukup lama sembari meremas kedua belah telapak tangannya. Hari ini, dia tengah berada di sebuah rumah sakit. Bukan untuk memeriksakan diri, melainkan untuk menemui Rani yang bekerja menjadi dokter di sana.Irina sudah beberapa kali menghubungi Rani. Dia memiliki kontaknya karena dia dan Rani memang saling mengenal dengan baik. Namun, Rani seakan tak ingin mengangkat teleponnya. Perempuan itu seakan menutup semua komunikasi yang dilakukan Irina padanya. Hingga akhirnya, Irina memutuskan untuk menemui Rani di tempat kerjanya saja hari ini, beberapa hari setelah ia dan Kevin sudah resmi menikah.Irina berharap bahwa Rani mau menemuinya. Bagaimanapun juga, dia berutang maaf pada Rani. Irina bahkan berencana untuk mengembalikan Kevin pada Rani setelah dia melahirkan. Dan semoga saja, Rani bersedia menerima niatannya tersebut hingga semua bisa berjalan seperti sebelumnya.Pintu ruang tunggu dibuka, menampilkan sosok Rani yang sudah berdiri di ambang pintu dan menatap Irina de
Kevin baru saja selesai rapat saat tiba-tiba dia merasa sangat merindukan Irina. Sebenarnya, hal seperti ini sering dirasakan oleh Kevin, tetapi ia memilih untuk mengabaikannya. Bahkan, menganggap bahwa perasaannya yang merindukan Irina adalah perasaan yang tak seharusnya dia rasakan.Kini, Kevin merasa bahwa perasaan seperti ini wajar dia rasakan. Irina adalah istrinya dan perempuan itu sedang mengandung anaknya. Jadi, sangat wajar saja jika dia mengkhawatirkan atau bahkan merindukan Irina.Kevin tidak bisa menghentikan niatannya untuk menghubungi Irina. Dalam sekejap mata, Kevin sudah terhubung dengan Irina melalui saluran telepon.“Kamu di mana?”“Aku sedang di kafe dengan temanku. Ada apa? Tumben kamu telepon?”“Bisa ke kantorku?”“Ada masalah?” tanya Irina.“Enggak. Cuma mau pulang bersama saja nanti.” Kevin menjawab seadanya. Dia juga tidak tahu kenapa dia ingin sekali Irina berada di sekitarnya saat ini.“Oke, kalau gitu aku ke sana.” Kemudian panggilan ditutup. Kevin hanya men
Irina sedikit terkejut saat tiba-tiba mobil yang ditumpanginya bersama Kevin membelok menuju ke sebuah tempat yang cukup ia kenal. Itu adalah tempat di mana dia akan pergi menggunakan jet pribadi. Irina tahu karena dia pernah melakukannya dengan Kevin juga Max. Kenapa Kevin mengajaknya ke tempat ini?“Kita … mau ke mana?” tanya Irina saat mobil mereka berhenti.“Aku ada kerjaan di luar kota.” Kevin menjawab pendek dengan nada setengah mendesis.“Kamu akan menginap di sana?” tanya Irina kemudian.Kevin menatap Irina dengan sungguh-sungguh. “Bukan hanya aku, tapi kita.”“Tapi, aku enggak bawa baju. Maksudku….” Irina bahkan baru ingat jika baju yang dia gunakan di balik coat ini masih kotor akibat jus yang ditumpahkan Rani padanya. Bagaimana mungkin dia bepergian menggunakan pakaian seperti itu?“Kamu tidak bisa menolak.” Kevin tak bisa diganggu gugat. Irina menghela napas panjang. Pada akhirnya, dia hanya bisa mengikuti apa pun kemauan Kevin. Keduanya lalu turun dari mobil dan disambut
Ciuman yang dilakukan Kevin makin intens, makin menuntut. Apalagi ketika Irina dengan spontan membalas ciumannya. Kevin menginginkan lebih, Kevin ingin menyentuh dan memiliki Irina sepenuhnya. Kemudian, dalam sekejap mata semuanya berakhir ketika Irina meremas dada Kevin lalu mendorongnya menjauh.Kevin menghentikan aksinya, dia tahu bahwa Irina menolaknya. Ekspresinya mengeras seketika, bahkan Kevin merasa sedikit malu saat sadar dirinya mendapatkan penolakan dari istrinya sendiri.“Kevin, kupikir….” Irina menggantung kalimatnya, dia ragu menyatakan alasan kenapa ia menolak pria ini.Kevin tak butuh alasan itu, dia tahu pasti kenapa Irina menolaknya. Irina tak menginginkannya. Irina menikah dengannya hanya karena kehadiran bayi itu. Irina masih mencintai mantan suaminya, dan mungkin saja perempuan ini kini sudah kembali menjalin kasih dengan mantan kekasihnya.Kevin marah. Ekspresinya mengeras, tetapi dia tak bisa melampiaskan kemarahannya pada Irina. Secepat kilat Kevin menjauhi Iri
Jam sepuluh malam, Kevin dan Irina sudah kembali ke cottage mereka. Sebenarnya, Kevin hanya akan mengantar Irina, sedangkan dia akan menghabiskan waktunya di bar lalu tidur di hotel yang terpisah dengan Irina seperti kemarin. Namun, saat Kevin akan berbalik, Irina bertanya, “Kamu akan pergi?” “Ya.” Kevin menjawab pendek.“Kamu akan ninggalin aku?” tanya Irina lagi.“Ya.” Sekali lagi Kevin menjawab pendek. Dia bersiap melangkah menjauh, tetapi Irina dengan cepat sudah menggapai lengannya dan menghentikan langkah Kevin.“Tidak bisakah kamu di sini saja?” tanya Irina kemudian.“Kalau aku di sini, kita tidak hanya akan tidur.” Kevin mendesis tajam.“Kevin.”“Lepaskan aku, Irina.” Kevin membuka suaranya. Namun, cekalan Irina makin erat. “Kamu bisa melakukan apa pun padaku. Asalkan jangan tinggalkan aku,” ucapnya setengah melirih.Tubuh Kevin membeku seketika, dia tidak menyangka bahwa Irina akan mengucapkan kalimat itu. Segera dia menatap ke arah Irina, Kevin mendapati perempuan itu yang