Sejak Max memutuskan untuk benar-benar mengakhiri pernikahannya dengan Irina dua bulan yang lalu, Irina menjadi lebih tertutup. Padahal, banyak sekali media yang sedang memburunya. Bagaimana tidak? Dia berpisah saat sedang mengandung. Hal itu membuat media bertanya-tanya bahkan mengejarnya untuk mendapatkan berita.
Akhirnya, Irina memilih untuk menghabiskan banyak waktu di apartemen pribadinya. Beruntung, lagi-lagi Kevin mau membantunya menyiapkan semua yang ia butuhkan.
Kehamilan Irina kini sudah hampir memasuki usia 6 bulan. Irina merasa bahwa tubuhnya sudah banyak berubah. Dia mulai sering lelah dan hormonnya benar-benar kacau. Irina sering merasa bahwa dia tidak menjadi dirinya sendiri, seperti sering menangis sendiri, bahkan tak jarang dia merengek pada Kevin.
Ya, mau bagaimana lagi? Irina tak mungkin menghubungi Max lagi. Mantan suaminya itu kini mungkin sudah bahagia dengan kekasih simpanannya. Satu-satunya orang yang ia miliki saat ini hanyalah Kevin. Namun, Irina sadar. Kevin pun sebentar lagi akan dimiliki oleh orang lain.
Kemarin, Kevin datang ke apartemennya. Seperti biasa, pria itu mengantarkan beberapa barang keperluannya karena Irina tidak mungkin ke luar dengan banyak media yang sedang menunggunya. Ketika Kevin ke apartemennya kemarin, pria itu mengatakan sesuatu yang tak pernah terpikirkan oleh Irina.
“Pernikahanku dan Rani dipercepat. Mungkin, bulan depan kami akan menikah.”
Irina yang saat itu sedang menikmati es krim yang dibawakan oleh Kevin deketika menghentikan tangannya. Ia lalu menatap Kevin dengan penuh rasa terkejut. “Kenapa?” tanya Irina dengan cepat.
“Aku sudah memutuskan, bahwa ini yang terbaik untuk kita semua.” Kevin menjawab dengan nada dingin. Seperti biasa.
“Apa maksudmu?” tanya Irina kemudian.
“Dengar, setelah menikah, aku akan fokus dengan keluargaku, dengan istriku. Jadi, kamu tidak bisa lagi sesuka hati memanggilku agar datang kepadamu.”
“Jadi, maksudmu … selama ini aku mengganggumu?” tanya Irina dengan sedikit terpatah-patah.
Kevin tampak ragu, tapi kemudian pria itu menjawab. “Ya.”
Irina merasa tertampar. Selama ini, dia merasa menjadi orang yang istimewa untuk Kevin. Dia merasa bahwa Kevin selalu menuruti apa pun yang diinginkannya. Namun ternyata, pria itu melakukannya hanya karena ia terpaksa dan bertanggung jawab terhadap Irina.
Irina tak mampu lagi berkata-kata setelah itu. Dia benar-benar merasa sendiri. Pernikahannya dengan Max sudah berakhir. Dan kini, satu-satunya orang terdekat yang ia miliki memilih untuk pergi meninggalkannya.
Saat itu, Irina tidak tahu harus berbuat apa dengan perasaan sehancur ini. Namun, kini Irina sudah tahu. Perempuan itu memutuskan bahwa dia tidak ingin kehilangan Kevin. Mungkin, dia akan menjadi perempuan yang sangat jahat karena sudah mengacaukan rencana pernikahan Kevin. Namun, Irina mencoba untuk tidak peduli. Dia akan menjadi egois.
“Aku melakukan semua ini untukmu,” bisik Irina sembari mengusap perutnya yang sudah makin membuncit.
Irina lalu menghela napas panjang sebelum memutuskan untuk keluar dari apartemen. Hari ini, dia akan melakukan hal yang cukup berani. Mungkin, mulai hari ini akan ada banyak orang yang membencinya.
***
“Irina, klarifikasi, dong! Apa benar bahwa kalian bercerai karena orang ketiga?”
“Apa benar kabar yang beredar bahwa kamu mengandung bayi pria lain?”
“Kenapa kamu sembunyi selama ini?”
“Apakah kamu berselingkuh?”
“Bagaimana dengan bayimu?”
Segelintir pertanyaan yang dilontarkan media seakan menghantamnya. Irina sadar benar, dia hampir tak memiliki privasi setelah menjadi model profesional. Kariernya sangat bagus, dan berita pernikahannya dengan Max membuat kariernya makin melejit.
Ya, seorang model yang menikah dengan pengusaha asing kaya raya. Tentu saja bagaikan cerita-cerita di negeri dongeng. Banyak sekali orang yang mengidolakannya dengan Max saat itu. Maka, ketika hubungan pernikahannya dengan Max berakhir, Irina seakan memiliki kewajiban untuk menjelaskannya kepada semua orang.
Tujuan Irina melakukan siaran pers kali ini adalah untuk mengakui satu hal yang dia percaya akan mengubah hidupnya dan bayi yang dikandungnya. Irina tidak ingin membahas apa pun tentang Max lagi karena itu membuatnya merasa seperti sedang membuka luka lamanya.
“Tujuan saya mengumpulkan kalian di sini hanya untuk meminta pada kalian agar saya tidak dikaitkan lagi dengan mantan suami saya.” Irina akhirnya membuka suara.
“Tapi, kenapa? Bagaimana dengan bayimu?” tanya salah seorang wartawan.
“Bayi ini tidak ada hubungannya dengan mantan suami saya. Ya, benar. Ini bukanlah bayinya.” Irina berkata tegas, membuat para wartawan saling berbisik tak menyangka bahwa Irina akan berkata jujur di depan para pers.
“Apa rumor yang beredar adalah benar? Bahwa kamu melakukan perselingkuhan?”
“Siapa ayah bayinya?”
Irina tampak ragu. Tapi kemudian, dia menguatkan diri dan menjawab. “Ini anak kekasihku, Kevin Putra Diningrat.”
***
Apa maksud perempuan itu? Apa tujuannya? Kevin membeku di tempat duduknya saat melihat siaran pers yang dilakukan oleh Irina. Tadi, Kevin mendapat kabar dari orang yang dia suruh untuk mengawasi Irina. Rupanya, Irina hari ini ke luar dan perempuan itu melakukan siaran pers sendiri.
Awalnya, Kevin mengira bahwa Irina sudah sangat tertekan dan ingin mengakhiri semuanya dengan bersikap tegas pada media. Namun, rupanya salah. Kevin lalu bersiap meninggalkan meja kerjanya. Dia harus bertemu dengan Irina dan menanyakan kenapa perempuan itu melakukan semua ini. Bahkan, ia telah melanggar perjanjian yang dia buat sendiri.
Mobil Kevin melesat menuju ke tempat di mana Irina melakukan siaran pers. Tepat ketika mobil Kevin sampai di tempat itu, Irina baru saja selesai melakukan siaran persnya dan perempuan itu tampak dikerubungi oleh beberapa wartawan yang tampak belum puas.
Mobil Kevin berhenti tepat di hadapan mereka semua hingga semua yang berada di sana menatap ke arah mobil tersebut, tak terkecuali Irina. Kevin menurunkan kaca penumpang sebelum berkata, “Masuk.”
Irina menuruti perkataan Kevin. Pada akhirnya, dia masuk ke dalam mobil Kevil lalu mobil tersebut melesat meninggalkan tempat itu.
***
“Apa yang kamu lakukan?” tanya Kevin pada Irina. Saat ini, keduanya masih berada di dalam mobil Kevin. Pria itu sudah menepikan mobilnya di sebuah tempat yang cukup sepi.
“Maaf.” Hanya itu yang bisa Irina katakan.
Kevin menatap Irina dengan marah. “Kita memiliki kontrak, Irina! Bahkan, kamu sendiri yang membuatnya!” Kevin berseru keras karena marah. Dia ingat, saat pertama kali mereka melakukan proses inseminasi buatan, Irina sendiri yang ngotot bahwa Kevin tidak boleh mengakui anak itu sebagai anaknya dan hal itu dijadikan kontrak yang kuat.
Irina menunduk malu. “Aku butuh kamu, Vin. Anak ini butuh kamu,” Lirihnya.
“Seharusnya kamu memikirkan hal tersebut sebelum bertindak sejauh ini!” Kevin berseru keras. Kemudian, dia mengusap wajahnya dengan frustrasi. Tak lama setelah itu, ponselnya berbunyi. Kevin meraihnya dan menatap nama si pemanggil.
“Ya, Ma?” Tidak salah lagi. Toh, Kevin tahu bahwa masalah ini akan berimbas pada keluarga besarnya.
Irina segera menatap Kevin saat mendengar Kevin memanggil mamanya. Irina tahu, kini dia akan mendapatkan masalah yang cukup besar.
“Baik. Kevin akan pulang.” Setelah itu, panggilan ditutup.
Kevin menghela napas panjang sebelum dia menatap Irina dan berkata. “Ikut aku kembali ke rumah.”
“Apa … Ibu marah?” tanya Irina kemudian. Di masa Irina masih bersekolah, Irina memang memanggil ibu Kevin dengan panggilan Ibu.
“Sangat.” Kevin menjawab singkat. “Kita harus ke sana, Papa juga menunggu di sana.”
Pada akhirnya, Irina hanya bisa mengangguk. Dia akan menjalaninya, dia yakin dia bisa kuat melewati semuanya.
-TBC-
Plak!Wajah Irina terlempar ke samping setelah tamparan keras dari Dewi, ibu dari Kevin, mendarat sempurna di pipinya.“Mama!” Kevin berseru karena tak percaya dengan apa yang sudah dilakukan ibunya. Bahkan, dia segera menarik tubuh Irina ke belakangnya, menengahi karena dia tidak mau ibunya berbuat lebih jauh lagi pada Irina.“Perempuan kurang ajar! Inikah balasan yang kamu berikan pada keluarga saya?! Kamu sudah melempar kotoran pada keluarga besar saya!” Dewi sangat marah. Sungguh.Kevin adalah putra satu-satunya dari Keluarga Diningrat. Sejak dulu, Dewi ingin memiliki anak lain, jika bisa anak perempuan. Karena Tuhan tidak memberikan kesempatan tersebut, ia akhirnya menganggap Irina sebagai anaknya sendiri. Dewi membiayai Irina karena dia tahu, Irina adalah anak yang baik dan pintar. Ditambah, Irina mau bekerja keras. Saat Irina terjun di dunia permodelan dan sukses di sana, Dewi juga mendukung penuh.Kini, Dewi tidak menyangka bahwa Irina akan mempermalukan keluarga besarnya samp
Irina menatap rumah besar di hadapannya dengan penuh kekaguman. Itu adalah rumah lain dari Keluarga Diningrat. Ini adalah pertama kalinya Irina diajak mengunjungi rumah ini.Berbeda dengan rumah utama yang bergaya modern, rumah yang satu ini cenderung lebih klasik. Yang membuat Irina senang adalah halaman rumah ini sangat lebar dan ditumbuhi pepohonan, hingga tidak merasa bahwa rumah ini berada di pinggiran kota metropolitan. Suasananya terasa nyaman dan asri, membuat siapa saja akan merasa tenang berada di area rumah ini.“Kenapa sampai ternganga gitu?” Pertanyaan itu diajukan oleh Kevin yang kini menatap Irina yang kini sedang menampilkan ekspresi lucunya.“Aku kagum sama rumahnya.”“Bagus, ya?” tanya Kevin kemudian. “Ini akan menjadi rumah masa depanku.”“Maksudmu?” Irina tak mengerti.“Kalau aku menikah nanti, aku mau tingggal di sini dengan istri dan anak-anakku. Kamu lihat di sana, halamannya sangat luas. Nah, aku bisa buat lapangan bola mini di sana.”Irina tersenyum lembut. “P
Irina menunggu cukup lama sembari meremas kedua belah telapak tangannya. Hari ini, dia tengah berada di sebuah rumah sakit. Bukan untuk memeriksakan diri, melainkan untuk menemui Rani yang bekerja menjadi dokter di sana.Irina sudah beberapa kali menghubungi Rani. Dia memiliki kontaknya karena dia dan Rani memang saling mengenal dengan baik. Namun, Rani seakan tak ingin mengangkat teleponnya. Perempuan itu seakan menutup semua komunikasi yang dilakukan Irina padanya. Hingga akhirnya, Irina memutuskan untuk menemui Rani di tempat kerjanya saja hari ini, beberapa hari setelah ia dan Kevin sudah resmi menikah.Irina berharap bahwa Rani mau menemuinya. Bagaimanapun juga, dia berutang maaf pada Rani. Irina bahkan berencana untuk mengembalikan Kevin pada Rani setelah dia melahirkan. Dan semoga saja, Rani bersedia menerima niatannya tersebut hingga semua bisa berjalan seperti sebelumnya.Pintu ruang tunggu dibuka, menampilkan sosok Rani yang sudah berdiri di ambang pintu dan menatap Irina de
Kevin baru saja selesai rapat saat tiba-tiba dia merasa sangat merindukan Irina. Sebenarnya, hal seperti ini sering dirasakan oleh Kevin, tetapi ia memilih untuk mengabaikannya. Bahkan, menganggap bahwa perasaannya yang merindukan Irina adalah perasaan yang tak seharusnya dia rasakan.Kini, Kevin merasa bahwa perasaan seperti ini wajar dia rasakan. Irina adalah istrinya dan perempuan itu sedang mengandung anaknya. Jadi, sangat wajar saja jika dia mengkhawatirkan atau bahkan merindukan Irina.Kevin tidak bisa menghentikan niatannya untuk menghubungi Irina. Dalam sekejap mata, Kevin sudah terhubung dengan Irina melalui saluran telepon.“Kamu di mana?”“Aku sedang di kafe dengan temanku. Ada apa? Tumben kamu telepon?”“Bisa ke kantorku?”“Ada masalah?” tanya Irina.“Enggak. Cuma mau pulang bersama saja nanti.” Kevin menjawab seadanya. Dia juga tidak tahu kenapa dia ingin sekali Irina berada di sekitarnya saat ini.“Oke, kalau gitu aku ke sana.” Kemudian panggilan ditutup. Kevin hanya men
Irina sedikit terkejut saat tiba-tiba mobil yang ditumpanginya bersama Kevin membelok menuju ke sebuah tempat yang cukup ia kenal. Itu adalah tempat di mana dia akan pergi menggunakan jet pribadi. Irina tahu karena dia pernah melakukannya dengan Kevin juga Max. Kenapa Kevin mengajaknya ke tempat ini?“Kita … mau ke mana?” tanya Irina saat mobil mereka berhenti.“Aku ada kerjaan di luar kota.” Kevin menjawab pendek dengan nada setengah mendesis.“Kamu akan menginap di sana?” tanya Irina kemudian.Kevin menatap Irina dengan sungguh-sungguh. “Bukan hanya aku, tapi kita.”“Tapi, aku enggak bawa baju. Maksudku….” Irina bahkan baru ingat jika baju yang dia gunakan di balik coat ini masih kotor akibat jus yang ditumpahkan Rani padanya. Bagaimana mungkin dia bepergian menggunakan pakaian seperti itu?“Kamu tidak bisa menolak.” Kevin tak bisa diganggu gugat. Irina menghela napas panjang. Pada akhirnya, dia hanya bisa mengikuti apa pun kemauan Kevin. Keduanya lalu turun dari mobil dan disambut
Ciuman yang dilakukan Kevin makin intens, makin menuntut. Apalagi ketika Irina dengan spontan membalas ciumannya. Kevin menginginkan lebih, Kevin ingin menyentuh dan memiliki Irina sepenuhnya. Kemudian, dalam sekejap mata semuanya berakhir ketika Irina meremas dada Kevin lalu mendorongnya menjauh.Kevin menghentikan aksinya, dia tahu bahwa Irina menolaknya. Ekspresinya mengeras seketika, bahkan Kevin merasa sedikit malu saat sadar dirinya mendapatkan penolakan dari istrinya sendiri.“Kevin, kupikir….” Irina menggantung kalimatnya, dia ragu menyatakan alasan kenapa ia menolak pria ini.Kevin tak butuh alasan itu, dia tahu pasti kenapa Irina menolaknya. Irina tak menginginkannya. Irina menikah dengannya hanya karena kehadiran bayi itu. Irina masih mencintai mantan suaminya, dan mungkin saja perempuan ini kini sudah kembali menjalin kasih dengan mantan kekasihnya.Kevin marah. Ekspresinya mengeras, tetapi dia tak bisa melampiaskan kemarahannya pada Irina. Secepat kilat Kevin menjauhi Iri
Jam sepuluh malam, Kevin dan Irina sudah kembali ke cottage mereka. Sebenarnya, Kevin hanya akan mengantar Irina, sedangkan dia akan menghabiskan waktunya di bar lalu tidur di hotel yang terpisah dengan Irina seperti kemarin. Namun, saat Kevin akan berbalik, Irina bertanya, “Kamu akan pergi?” “Ya.” Kevin menjawab pendek.“Kamu akan ninggalin aku?” tanya Irina lagi.“Ya.” Sekali lagi Kevin menjawab pendek. Dia bersiap melangkah menjauh, tetapi Irina dengan cepat sudah menggapai lengannya dan menghentikan langkah Kevin.“Tidak bisakah kamu di sini saja?” tanya Irina kemudian.“Kalau aku di sini, kita tidak hanya akan tidur.” Kevin mendesis tajam.“Kevin.”“Lepaskan aku, Irina.” Kevin membuka suaranya. Namun, cekalan Irina makin erat. “Kamu bisa melakukan apa pun padaku. Asalkan jangan tinggalkan aku,” ucapnya setengah melirih.Tubuh Kevin membeku seketika, dia tidak menyangka bahwa Irina akan mengucapkan kalimat itu. Segera dia menatap ke arah Irina, Kevin mendapati perempuan itu yang
Pagi itu, Irina terbangun sendiri. Dia sempat terkejut mendapati tubuhnya telanjang bulat di bawah selimut tebal. Kemudian Irina baru mengingat bahwa semalam dia telah melakukan hubungan intim dengan Kevin. Irina merasakan pipinya memanas seketika ketika mengingat kejadian itu. Segera dia menggosok pipinya, yang mungkin saat ini sudah terlihat memerah. Semalam, Kevin begitu bergairah, meski begitu, pria itu sangat lembut memperlakukannya. Seakan-akan dia adalah sesuatu yang rapuh dan mudah pecah. Kevin begitu menjaganya, bahkan pria itu tak menuntut banyak hal padanya. Irina menggeleng. Seharusnya dia tak mengingat tentang semalam lagi. Bisa-bisa wajahnya tak berhenti memerah seperti tomat nantinya.Irina kemudian mengalihkan pandangan ke segala penjuru ruangan. Dia mencari keberadaan Kevin yang mungkin saja masih di dalam kamar. Nyatanya, pria itu tak ada di sana.Irina menuju ke kamar mandi dengan tubuh yang masih berbalutkan selimut. Irina harus mandi, dia ingin bertemu dengan Ke