Camilia menghentikan langkahnya sejenak, sebelum tiba di depan pintu ruangan. Dia mengedarkan pandangan ke segala arah. Banyak pasangan suami istri juga mondar-mandir di depan ruangan tersebut. Namun, tiba-tiba gadis bermata bulat itu semakin gemetar ketika melihat seorang perawat keluar dari ruangan sambil menoleh ke sana ke mari, seolah-olah mencari seseorang.
'Ya Tuhan, saya tidak ingin melakukan hal ini. Beri petunjuk, Tuhan!' ratapnya dalam batin. Camilia kemudian berusaha menguatkan hatinya dan melangkah menghampiri seorang perawat yang masih berdiri di depan pintu dan mendekap sebuah map.
"Suster! Sa-saya ...." Camilia tak melanjutkan ucapannya karena merasa gugup di depan perawat rumah sakit itu.
"Iya. Ada yang bisa dibantu?" tanya perawat yang tampak ramah itu kepada Camilia.
"Bisakah saya pergi dari rumah sakit ini?" tanya Camilia.
"Maksud anda?" tanya perawat rumah sakit yang tampak kebingungan.
"Saya membutuhkan bantuan anda, Suster! Adakah pintu belakang untuk keluar dari rumah sakit ini? Maksud saya ... pintu lain selain pintu utama yang ada di depan. Saya mohon bantuannya, Suster!" ujar Camilia memohon bantuan dari perawat yang berdiri di depannya.
Perawat rumah sakit itu terdiam, tetapi pandangannya terus tertuju pada Camilia yang matanya mulai berkaca-kaca.
"Ayo, ikuti langkah saya!" seru sang perawat rumah sakit itu, setelah merenung sejenak. Camilia lantas mengikuti langkah perawat itu melewati lorong panjang rumah sakit. Tak berapa lama, keduanya tiba di sebuah pintu.
Perawat rumah sakit itu bergegas memutar handel pintu. Dia mengantar Camilia hingga keluar dari rumah sakit melalui pintu belakang.
"Terima kasih, anda telah membantu saya, Suster! Terima kasih banyak!" ucap Camilia sebelum berlalu.
"Terimalah ini untuk bekal selama di jalan!" Perawat itu menyodorkan sejumlah uang yang diraihnya dari dalam saku ke tangan Camilia.
"Terima kasih, Suster. Anda begitu baik mau menolong saya. Saya tidak akan melupakan bantuan anda. Terima kasih banyak, Suster!" ucapnya sembari membungkukkan badan tanda berterima kasih. Batin Camilia merasa beruntung bertemu dengan seorang perawat yang mau membantunya.
"Cepatlah berangkat! Saya juga akan kembali ke ruangan saya," seru perawat itu.
Camilia mengangguk dan bergegas berlalu, sedangkan perawat rumah sakit itupun bergegas menuju ruangannya lagi.
***
Rumah Tuan Alfonso
Nyonya Besar merasa terkejut mendengar pengakuan Nona Alice jika pengasuhnya telah menghilang sejak pagi. Wanita tua itu kemudian memanggil asisten rumah tangga dan hendak menanyainya.
"Anna! Anna!" Nyonya Merry berteriak memanggil begitu tiba di depan ruangan dapur.
"Iya, Nyonya." Asisten rumah tangga itu kemudian datang tergopoh-gopoh menemui sang Nyonya Besar.
"Camilia pergi ke mana?" tanya Nyonya Merry.
"Saya tidak tahu, Nyonya. Sejak Nyonya berangkat ke rumah sakit tadi pagi, saya juga tidak melihatnya," sahut sang asisten rumah tangga itu.
"Apa tidak mengatakan pergi ke mana kepadamu?" selidik wanita tua itu.
"Tidak, Nyonya."
"Ya sudah, kembalilah lagi ke dapur!" perintah Nyonya Besar.
Asisten rumah tangga itu mengangguk, kemudian bergegas kembali menuju ruang dapur. Nyonya Merry pun kembali menuju kamarnya sembari memikirkan keberadaan Camilia yang entah ke mana.
Nyonya Agatha yang menemui Tuan Reinhard di paviliun lain ingin mendengar kabar tentang Camilia.
"Apa? Dia tidak menggugurkan kandungannya?" gertak Nyonya Agatha dengan nada bertanya.
"Saya telah memerintahkan seseorang untuk mencarinya, Nyonya. Saya juga memastikan jika dia tidak akan bisa menghubungi Nyonya Merry dan Tuan Alfonso," sahut Tuan Reinhard.
Nyonya Agatha yang mendengar pernyataan asisten suaminya itu kemudian terdiam sejenak. Ucapan sang peramal yang mengatakan akan ada keturunan laki-laki dari wanita lain selalu terngiang-ngiang di telinganya. Wanita cantik dengan tampilan yang sangat modis itu tampak frustrasi.
"Mustahil. Hal ini sangat mustahil," gumam Nyonya Agatha. Nyonya Muda itu lantas berjalan menuju sofa sambil memegangi gelas berisi minuman beralkohol. Namun, baru beberapa langkah, dia terhuyung dan hampir saja tersungkur.
"Anda tidak kenapa-napa, Nyonya? Apakah anda baik-baik saja?" tanya Tuan Reinhard yang sigap meraih tubuh istri atasannya tersebut.
Nyonya Agatha menatap sinis ke arah asisten suaminya itu. Kemudian dia secepat kilat menyingkirkan tangan Tuan Reinhard yang tidak sengaja masih memegang lengannya. Namun, sesaat kemudian ucapan peramal itu berdengung lagi di telinganya. Kali ini, yang teringat adalah ucapan jika dia akan memperoleh keturunan laki-laki juga dengan lelaki selain suaminya.
"Apakah Nyonya baik-baik saja?" tanya Tuan Reinhard yang melihat Nyonya Muda itu berpegangan di kursi sambil termenung menatapnya lekat. Sesaat kemudian Nyonya Agatha yang membungkuk mencoba bangkit dengan uluran tangan asisten suaminya itu.
"Lepaskan!" pekik Nyonya Agatha sambil menyingkirkan kasar tangan Tuan Reinhard yang berusaha menolongnya. Lelaki itu kemudian mundur beberapa langkah. Sedangkan Nyonya Agatha kembali mengambil minuman dan menenggaknya.
"Cukup, Nyonya! Jangan lakukan itu lagi! Anda telah minum terlalu banyak!" seru Tuan Reinhard sambil mendekati dan berusaha mengambil alih gelas yang ada di genggaman Nyonya Agatha. Namun, tidak berhasil. Nyonya Muda itu mulai mabuk minuman beralkohol.
"Apa kamu peduli denganku?" tanya Nyonya Agatha, kemudian menenggak minumannya lagi.
"Hentikan, Agatha!" teriak Tuan Reinhard lagi membuat Nyonya Agatha terkejut dan langsung terduduk di sofa.
"Jangan sebut namaku! Aku adalah istri atasanmu," ancam Nyonya Agatha.
"Maafkan saya, Nyonya!" pinta Tuan Reinhard, kemudian mengambil gelas di meja saat Nyonya Agatha lengah. Lelaki itu lantas membalikkan badan dan hendak melangkah keluar paviliun.
"Apakah suamiku begitu menakutkan menurut dirimu?" tanya istri atasannya itu, saat Tuan Reinhard baru berjalan beberapa langkah dan terpaksa berhenti.
"Kalian berdua dibesarkan bersama-sama layaknya saudara. Kemudian setelah tumbuh dewasa, melihat orang yang kamu cintai bersama orang lain ... apakah kamu tidak sakit hati?" tanya Nyonya Agatha membuat Tuan Reinhard merasa kebingungan.
"Maaf! Saya tidak mengerti dengan yang Nyonya maksud," sahut lelaki yang menjabat asisten pribadi Tuan Alfonso itu.
"Apakah kamu akan terus-menerus hidup di bawah tekanannya? Apakah kamu benar-benar tidak mengerti arti sebuah penghinaan?" tanya Nyonya Agatha lagi.
"Saya benar-benar tidak mengerti akan hal itu, Nyonya."
"Apakah kamu tidak sakit hati melihat diriku yang kamu cintai berlindung dan bersembunyi di balik badan atasanmu? Apakah kamu tidak frustrasi selama hidupmu?" cecar Nyonya Muda itu.
"Silahkan beristirahat, Nyonya!" balas Tuan Reinhard sambil menunduk hormat, seolah-olah tak peduli dengan pertanyaan Nyonya Agatha.
"Jawab pertanyaanku! Apakah kamu tidak frustrasi? Apakah kamu tidak punya harga diri? Apakah kamu tidak mengerti dengan sebuah penghinaan yang diberikan untukmu?" Nyonya Agatha masih saja mengejar jawaban atas pertanyaan yang sama dari asisten pribadi suaminya itu.
"Sejak awal, saya memang tidak memiliki harga diri. Saya tidak mengecam karena frustrasi, bahkan saya tidak peduli dengan arti penghinaan," tegas Tuan Reinhard kemudian, membuat Nyonya Agatha tak habis pikir.
"Menjijikkan!" tukas Nyonya Agatha.
"Bagaimana saya akan melawan orang yang telah menolong saya. Sejak kecil, saya sudah tidak mempunyai orangtua. Meskipun, orang saya cintai lebih memilih bersanding dengannya, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Kecuali ... hanya pasrah dan menerima. Maaf, saya tidak bisa berbuat lebih untuk anda, Nyonya! Hanya sebatas inilah yang bisa saya lakukan," terang Tuan Reinhard. Sesaat kemudian asisten pribadi Tuan Alfonso itu benar-benar membalikkan badan dan melangkah lagi hendak keluar paviliun.
Nyonya Agatha berusaha bangkit dari duduknya dan bergegas mengejar langkah Tuan Reinhard. Nyonya Muda itu kemudian memeluk dari belakang asisten suaminya itu.
"Tinggallah bersamaku! Aku ingin tinggal dan hidup bersamamu," bisik Nyonya Agatha membuat Tuan Reinhard tersentak dan sigap menyingkirkan tangan Nyonya muda yang melingkar di pinggangnya. Namun, Nyonya Agatha tetap melakukannya lagi, memeluk erat pinggang asisten suaminya itu.
"Bagaimana kamu cemburu dengan wanita yang bisa memberikan keturunan laki-laki bagi suamimu, sedangkan sampai 7 turunan kamu tidak akan mendapatkannya? Kamu bisa memperoleh keturunan laki-laki jika benar-benar menginginkannya, tetapi dari lelaki lain, selain suamimu." Nyonya Agatha yang masih memeluk Tuan Reinhard tiba-tiba teringat dengan ucapan sang peramal lagi.
Beberapa bulan kemudianTuan Alfonso duduk termenung sendirian di ruangan kerjanya yang terpisah dengan rumah utama. Dia kemudian berdiri dan melangkah menuju kamar yang tersekat oleh dinding. Presiden Direktur perusahaan property itu kemudian menghampiri lemari kaca yang berada di sudut kamar.Lemari kaca telah dibukanya. Dia kemudian menyentuh sebuah kotak yang berisi peralatan pendeteksi tekanan darah. Hal itu mengingatkannya pada Camilia yang telah beberapa bulan menghilang. Batin Tuan Alfonso merasa rindu dengan perawatnya itu yang telah membuat dirinya jatuh cinta.Sementara, di rumah utama, Nyonya Merry menunggu kedatangan asisten pribadi kepercayaan anaknya. Nyonya Besar itu, sesekali mendongak ke arah benda bulat yang menempel di dinding."Permisi, Nyonya Besar! Saya telah datang," panggil Tuan Reinhard yang telah berdiri di depan pintu ruangan Nyonya Merry."Masuklah! A
Tuan Reinhard mengarahkan sebelah kakinya ke arah pintu yang terbuat dari kayu itu hingga terbuka. Dia lantas merangsek ke dalam kandang sapi tersebut. Camilia yang mendengar hal itu lantas mendelik ketakutan sambil menahan nyeri. Namun, wanita itu tak bisa berbuat apa-apa saat Tuan Reinhard telah berdiri di depannya."Jangan, Tuan! Saya mohon." Camilia lantas memohon iba dari Tuan Reinhard yang tampak berdiri angkuh dengan tatapan menyeringai. Lelaki itu seolah-olah ingin menerkam Camilia yang telah berhasil ditemukannya."Aduh!" teriak Camilia saat perutnya makin terasa berkontraksi. "Tolong saya, Tuan Reinhard! Tolong saya!" sambung wanita yang masih memakai seragam perawat itu. Dia lantas merangkak, meraih kaki Tuan Reinhard yang masih berdiri di tempatnya.Camilia terus mengiba memohon pertolongan, sedangkan Tuan Reinhard tampak termenung. Tak berapa lama, lelaki itu lantas membantu Camilia berdiri dan menuntunnya kembali menuju klinik.Perawat itu terus
12 tahun kemudianWaktu berlalu dengan cepat, Camilia bersama anak semata wayangnya hidup tenang dan damai. Sejak kelahiran Brandon, 12 tahun yang lalu, mantan perawat itu lebih memilih menyingkir jauh dari kehidupan Tuan Alfonso dan keluarga besarnya.Matahari telah menerobos celah dinding rumah kontrakan sederhana Camilia. Wanita yang telah meninggalkan pekerjaan sebagai perawat itu, kini hanya mampu bekerja sebagai buruh cuci dan setrika tetangga sekitar rumah kontrakannya. Dia terkadang membuat kue jika ada pesanan yang menghampiri dirinya.Brandon tumbuh menjadi anak yang sehat, cerdas dan sedikit emosional. Namun, kebiasaan buruknya yang malas mandi membuat Camilia sebagai sang ibu merasa jengkel."Kamu tidak mandi mau berangkat ke sekolah? Astaga, Brandon ... jangan membuat malu ibumu ini yang pernah bekerja sebagai perawat!" keluh Camilia saat mendapati Brandon hanya membasuh wajah dan langsung berganti seragam sekolah."Ibu ... kata teman-teman
Tuan Kecil Jason masih bersikeras tidak mau keluar dari kamarnya meskipun telah dibujuk dengan diiming-imingi sejumlah uang dan hadiah berupa mainan oleh Nyonya Agatha."Jason, ayolah! Ayahmu sudah menunggu di bawah sejak tadi. Ganti bajumu!" seru Nyonya Agatha lagi, usai Nyonya Besar yang berteriak memanggilnya."Tidak! Aku tidak mau!" balas Jason yang terus menolak perintah ibunya tersebut."Jika kamu tidak mau keluar, aku akan memanggil orang untuk mendobrak pintu!" Nyonya Besar akhirnya berteriak lagi mengancam Jason.Anak lelaki berusia 12 tahun itu akhirnya membuka pintu dan keluar dari kamar. Rupanya, Jason takut dengan ancaman pintu akan didobrak paksa."Aku sudah keluar. Apa yang harus aku lakukan?" tanya Jason mengarah pada sang Nenek."Kamu pikir apa yang kamu lakukan? Ayahmu telah menunggu sejak tadi. Sedetik, semenit ... ayahmu selalu menghargai waktu daripada orang lain. Cepatlah ganti bajumu dan segera turun ke bawah! Kamu nanti men
"Tuan Reinhard, tolong pertimbangkan usulan penjaga keamanan untuk membawa anak-anak ini ke kantor polisi!" seru Tuan Alfonso kepada asisten pribadinya tersebut."Baik, Tuan," balas Tuan Reinhard."Urus semuanya!" perintah Presiden Direktur itu lagi.Brandon bergegas lagi mendekati Tuan Alfonso setelah mendengar perintahnya kepada sang asisten pribadi."Maafkan saya, Tuan Presiden! Sekali ini saja. Saya tidak akan mengulanginya." Anak usia 12 tahun itu terus memberanikan diri memohon maaf."Kamu telah berani masuk ke sini dan mencuri. Itu tandanya, kamu harus memberanikan diri untuk bertanggung jawab apa yang telah kamu perbuat!" tegas Tuan Alfonso.Jason yang berdiri tidak jauh dari ayahnya tersenyum sinis melihat Brandon dan teman-temannya."Tuan Reinhard! Lebih baik panggil polisi ke sini saja!" perintah Tuan Alfonso. Kemudian Presiden Direktur itu melangkah menuju proyek."Tuan ... Tuan! Maafkan saya. Saya mohon, Tuan!" Ujar Brando
Jantung Camilia berdegup kencang saat dari kejauhan dirinya melihat rombongan Tuan Alfonso keluar dari ruangan. Dia lantas bergerak maju berniat untuk menemui Presiden Direktur itu. Namun, bekas perawat keluarga itu harus menghentikan langkah saat menatap Tuan Reinhard yang sedang membukakan pintu mobil.Camilia lantas segera bergeser dari tempatnya berdiri dan menyandar di balik dinding bangunan tersebut. Dia teringat pesan Tuan Reinhard kala itu. Ancaman dari asisten pribadi Tuan Alfonso itu selalu terngiang di telinganya. Tak berapa lama, dirinya mendengar suara mesin mobil yang siap melaju.Ibu kandung Brandon bergegas membalikkan tubuh menghadap dinding, saat Tuan Alfonso dan rombongan yang mengendarai mobil melintas tepat di depannya. Jantungnya semakin berdegup kencang, ada rasa cemas jika Tuan Alfonso atau Tuan Reinhard melihat dirinya.Tuan Alfonso yang berada di dalam mobil, sekilas melihat ke arah Camilia melalui kaca spion bagian dalam. Namun, Tua
"Jason ... keluarlah dari ruangan ini dan masuklah ke kamarmu, sekarang!" perintah Nyonya Agatha tanpa peduli dengan kemarahan sang ibu mertua."Agatha! Apa yang kamu lakukan?" teriak Nyonya Merry melihat kelakuan menantunya itu. Wanita yang telah lanjut usia itu teriakannya tampak diabaikan oleh sang menantu."Jason! Apakah kamu tidak dengar? Keluar dari sini sekarang juga!" seru Nyonya Agatha lagi kepada anak lelakinya tersebut. Jason yang masih menangis lantas berlari keluar ruangan.Nyonya Merry memandang heran kepada menantunya. Wanita tua itu menggeleng menanggapi tingkah laku sang menantu yang tidak peduli dengan keberadaannya."Agatha! Kamu pikir ... kamu siapa? Berani-beraninya berbuat seperti ini di depanku. Kamu melawan perintahku!" seru Nyonya Merry yang tampak tidak kuat menahan emosi."Ibu! Ibu mertua! Tolong hentikan yang Ibu mau! Jason adalah cucu laki-laki yang selama ini diidam-idamkan kelahirannya di keluarga ini. Bagaimana bisa, Ibu
"Brandon, kenapa belum berangkat sekolah? Kenapa masih di sini?" cecar Camilia sambil mengatasi rasa gugup yang mendera batinnya. Brandon terdiam, tetapi kedua matanya menatap tajam ke arah ibunya tersebut yang sedang membawa satu ember besar berisi pakaian."Aku sudah tahu, Bu," ujar Brandon kemudian. Dia lantas membungkuk dan segera membalikkan badan, kemudian berjalan kaki menuju sekolah.Brandon merenung sepanjang perjalanan menuju sekolah. Dia ingin mencari cara agar bisa membantu sang ibu. Anak semata wayang Camilia itu tiba-tiba mendapatkan ide mencari barang bekas untuk dijual kepada pemasok.Anak lelaki berusia 12 tahun itu sebentar-sebentar berhenti saat menuju sekolah. Dia memunguti barang bekas yang ditemuinya di jalan, kemudian mengumpulkannya di sebuah rumah kosong. Brandon berniat mengambil dan menjualnya saat pulang sekolah.Pikiran Brandon tidak konsentrasi sama sekali saat di sekolah. Perbincangan ibunya dengan pemilik kontrakan tereka