Dalam redupnya cahaya koridor hotel yang hening di malam hari, Adelia Putri Asmarini, seorang gadis berumur 22 tahun, menggandeng seuntai kunci kamar dan sebuah jas pakaian yang sudah dicuci bersih dan digosok dengan rapi.
Jas itu milik tamu VIP di kamar nomor 1808, Hotel Mutiara Internasional- tempat dia bekerja selama dua tahun ini sebagai Hotelier.
"Aku harus menggantikan shift malam Melinda lagi. Betapa menyebalkan harus mengantar jas malam-malam," ujar Adelia dengan langkah kesal.
"Mudah-mudahan tidak bertemu dengan pria hidung belang," gumam Adelia sambil berjalan menuju ke lorong kamar hotel yang sunyi dengan perasaan tidak enak, tetapi dia harus professional dalam menjalankan tugasnya.
Adelia mengambil shift malam menggantikan Melinda, meski merasa lelah dan terus menerus bekerja sejak pagi, Adelia tidak berani mengeluh. Dia membutuhkan bonus tambahan dalam gajinya.
Ayahnya memiliki hutang judi yang sangat banyak, karena itu dia harus bekerja sekuat tenaga untuk bisa melunasinya. Bila tidak menerima shift malam, maka dia harus mencari pekerjaan sampingan yang lain di malam hari.
Pada saat malam tiba, kebanyakan tamu hotel telah larut dalam mimpi mereka yang damai, tetapi pekerja hotel harus tetap waspada.
Adelia, dengan senyuman ramahnya hendak mengetuk pelan pintu kamar VIP dengan nomor 1808. Adelia merasa sedikit aneh karena daun pintu dalam kondisi sedikit terbuka.
Adelia mengetuk dan memanggil tapi tidak ada jawaban.
"House Keeping," katanya agak keras, mencoba memanggil lagi.
Dia berpikir sejenak, karena permintaan tamu sesuai pesan yang dia terima dari Melinda, tentu tamu ini benar-benar membutuhkan jas ini, bukan? pikir Adelia dengan cepat. Tanpa ragu ia mendorong pelan daun pintu, sedikit kaget karena lampu kamar yang gelap gempita.
Adelia berusaha meraba dinding samping pintu dan mencari saklar lampu dan menemukannya, tetapi lampu tidak berfungsi sama sekali sehingga ruangan itu tetap dalam keadaan gelap.
"Permisi? Saya mengantarkan jas, ...," kata Adelia berjalan masuk ke dalam kamar dengan cahaya minim dari luar pintu, lalu meletakkan jas tersebut ke atas ranjang.
Bam!
Terdengar pintu tertutup. Ruangan menjadi gelap dan tanpa pencahayaan apa pun.
Adelia terkejut dan memutar tubuhnya dengan segera. Tiba-tiba sebuah tangan kekar menariknya ke atas ranjang dan menindihnya.
"Akh!" pekiknya dengan panik.
Bau alkohol tercium dari tubuh pria tersebut. Adelia merasa detak jantungnya berdegup kencang dan mencoba melawan sekuat tenaga.
Adelia sadar dia adalah seorang pria dan dia mencengkeram lengan Adelia dengan kuat, menghalangi setiap upayanya untuk melarikan diri.
Ketakutan mencengkeram Adelia. Dia mencoba memanggil bantuan, tetapi suaranya terdengar lemah dan getir di dalam ruangan yang sunyi.
"To-tolong, Tuan. Saya hanya pekerja hotel biasa. Bukan wanita bayaran. Lepaskan saya! tolong!"
Dalam keadaan linglung dan panik Adelia hanya bisa berteriak dan mencoba melepaskan cengkraman dan himpitan pria yang menciumi seluruh tubuhnya!
Mata pria itu bersinar penuh nafsu dalam gelapnya kamar, dan Adelia merasa seperti dia berada di hadapan kejahatan yang tidak bisa dia lawan sendiri.
Bau alkohol tercium dari mulut pria yang menciumnya, menandakan bahwa pria itu dalam kondisi mabuk. Saat pangutan terlepas, Adelia segera berteriak, "Tidak, jangan! Kumohon! Lepaskan saya!" Jeritan Adelia sama sekali tidak ditanggapi oleh pria yang sedang mencumbunya.
"Jangan, Tuan. Saya mohon jangan lakukan!" seru Adelia sambil berusaha untuk melepaskan diri dan mendorong tubuh pria itu dari atas tubuhnya.
Hancur sudah duniaku! Rintihnya dalam tangis. Besok aku akan menikah dan sekarang kehormatanku akan direnggut pria ini, isak Adelia dalam hati.
"Hentikan, saya mohon... "
Tapi pria itu tidak berhenti menyalurkan hasratnya. Perih, kesakitan menguasai dirinya. Adelia berusaha menolak, tetapi pria itu tidak berhenti dan menuntunnya dengan cara yang aneh.
Sesaat kemudian ada perasaan yang membuat Adelia menginginkan lebih. Cumbuan dari pria itu mengundang gairah terpendam dirinya yang dia sendiri juga tidak mengerti. Sentuhan penuh kelembutan di beberapa titik senditif pada tubuhnya terasa seperti sengatan listrik kecil yang menimbulkan sensasi aneh dalam diri Adelia.
Detik-detik berlalu dengan cepat dan Adelia menikmati cumbuan yang diberikan, malah dia membalas cumbuan dari pria asing tersebut. Adelia memeluk tubuh pria tersebut dan membalas ciumannya. Mereka terbuai dalam lautan asmara yang tidak mereka sadari.
Adelia menutup matanya dan merasakan sentuhan dari tangan kekar milik pria tersebut. Gelora kenikmatan yang luar biasa. Adelia tidak mampu mengontrol dirinya sendiri dan seolah-olah hanyut dalam ilusi yang diperankan pria tersebut.
Desah napas dari pria tersebut begitu mengairahkan dan Adelia tidak berdaya menolak sama sekali.
"Ini gila! Ada apa denganku!?" tanya Adelia dalam hati sambil mengerang dan ingin pria itu bergerak lebih.
Adelia menuntut lebih!
Adelia terkesiap saat pria itu berhasil merenggut kehormatannya tanpa perasaan berdosa.
... Ugh!
Dalam kegelapan kamar VIP tersebut, Adelia masih tidak dapat melihat dengan jelas. "Aku harus menunggu dia tidur, nyawaku bisa terancam," gumam Adelia sambil menahan air mata yang sudah hampir penuh tertampung di kedua matanya.
Adelia berusaha bertahan dan tidak bergerak sama sekali dari pria yang memeluknya sampai terdengar dengkuran halus dari pria di sampingnya.
Namun, sial sekali. Semua tidak berjalan sesuai dengan rencana Adelia. Tubuhnya yang sudah kecapekan malah merasa nyaman dalam pelukan pria tersebut dan akhirnya terlelap sampai pagi.
...
Keesokkan paginya, Adelia terbangun dengan pikiran linglung dan sangat panik setelah menyadari apa yang telah terjadi kepadanya!
Adelia membuka mata dan mulai gelisah. Ruangan masih gelap, tetapi sinar matahari mulai mengintip di balik tirai jendela kamar. "Aku menikah hari ini!" jerit Adelia dalam hati.
Adelia segera bergerak turun dari ranjang secara perlahan dan mengumpulkan semua pakaian yang berserakkan di lantai, lalu bergerak dengan buru-buru memakai semua pakaian tersebut.
"Sial! Kemejaku robek semua! Dasar pria biadab!" geram Adelia sambil melihat ke arah pria yang masih tertidur tersebut.
Pandangannya terhalang karena pria itu sedang terlelap dengan keadaan telengkup dan memeluk bantal, samar-samar Adelia melihat bagian belakang punggung pria tersebut.
"Lukanya besar sekali, sepertinya dia seseorang yang mengerikan," gumam Adelia sambil bergidik ngeri lalu mempercepat langkahnya dan segera bergerak keluar dari kamar yang sudah membawa kesialan baginya sambil menangis.
Dia berjalan sedikit tertatih-tatih menyusuri koridor hotel dengan rasa was-was bila ada yang melihatnya sambil berusaha menghindari letak kamera CCTV agar tidak terekam.
Adelia berjalan sambil merutuk kesialan yang dia alami.
"Apa jadinya nanti kalau calon suamiku mengetahui dosa yang sudah kulakukan? Apakah aku akan diremehkan dan tidak dianggap olehnya? ... Ahh, aku harus buru-buru," jeritan Adelia dalam hati dengan panik, memegang kemejanya yang tidak beraturan dan melangkah dengan gelisah sambil menghapus air mata yang mengalir turun membasahi kedua pipi dengan punggung tangannya.
Adelia sampai di ruang istirahat para staff hotel. Dengan napas menderu, Adelia berusaha mengontrol dirinya dan tubuhnya yang masih gemetar."Aku harus membeli pil kontrasepsi," gumam Adelia sambil mengganti pakaian dengan baju ganti yang dibawanya.Selesai berbenah diri, Adelia segera berlari keluar tanpa mengisi absensi jari pada mesin absensi di samping pintu.Dengan terburu-buru, Adelia berlari kecil menuju ke klinik tidak jauh dari Hotel."Aku tidak boleh hamil! Aku akan menikah dengan calon suami yang sudah dijodohkan oleh Ayah atau harus mengembalikan mahar," gumam Adelia sambil bergerak buru-buru.Sampai di klinik tersebut, Adelia mengertakkan geraham dengan kecewa karena masih harus mengantri."Aku akan terlambat ke acara pernikahan," sungut Adelia sambil berdiri di barisan menghitung jumlah orang yang sedang mengantri.Jam yang tergantung di dinding klinik tersebut sudah menunjukkan pukul tujuh....Afgan Al Futtaim, pria pewaris tunggal dari group Futtaim-bisnis retail terb
"Afgan," bisiknya, mata Achmed berkilat tajam, "Kau tidak boleh membatalkan pernikahan ini. Orangtuamu telah mengambil keputusan, dan kau harus mematuhinya."Afgan menatap ayahnya dengan mata penuh kemarahan. "Tapi ayah, aku tidak bisa menikahi wanita seperti itu. Aku ... aku merasa terhina."Achmed menekan lengan putranya lebih erat, "dengarkan aku!"Achmed menatap tajam, "Jika kau membatalkan pernikahan ini, aku akan mencoret namamu dari warisan keluarga. Kau tidak akan mewarisi apapun dari kami. Kau akan kehilangan segalanya."Gluck!Afgan menelan salivanya dengan kasar.Seusai mengatakan demikian, Achmed kembali berseru kepada para tamu. "Pesta dilanjutkan, silakan menikmati hidangan yang tersedia dan mohon doa restunya untuk kedua mempelai!" seru Achmed lalu kembali duduk di samping kursi pelaminan seolah-olah tidak ada hal besar yang terjadi.Afgan terduduk dengan perasaan tidak jelas dalam hatinya yang sedang bergemuruh.Kata-kata dari sang ayah telah menciptakan keheningan me
Keesokan harinya, matahari terbit dengan sinar hangat yang menyinari jendela kamar hotel. Sebuah ketegangan masih terasa di udara setelah pertengkaran sengit semalam.Adelia membuka mata dengan perasaan berat di dadanya. Pikirannya dipenuhi oleh ketidakpastian, cemas akan masa depannya dengan Afgan. Namun, meskipun hatinya dipenuhi kekhawatiran, dia menolak untuk tenggelam dalam rasa putus asa. Dengan tekad yang kuat, dia memaksa dirinya bangun dari tempat tidur, meski kakinya terasa begitu berat.Terduduk di pinggiran ranjang, Adelia meraih keberanian dari dalam dirinya sendiri. Dia berbicara pada dirinya sendiri, "Aku harus kuat. Aku harus melangkah maju, bahkan jika langkah-langkah itu terasa sulit. Aku tidak boleh membiarkan kesedihan menghentikan hidupku. Aku harus bekerja, membangun masa depanku sendiri."Setelah mengambil napas dalam-dalam, dia bangkit dan melangkah menuju kamar mandi. Air hangat menyiram tubuhnya, mencoba meredakan beban pikirannya. Di bawah pancuran, dia memb
Melinda melirik Afgan yang tampan dan sedang memegang kemudi, melajukan mobil sport biru tersebut dengan stabil. Ini adalah pertama kalinya bagi Melinda menaiki mobil sport yang mahal."Aku minta maaf atas malam itu," ucap Afgan, memecah keheningan di antara mereka.Melinda mengernyitkan kedua alisnya karena tidak mengerti.Afgan menghentikan mobilnya di tepi jalan lalu memutar tubuhnya menghadap ke Melinda."Kamu mengantar jas milikku dan aku ... Maafkan atas apa yang sudah kulakukan semalam," ucap Afgan lalu meraih tangan Melinda dan mengenggamnya dengan perasaan tulus.Melinda mulai mengerti tentang keadaan semalam. Kepalanya yang pintar sudah mengerti apa yang dihadapi Adelia dan pria ini, tetapi karena Afgan begitu memukau dan tajir. Melinda tidak mau menyia-nyiakan kesempatan."Aku tak bisa begitu saja memaafkan apa yang Anda lakukan malam itu. Anda tahu 'kan harga diriku hancur?!" Melinda berusaha memasang wajah sedih.Afgan masih membeku menatapnya. Lalu, setelah dirasa cukup,
Afgan merasakan beban rasa bersalah mencekiknya begitu dia mencium aroma Adelia, merenungkan tindakan bodohnya sehari sebelumnya. Matanya penuh dengan penyesalan, dan hatinya dihantui oleh bayangan perempuan yang telah dia renggut keperawanannya sehari sebelum pernikahannya. Pria itu merasa dia juga tidak becus dalam pernikahan ini.Afgan mundur, melepaskan cengkramannya ke tangan Adelia lalu terduduk dengan napas yang menderu dan tidak teratur. "Adelia," panggil Afgan dengan suara patah, mencoba menahan amarah yang hendak meluap.Adelia menoleh, matanya berkaca-kaca, memancarkan kekecewaan yang dalam. "Apa yang kau inginkan, Afgan?" tanyanya dengan suara yang penuh dengan emosi.Afgan menelan ludahnya, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Aku... aku tidak tahu harus mulai dari mana," katanya pelan."Bila kamu menginginkan perceraian, maka ... "Adelia menunggu apa kelanjutan dari perkataan Afgan."Kembalikan mahar yang sudah dibayarkan untuk pernikahan paksa ini!"Mendengar hal
Adelia merasa terhina oleh kata-kata Afgan. Dia menyadari bahwa Afgan memang memiliki sifat yang dingin dan keras. Namun, dia tidak bisa menahan perasaan kecewa yang muncul dalam dirinya. "Baiklah, aku mengerti," ucapnya dengan nada pahit dan memilih diam.Adelia melayangkan tatapannya ke punggung Afgan pada saat pria itu sedang memakai kemejanya.Adelia menatap luka bakar di punggung Afgan dengan kebingungan. Namun, saat dia menatap lebih lama, gambaran tentang gurat aneh di punggung seorang laki-laki yang pernah menyakitinya terlintas begitu saja di benaknya. Rasa takut dan ketidaknyamanan seketika melanda dirinya.Afgan yang melihat tatapan Adelia dari pantulan cermin di depannya itu merasa terganggu. Dia membentaknya dengan nada tajam, "Apa yang kau lihat? Ini tubuhku dan aku tidak menginginkan pertanyaan apa pun. Jangan bersikap seolah kau memiliki hak atas tubuhku.""Kau hanya istri di atas kertas, paham!"Adelia merasa tertegun oleh reaksi A
Afgan merasa tersudutkan karena luka di punggungnya. Pria itu mengalami tragedi besar ketika dia masih seorang anak kecil. Dia tumbuh di tengah kesibukan orang tuanya yang jarang ada di rumah. Meskipun diabaikan oleh ayah dan ibunya yang terlalu sibuk dengan dunia mereka sendiri, Afgan menemukan penghiburan dan kasih sayang sejati dari seorang pengasuh paruh baya yang penuh cinta."Bik Minah," gumam Afgan dengan suara gemetar, mencoba menutupi rasa sakit yang menghantamnya begitu mendalam. Dia merasakan embun mulai terkumpul di kedua matanya, menandakan bahwa bahkan hatinya yang beku sekalipun tak bisa menahan emosinya.Afgan melajukan mobilnya lebih kencang. "Seharusnya aku yang meninggal dalam kejadian itu!" pekik Afgan dengan nada tinggi dan masih berusaha menahan amarahnya.Pengasuh itu adalah satu-satunya orang yang benar-benar peduli padanya, memberinya kasih sayang dan perhatian yang dia butuhkan. Dia menggantikan peran ayah dan ibunya yang tidak pernah ada di sana untuknya.Hu
Kedua wanita itu menoleh dengan serentak ke arah Afgan. Melinda segera membalas dengan senyum terindah yang dimilikinya sementara Adelia mengernyitkan alis dan menahan napasnya. "Kita sarapan, yuk," ajak Afgan, memandang Melinda dengan wajah dan kalimat penuh kelembutan. Sangat berbeda dengan cara bicara tadi pagi kepada Adelia. Hanya sekilas Afgan melirik Adelia yang menelan salivanya usai mendengarkan ajakan tersebut, dia tahu bahwa Adelia juga bekerja di hotel tersebut, tetapi dia memutuskan fokus kepada Melinda. Adelia menahan rasa lapar di perutnya, dia sendiri juga belum sarapan, tetapi suaminya mengajak wanita lain untuk sarapan bersama - teman kerjanya, seorang wanita di hadapannya. Adelia mengepalkan kedua tangannya erat-erat untuk menahan amarah yang bergemuruh di dalam dadanya. "Baik, Adelia ... tolong gantikan pekerjaanku ya, Sayang. Kamu baik sekali deh!" Melinda memonyongkan bibirnya membentuk ciuman jauh untuk Adelia lalu mengambil tasnya dan segera melangkah mendek