Keesokan harinya, matahari terbit dengan sinar hangat yang menyinari jendela kamar hotel. Sebuah ketegangan masih terasa di udara setelah pertengkaran sengit semalam.
Adelia membuka mata dengan perasaan berat di dadanya. Pikirannya dipenuhi oleh ketidakpastian, cemas akan masa depannya dengan Afgan. Namun, meskipun hatinya dipenuhi kekhawatiran, dia menolak untuk tenggelam dalam rasa putus asa. Dengan tekad yang kuat, dia memaksa dirinya bangun dari tempat tidur, meski kakinya terasa begitu berat.
Terduduk di pinggiran ranjang, Adelia meraih keberanian dari dalam dirinya sendiri. Dia berbicara pada dirinya sendiri, "Aku harus kuat. Aku harus melangkah maju, bahkan jika langkah-langkah itu terasa sulit. Aku tidak boleh membiarkan kesedihan menghentikan hidupku. Aku harus bekerja, membangun masa depanku sendiri."
Setelah mengambil napas dalam-dalam, dia bangkit dan melangkah menuju kamar mandi. Air hangat menyiram tubuhnya, mencoba meredakan beban pikirannya. Di bawah pancuran, dia membiarkan air mengalir di atas kepalanya, mencoba membasuh segala kekhawatiran dan ketidakpastiannya.
Setelah mandi, Adelia mengeringkan tubuhnya dengan hati-hati, merawat dirinya dengan penuh perhatian meski hatinya hancur. Dia mengenakan pakaian kerjanya dengan mantap, mencoba menampilkan rasa percaya diri yang mungkin dia tidak rasakan saat ini.
Ketika dia menatap cermin, dia melihat mata sendu dan wajah lelah. Namun, di balik kelelahan itu, ada keteguhan yang baru ditemukan. Dia berbicara pada dirinya sendiri lagi, kali ini dengan suara yang lebih kuat, "Aku bisa melalui ini. Aku adalah perempuan kuat, dan aku tidak akan membiarkan keadaan mengalahkanku."
Dengan semangat yang baru ditemukan, Adelia segera keluar dari kamar hotel yang menjadi kamar malam pengantin semu.
Meskipun hatinya masih penuh dengan ketidakpastian, dia tahu bahwa dia harus menghadapi hari itu dengan keberanian dan tekad. Langkah pertamanya menuju masa depan yang tidak diketahui mungkin berat, tapi dia siap menghadapinya.
Dengan langkah mantap, dia keluar dari pintu rumahnya, siap menghadapi dunia luar dengan tekad yang baru ditemukannya.
Sementara Afgan, dengan perasaan marah dan kecewa bangun dengan kepala berat. Semalam dia memutuskan untuk meninggalkan kamar tidur yang seharusnya menjadi malam pengantin bagi mereka.
Keberuntungan berkata lain ketika Adelia tahu bahwa kamar pengantin mereka berada di hotel tempat dia bekerja.
"Aku tidak perlu buru-buru. Hanya turun ke bawah," gumam Adelia sambil menuruni tangga.
Saat dia tiba di tempat kerja, hatinya masih berdebar-debar. Dia tak tahu bagaimana harus bersikap ketika bertemu dengan Afgan. Kekhawatirannya bertambah ketika dia melihat Afgan turun dari tangga menuju lobi hotel. Wajahnya tegang, mata yang sebelumnya penuh kecemasan, sekarang terlihat dingin dan penuh dengan kebencian.
Mereka bertemu di anak tangga, di tengah-tengah gemerlapnya pagi yang cerah. Namun, kesan cerah itu sirna begitu melihat ekspresi Afgan yang keras dan penuh amarah.
Adelia mencoba tersenyum, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk mengucapkan, namun Afgan hanya melewatkannya begitu saja. Dia melangkah pergi, tanpa menyapa, tanpa sepatah kata pun. Kepergiannya meninggalkan Adelia dengan hati yang terasa hancur dan mata yang mulai berkaca-kaca.
Dalam ruangan kerjanya, Adelia mencoba untuk fokus pada pekerjaannya, mencoba melupakan pertemuan pahit itu. Namun, pikirannya terus mengembara ke saat-saat terakhir pertengkaran mereka, ketika kata-kata tajam terucap dengan penuh amarah dan sakit hati. Dia bertanya-tanya di mana hal itu salah, mengapa hidupnya bisa berubah begitu cepat menjadi kebencian yang begitu tajam.
Sementara dia sibuk memikirkan itu semua, Melinda, rekan kerjanya yang penuh perhatian, mendekati Adelia. Melihat ekspresi wajah Adelia yang suram, Melinda bertanya dengan lembut, "Apa yang terjadi, Adelia? Kamu terlihat sangat terganggu."
"Apakah kamu mengantarkan jas pengantin itu dengan benar? Adakah sesuatu yang terjadi?"
Adelia menatap Melinda, mencoba menahan air matanya. Dengan suara lirih, dia ingin bercerita tentang pertengkaran mereka semalam dan pertemuan pahit di lobi hotel, tetapi Adelia mengurungkan niatnya karena hal itu adalah aib.
Melinda memadangnya dengan penuh perhatian, menawarkan pundaknya sebagai sandaran bagi Adelia yang sedang hancur.
"Bisakah kau ceritakan tentang apa yang terjadi, Sayang?" Melinda bertanya, mencoba memahami situasinya lebih baik.
Adelia menghela nafas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menceritakan kisahnya. Namun, tidak ada sebuah kata pun yang keluar.
"Tidak ... , tidak ada masalah, hanya ... ini tentang hutang Ayahku," sahut Adelia mencoba berbohong.
"Melinda, aku harus tetap bekerja di sini. Aku harus membayar jumlah yang sangat banyak," Adelia berkata dengan suara serak, coba mencerna semua yang telah terjadi.
Melinda meraih tangan Adelia dengan penuh empati. "Utang memang bisa rumit, Adelia. Tapi aku akan membiarkanmu mengambil shift malam lebih banyak untuk menggantikanku."
Melinda mendekat dan membisikkan sesuatu di telinga Adelia, "aku akan punya pekerjaan lain."
Adelia mengangguk, mencoba meredakan gejolak emosinya. Dia tahu bahwa Melinda selalu mendukungnya. Setelah itu, Adelia pergi untuk mengantar tamu hotel yang baru datang ke kamar bersama dengan Melinda.
Sementara itu, Afgan mendekati meja resepsionis untuk menanyakan siapa yang bertugas di malam sebelumnya.
"Ya? Ada yang bisa kami bantu?" tanya petugas hotel yang sedang bertugas di meja resepsionis.
"Aku mau tahu siapa yang bekerja kemarin malam, dia mengantarkan jas pengantinku," kata Afgan.
"Ada masalah dengan jasnya?"
"Oh, tidak. Aku hanya lupa berterimakasih."
Petugas hotel yang lain memeriksa data shift sesaat sebelum menjawab, "Baik, hotelier yang bertugas saat itu bernama Melinda. Apakah Anda ingin kamu menghubunginya?"
"Oh tidak, berikan nomor ponselnya. Aku sendiri yang akan menghubunginya."
Baru saja petugas hotel hendak memberikan nomor ponsel Melinda, Adelia sudah turun dari tangga. Melinda berada di sampingnya dan masih berusaha menghibur temannya tersebut.
Kedua netra mereka bertemu dan ada sirat kebencian di sana.
"Ah, ini adalah Melinda. Tamu ini sedang mencarimu," ujar petugas hotel tadi.
Afgan memandang Melinda dengan perasaan bersalah yang teramat menyiksanya, sosok Melinda sama seperti yang dia bayangkan, cantik, ayu dan mempersona dengan kedua bola mata yang bersinar indah.
Afgan sama sekali tidak melirik ke arah Adelia yang berada di sebelah Melinda. Ketiga orang itu mematung di depan meja resepsionis dan terjadi keheningan sesaat.
"Ada apa mencariku?" tanya Melinda dengan heran.
Adelia memandang Afgan dengan kecemburan yang tinggi karena kedua mata suaminya menatap Melinda tanpa berkedip.
"Aku punya beberapa pertanyaan untukmu, mari kita berbicara," ucap Afgan lalu menarik tangan Melinda untuk mengikutinya.
"Eh, ini ... Lia," sahut Melinda dengan bingung sambil menoleh ke arah Adelia yang memandang mereka dengan wajah yang sudah merah padam.
Suami yang baru saja menikah dengannya semalam memilih tidur di kamar lain dan pagi ini menarik tangan teman kerjanya. Bagaimana dia tidak semakin senewen.
"Ganti ya!" teriak Melinda sambil lalu.
Adelia menelan saliva dengan susah payah, dia seharusnya hanya mengisi absensi hari ini dan mengambil cuti karena menukar jatah bekerja dengan Melinda, tetapi temannya itu malah berpergian dengan suaminya dan dia yang harus mengisi jadwal kerjanya lagi.
"Ada apa antara dia dengan Melinda?" tanya Adelia dalam hati dengan penasaran sambil menatap bayangan kedua orang itu yang sudah semakin menjauh dan menuju keluar dari hotel.
Adelia masih menjulurkan kepalanya dan melihat bagaimana Afgan membuka pintu mobil sport biru dan mempersilakan Melinda masuk dengan merentangkan sebelah tangannya.
"Afgan ... kamu keterlaluan!"
Melinda melirik Afgan yang tampan dan sedang memegang kemudi, melajukan mobil sport biru tersebut dengan stabil. Ini adalah pertama kalinya bagi Melinda menaiki mobil sport yang mahal."Aku minta maaf atas malam itu," ucap Afgan, memecah keheningan di antara mereka.Melinda mengernyitkan kedua alisnya karena tidak mengerti.Afgan menghentikan mobilnya di tepi jalan lalu memutar tubuhnya menghadap ke Melinda."Kamu mengantar jas milikku dan aku ... Maafkan atas apa yang sudah kulakukan semalam," ucap Afgan lalu meraih tangan Melinda dan mengenggamnya dengan perasaan tulus.Melinda mulai mengerti tentang keadaan semalam. Kepalanya yang pintar sudah mengerti apa yang dihadapi Adelia dan pria ini, tetapi karena Afgan begitu memukau dan tajir. Melinda tidak mau menyia-nyiakan kesempatan."Aku tak bisa begitu saja memaafkan apa yang Anda lakukan malam itu. Anda tahu 'kan harga diriku hancur?!" Melinda berusaha memasang wajah sedih.Afgan masih membeku menatapnya. Lalu, setelah dirasa cukup,
Afgan merasakan beban rasa bersalah mencekiknya begitu dia mencium aroma Adelia, merenungkan tindakan bodohnya sehari sebelumnya. Matanya penuh dengan penyesalan, dan hatinya dihantui oleh bayangan perempuan yang telah dia renggut keperawanannya sehari sebelum pernikahannya. Pria itu merasa dia juga tidak becus dalam pernikahan ini.Afgan mundur, melepaskan cengkramannya ke tangan Adelia lalu terduduk dengan napas yang menderu dan tidak teratur. "Adelia," panggil Afgan dengan suara patah, mencoba menahan amarah yang hendak meluap.Adelia menoleh, matanya berkaca-kaca, memancarkan kekecewaan yang dalam. "Apa yang kau inginkan, Afgan?" tanyanya dengan suara yang penuh dengan emosi.Afgan menelan ludahnya, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Aku... aku tidak tahu harus mulai dari mana," katanya pelan."Bila kamu menginginkan perceraian, maka ... "Adelia menunggu apa kelanjutan dari perkataan Afgan."Kembalikan mahar yang sudah dibayarkan untuk pernikahan paksa ini!"Mendengar hal
Adelia merasa terhina oleh kata-kata Afgan. Dia menyadari bahwa Afgan memang memiliki sifat yang dingin dan keras. Namun, dia tidak bisa menahan perasaan kecewa yang muncul dalam dirinya. "Baiklah, aku mengerti," ucapnya dengan nada pahit dan memilih diam.Adelia melayangkan tatapannya ke punggung Afgan pada saat pria itu sedang memakai kemejanya.Adelia menatap luka bakar di punggung Afgan dengan kebingungan. Namun, saat dia menatap lebih lama, gambaran tentang gurat aneh di punggung seorang laki-laki yang pernah menyakitinya terlintas begitu saja di benaknya. Rasa takut dan ketidaknyamanan seketika melanda dirinya.Afgan yang melihat tatapan Adelia dari pantulan cermin di depannya itu merasa terganggu. Dia membentaknya dengan nada tajam, "Apa yang kau lihat? Ini tubuhku dan aku tidak menginginkan pertanyaan apa pun. Jangan bersikap seolah kau memiliki hak atas tubuhku.""Kau hanya istri di atas kertas, paham!"Adelia merasa tertegun oleh reaksi A
Afgan merasa tersudutkan karena luka di punggungnya. Pria itu mengalami tragedi besar ketika dia masih seorang anak kecil. Dia tumbuh di tengah kesibukan orang tuanya yang jarang ada di rumah. Meskipun diabaikan oleh ayah dan ibunya yang terlalu sibuk dengan dunia mereka sendiri, Afgan menemukan penghiburan dan kasih sayang sejati dari seorang pengasuh paruh baya yang penuh cinta."Bik Minah," gumam Afgan dengan suara gemetar, mencoba menutupi rasa sakit yang menghantamnya begitu mendalam. Dia merasakan embun mulai terkumpul di kedua matanya, menandakan bahwa bahkan hatinya yang beku sekalipun tak bisa menahan emosinya.Afgan melajukan mobilnya lebih kencang. "Seharusnya aku yang meninggal dalam kejadian itu!" pekik Afgan dengan nada tinggi dan masih berusaha menahan amarahnya.Pengasuh itu adalah satu-satunya orang yang benar-benar peduli padanya, memberinya kasih sayang dan perhatian yang dia butuhkan. Dia menggantikan peran ayah dan ibunya yang tidak pernah ada di sana untuknya.Hu
Kedua wanita itu menoleh dengan serentak ke arah Afgan. Melinda segera membalas dengan senyum terindah yang dimilikinya sementara Adelia mengernyitkan alis dan menahan napasnya. "Kita sarapan, yuk," ajak Afgan, memandang Melinda dengan wajah dan kalimat penuh kelembutan. Sangat berbeda dengan cara bicara tadi pagi kepada Adelia. Hanya sekilas Afgan melirik Adelia yang menelan salivanya usai mendengarkan ajakan tersebut, dia tahu bahwa Adelia juga bekerja di hotel tersebut, tetapi dia memutuskan fokus kepada Melinda. Adelia menahan rasa lapar di perutnya, dia sendiri juga belum sarapan, tetapi suaminya mengajak wanita lain untuk sarapan bersama - teman kerjanya, seorang wanita di hadapannya. Adelia mengepalkan kedua tangannya erat-erat untuk menahan amarah yang bergemuruh di dalam dadanya. "Baik, Adelia ... tolong gantikan pekerjaanku ya, Sayang. Kamu baik sekali deh!" Melinda memonyongkan bibirnya membentuk ciuman jauh untuk Adelia lalu mengambil tasnya dan segera melangkah mendek
Afgan melangkah masuk ke dalam rumah dengan langkah tergesa-gesa, dia menarik dasinya dengan satu gerakan tepat pada saat melewati ruang makan sebelum menuju ke kamar yang berada di lantai kedua. Afgan menghentikan langkahnya melihat Adelia yang sedang menelan mie. Adelia mematung dan mereka saling tatap tanpa sengaja. Untaian mie yang panjang dari mulut ke mangkuk mie membuat Afgan meringgis melihatnya, pria itu menaikkan sudut bibirnya ke atas dengan pandangan melecehkan. "Makanan itu cocok untukmu. Kamu memang berada di level itu," ucap Afgan sambil lalu menuju tangga tanpa menghiraukan tanggapan Adelia sama sekali. Sluurppp! Adelia menyedot habis mie beserta supnya dengan menaikkan mangkuk. Para pelayan merasa risih dengan sikap dan cara makan Adelia, namun wanita itu terkesan tidak peduli. Dalam hati, Adelia sebenarnya merasa hancur oleh perkataan menyindir dari Afgan, namun dia memilih untuk bertahan. Meskipun hatinya terluka, dia tahu bahwa dia harus menerima bahwa Afgan
Afgan berdiri di depan pintu Melinda, bingung dan hampa. Matanya menatap kosong daun pintu di hadapannya.Hatinya terombang-ambing antara kesenangan akan makan malam romantis dengan Melinda dan kebingungan mengenai perasaannya terhadap Adelia. Dia ingin mengetuk pintu, tetapi keraguan menghantuinya. Di dalam dirinya, Afgan merasa tak nyaman dengan sikapnya kepada Adelia di rumah sebelumnya. Meski begitu, nama Adelia terus saja terpaku dalam pikirannya.Bunga mawar yang dia bawa tadi terasa berat di tangannya, sebagai simbol kebingungannya sendiri. Mengapa dia merasa terikat pada Adelia, tetapi juga merasa harus hadir untuk Melinda?Dalam kehampaannya, Afgan memutuskan untuk mengetuk pintu. Namun, sebelum dia bisa melakukannya, pintu rumah sudah terbuka dari dalam. Melinda muncul dengan senyum bahagia di wajahnya, matanya bersinar melihat bunga mawar yang dibawa Afgan."Afgan," sapa Melinda dengan senyuman di wajahnya."Bunga ini untukku?" tanya Melinda, lalu tanpa ragu, dia memeluk Af
Saat mereka memasuki ruang pesta, mata Melinda hampir terbelalak melihat kemewahan sekelilingnya. Sebuah ruangan yang dihiasi dengan cahaya gemerlap, tumpukan bunga segar yang harum, dan orkestra yang memainkan musik klasik. Ini adalah pertama kalinya baginya berada di pesta orang-orang kaya. Melihat para tamu yang mengenakan gaun dan jas desainer, tampak sekali mereka bukan kalangan sembarangan, dia tidak dapat menyembunyikan kekagumannya.Sementara Melinda memperhatikan sekeliling dengan takjub, Afgan meninggalkannya sejenak untuk berbicara dengan koleganya. Melinda merasa canggung di tengah kerumunan orang-orang yang tampak begitu percaya diri dan elegan. Dia merasa seakan terdampar di dunia yang sama sekali baru baginya.Di dalam hatinya, Melinda menggumamkan, "Di sini penuh orang kaya, konglomerat! Sungguh luar biasa!" Dia mencoba mengendalikan kecanggungan, tetapi perasaannya campur aduk. Namun, dia memutuskan untuk tetap bersikap percaya diri dan bersik