Adelia merasa terhina oleh kata-kata Afgan. Dia menyadari bahwa Afgan memang memiliki sifat yang dingin dan keras. Namun, dia tidak bisa menahan perasaan kecewa yang muncul dalam dirinya. "Baiklah, aku mengerti," ucapnya dengan nada pahit dan memilih diam.
Adelia melayangkan tatapannya ke punggung Afgan pada saat pria itu sedang memakai kemejanya.
Adelia menatap luka bakar di punggung Afgan dengan kebingungan. Namun, saat dia menatap lebih lama, gambaran tentang gurat aneh di punggung seorang laki-laki yang pernah menyakitinya terlintas begitu saja di benaknya. Rasa takut dan ketidaknyamanan seketika melanda dirinya.
Afgan yang melihat tatapan Adelia dari pantulan cermin di depannya itu merasa terganggu. Dia membentaknya dengan nada tajam, "Apa yang kau lihat? Ini tubuhku dan aku tidak menginginkan pertanyaan apa pun. Jangan bersikap seolah kau memiliki hak atas tubuhku."
"Kau hanya istri di atas kertas, paham!"
Adelia merasa tertegun oleh reaksi Afgan yang tajam. Dia segera mengalihkan pandangannya, merasa malu dan bersalah. Dia menyadari bahwa dia telah melanggar batas privasi Afgan, bahkan jika dia melihat luka itu tanpa bermaksud buruk.
"Aku... aku minta maaf," ucap Adelia dengan suara gemetar, mencoba menahan air matanya. "Aku tidak bermaksud ... untuk melihat."
Afgan menghela nafas dalam-dalam, merasa sebal dengan situasi ini. "Cukup. Kita sudah terlalu dekat. Aku butuh ruang dan privasi. Hentikan usahamu. Kamu pindah ke kamar sebelah atau aku yang akan pindah."
Adelia merasa hatinya hancur mendengar kata-kata kasar Afgan. Dia merasa seperti dia telah menyebabkan rasa sakit pada Afgan, meskipun itu tidak ada hubungannya dengan kejadian saat ini.
"Aku ingin kamu sudah selesai berbenah dari kamar ini saat aku pulang kerja nanti! Kita kurangi saja waktu untuk bertemu kecuali bila orang tuaku datang. Aku harap kamu bisa bekerjasama dengan baik saat itu terjadi!"
"Paham?!" Afgan menatap Adelia dengan tatapan tajam.
Adelia mengangguk pelan dan merasa kesal.
Afgan lalu meninggalkan ruangan dengan hati yang berat, merasa bersalah dan kecewa pada dirinya sendiri sambil merenungkan luka bakar di punggungnya.
"Sial! Aku lupa mempunyai luka sehingga wanita murahan itu melihatnya tanpa sadar!" pekik Afgan dengan kesal sambil menuruni tangga.
Rasa sakit dari luka itu tidak hanya fisik, tetapi juga menggambarkan luka emosional yang dia sembunyikan dalam dirinya. Dia merasa terjebak dalam masa lalunya, dan takut membuka hatinya kepada siapapun, termasuk Adelia.
Seorang pelayan menyapa Afgan tanpa tahu apa-apa.
"Maaf, Tuan. Sarapan Anda dan Nyonya sudah dihidangkan di ruang makan," ucap pelayan dengan hormat membungkukkan tubuhnya.
"Sarapan? Bersama dia? Kalian sudah gila!" Bentak Afgan lalu melangkah kasar menuju ke pintu utama mansion mewah tersebut.
Beberapa pelayan kecil saling memandang, ada di antara mereka saling berbisik.
"Mereka baru menikah semalam dan sekarang Tuan dan Nyonya ..."
Yang lain memandang ke tangga atas dengan prihatin, sementara pelayan satunya lagi menaikkan bahu.
"Sepertinya pernikahannya tidak seperti yang diharapkan mereka," ujar pelayan yang lain.
"Ho-oh."
Sementara di dalam kamar, Adelia mengepalkan tangannya dengan kesal.
Adelia merasa kecewa dan kesal melihat Afgan pergi begitu saja. Dia mengepalkan tangannya dengan keras, mencoba menahan emosinya yang meluap-luap. Kamar itu terasa hampa, dan dia merasa sendirian, dikelilingi oleh keheningan yang menyakitkan.
"Kenapa dia selalu begitu dingin dan sulit didekati?" gumam Adelia dalam hati, merasakan kekecewaannya mengepul di dalam dirinya. Dia mencoba mengatasi perasaan frustasinya, mencari cara untuk mengerti Afgan, tetapi setiap kali dia berusaha, semakin jauh Afgan menjauhinya.
"Bagaimana aku menjalani pernikahan seperti ini?" Air mata mengalir sukses membuat dua garis di pipinya yang mulus tanpa kosmetik.
Dalam keheningan yang melingkupi ruangan, Adelia berbicara pada dirinya sendiri, mencoba meredakan kekecewaan yang menghantui hatinya.
"Mungkin dia merasa jijik atas diriku yang sudah ternoda. Arghh! Mengapa juga aku begitu bodoh dan pria misterius ini bahkan tidak kuketahui siapa!"
"Aku harus memberi kesempatan kepada diriku sendiri! Aku harus kuat!"
Namun, meskipun dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, rasa sakit dan kekecewaan terus menghantuinya. Dia merasa seolah-olah dia tidak dapat menembus tembok emosional yang dibangun oleh Afgan. Namun, di tengah keputusasaannya, dia merasa tekad yang membara di dalam dirinya. Dia tidak akan menyerah begitu saja.
"Mungkin aku harus memberinya waktu," pikir Adelia, mencoba menemukan harapan dalam situasi yang sulit ini.
"Mungkin suatu hari nanti, dia akan mempercayaiku dan membuka hatinya. Aku akan tetap ada di sini, meskipun dia sulit didekati."
"Pernikahan Paksa sudah menjadi takdirku dengannya."
Adelia menghapus air matanya dengan punggung tangan dan menyeka hidungnya.
Dengan tekad yang kuat, meskipun hatinya masih penuh dengan kekecewaan, Adelia memutuskan untuk tetap bertahan. Dia tahu bahwa perjalanan mendekati hati Afgan tidak akan mudah, tetapi dia siap untuk menghadapinya. Dalam diam, dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan menyerah, bahkan jika dia harus menghadapi rintangan yang lebih sulit lagi di masa depan.
Dengan langkah mantap, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan kekecewaan, Adelia meninggalkan kamar dan menuju kamar mandi. Dia memutuskan untuk memulai hari ini dengan membasuh wajahnya dan mencoba melupakan kejadian tadi pagi.
Air mandi yang dingin dari shower menyegarkan tubuhnya, memberinya sedikit kelegaan dari beban emosional yang dia rasakan.
Setelah selesai mandi, Adelia segera berpakaian dan mempersiapkan diri untuk pergi ke tempat kerja. Dia memilih baju yang memberinya rasa percaya diri, meskipun hatinya masih terombang-ambing oleh pertemuan dengan Afgan. Dengan cepat, dia menyisir rambutnya dan menyusunnya dalam gaya yang rapi sebelum mengambil tas kerjanya dan keluar dari rumah.
"Nyonya, Selamat Pagi. Sarapan Anda sudah disediakan di ruang makan," sapa pelayan yang bertugas tadi.
Adelia memandang pelayan tersebut dengan tatapan kosong.
"Aku sudah terlambat, simpan untuk besok pagi saja," jawabnya sambil lalu.
Dari wajah lesu seperti itu, para pelayan sudah bisa menebak bahwa kedua pasangan itu mengalami hal yang tidak menyenangkan dalam kebersamaannya sejak menikah.
"Mereka itu nikah paksa ya?" tanya seorang pelayan kepada yang lain setengah berbisik.
"Hush! Dipecat kamu nanti!"
Para pelayan itu segera menyusun kembali makanan yang tersia-siakan tersebut.
Perjalanan menuju tempat kerja terasa hampa bagi kedua orang itu. Pikiran Adelia masih terhantui oleh pertemuan yang tidka menyenangkan pagi tadi, membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. Namun, dia tahu bahwa dia harus tetap fokus pada pekerjaannya meskipun hatinya sedang bergejolak.
Sementara Afgan, sambil melajukan mobil sport kesayangannya yang berwarna biru, merasa terganggu dengan tatapan yang dilayangkan Adelia ke bagian lukanya tadi.
"Pagi-pagi sudah membuatku kesal!"
"Mengapa dia memandangku selayaknya aku ini cacat!" pekik Afgan lalu memukul kemudinya dengan marah.
Afgan merasa tersudutkan karena luka di punggungnya. Pria itu mengalami tragedi besar ketika dia masih seorang anak kecil. Dia tumbuh di tengah kesibukan orang tuanya yang jarang ada di rumah. Meskipun diabaikan oleh ayah dan ibunya yang terlalu sibuk dengan dunia mereka sendiri, Afgan menemukan penghiburan dan kasih sayang sejati dari seorang pengasuh paruh baya yang penuh cinta."Bik Minah," gumam Afgan dengan suara gemetar, mencoba menutupi rasa sakit yang menghantamnya begitu mendalam. Dia merasakan embun mulai terkumpul di kedua matanya, menandakan bahwa bahkan hatinya yang beku sekalipun tak bisa menahan emosinya.Afgan melajukan mobilnya lebih kencang. "Seharusnya aku yang meninggal dalam kejadian itu!" pekik Afgan dengan nada tinggi dan masih berusaha menahan amarahnya.Pengasuh itu adalah satu-satunya orang yang benar-benar peduli padanya, memberinya kasih sayang dan perhatian yang dia butuhkan. Dia menggantikan peran ayah dan ibunya yang tidak pernah ada di sana untuknya.Hu
Kedua wanita itu menoleh dengan serentak ke arah Afgan. Melinda segera membalas dengan senyum terindah yang dimilikinya sementara Adelia mengernyitkan alis dan menahan napasnya. "Kita sarapan, yuk," ajak Afgan, memandang Melinda dengan wajah dan kalimat penuh kelembutan. Sangat berbeda dengan cara bicara tadi pagi kepada Adelia. Hanya sekilas Afgan melirik Adelia yang menelan salivanya usai mendengarkan ajakan tersebut, dia tahu bahwa Adelia juga bekerja di hotel tersebut, tetapi dia memutuskan fokus kepada Melinda. Adelia menahan rasa lapar di perutnya, dia sendiri juga belum sarapan, tetapi suaminya mengajak wanita lain untuk sarapan bersama - teman kerjanya, seorang wanita di hadapannya. Adelia mengepalkan kedua tangannya erat-erat untuk menahan amarah yang bergemuruh di dalam dadanya. "Baik, Adelia ... tolong gantikan pekerjaanku ya, Sayang. Kamu baik sekali deh!" Melinda memonyongkan bibirnya membentuk ciuman jauh untuk Adelia lalu mengambil tasnya dan segera melangkah mendek
Afgan melangkah masuk ke dalam rumah dengan langkah tergesa-gesa, dia menarik dasinya dengan satu gerakan tepat pada saat melewati ruang makan sebelum menuju ke kamar yang berada di lantai kedua. Afgan menghentikan langkahnya melihat Adelia yang sedang menelan mie. Adelia mematung dan mereka saling tatap tanpa sengaja. Untaian mie yang panjang dari mulut ke mangkuk mie membuat Afgan meringgis melihatnya, pria itu menaikkan sudut bibirnya ke atas dengan pandangan melecehkan. "Makanan itu cocok untukmu. Kamu memang berada di level itu," ucap Afgan sambil lalu menuju tangga tanpa menghiraukan tanggapan Adelia sama sekali. Sluurppp! Adelia menyedot habis mie beserta supnya dengan menaikkan mangkuk. Para pelayan merasa risih dengan sikap dan cara makan Adelia, namun wanita itu terkesan tidak peduli. Dalam hati, Adelia sebenarnya merasa hancur oleh perkataan menyindir dari Afgan, namun dia memilih untuk bertahan. Meskipun hatinya terluka, dia tahu bahwa dia harus menerima bahwa Afgan
Afgan berdiri di depan pintu Melinda, bingung dan hampa. Matanya menatap kosong daun pintu di hadapannya.Hatinya terombang-ambing antara kesenangan akan makan malam romantis dengan Melinda dan kebingungan mengenai perasaannya terhadap Adelia. Dia ingin mengetuk pintu, tetapi keraguan menghantuinya. Di dalam dirinya, Afgan merasa tak nyaman dengan sikapnya kepada Adelia di rumah sebelumnya. Meski begitu, nama Adelia terus saja terpaku dalam pikirannya.Bunga mawar yang dia bawa tadi terasa berat di tangannya, sebagai simbol kebingungannya sendiri. Mengapa dia merasa terikat pada Adelia, tetapi juga merasa harus hadir untuk Melinda?Dalam kehampaannya, Afgan memutuskan untuk mengetuk pintu. Namun, sebelum dia bisa melakukannya, pintu rumah sudah terbuka dari dalam. Melinda muncul dengan senyum bahagia di wajahnya, matanya bersinar melihat bunga mawar yang dibawa Afgan."Afgan," sapa Melinda dengan senyuman di wajahnya."Bunga ini untukku?" tanya Melinda, lalu tanpa ragu, dia memeluk Af
Saat mereka memasuki ruang pesta, mata Melinda hampir terbelalak melihat kemewahan sekelilingnya. Sebuah ruangan yang dihiasi dengan cahaya gemerlap, tumpukan bunga segar yang harum, dan orkestra yang memainkan musik klasik. Ini adalah pertama kalinya baginya berada di pesta orang-orang kaya. Melihat para tamu yang mengenakan gaun dan jas desainer, tampak sekali mereka bukan kalangan sembarangan, dia tidak dapat menyembunyikan kekagumannya.Sementara Melinda memperhatikan sekeliling dengan takjub, Afgan meninggalkannya sejenak untuk berbicara dengan koleganya. Melinda merasa canggung di tengah kerumunan orang-orang yang tampak begitu percaya diri dan elegan. Dia merasa seakan terdampar di dunia yang sama sekali baru baginya.Di dalam hatinya, Melinda menggumamkan, "Di sini penuh orang kaya, konglomerat! Sungguh luar biasa!" Dia mencoba mengendalikan kecanggungan, tetapi perasaannya campur aduk. Namun, dia memutuskan untuk tetap bersikap percaya diri dan bersik
Adelia sedang berada di kamarnya, tengah sibuk meneliti pekerjaan yang dibawanya ke rumah, ketika tiba-tiba dia mendengar suara bising yang datang dari lantai bawah. Dengan cepat, dia melangkah keluar dari kamar untuk melihat apa yang terjadi.Hatinya hampir berhenti ketika dia melihat petugas sekuriti menggotong tubuh Afgan menuju kamar utama. Matanya membesar dalam kekagetan, dan dia segera berlari mendekati mereka. "Apa yang terjadi? Kenapa Afgan seperti ini?" serunya, suaranya penuh dengan kecemasan dan kekhawatiran.Petugas sekuriti, seorang pria tinggi dengan wajah serius, menoleh ke arah Adelia. "Maafkan kami, Nyonya. Tadi malam, di pesta kalangan elit, Afgan terlihat sangat tidak stabil setelah minum minuman beralkohol. Dia hampir pingsan dan tidak bisa menjaga keseimbangannya. Mr. David meminta kami membawanya kembali ke kamarnya untuk beristirahat."Adelia merasa hatinya berdebar kencang. Dia tidak tahu apa yang harus dia pikirkan atau lakukan. Sejak d
Wajah mereka hanya berselisih beberapa sentimeter, dan meskipun Afgan masih tertidur dalam keadaan mabuk, ekspresi wajahnya terlihat tenang tanpa rasa bersalah sama sekali.Mata Adelia membesar dalam kejutan. Dia merasakan detakan jantungnya melonjak. Pernafasannya terhenti sejenak, terkejut dengan kontak yang tak terduga ini. Wajahnya memerah, dan dia merasa kehangatan merayap dari bibirnya ke seluruh tubuhnya.Adelia teringat dengan sentuhan dari pria misterius di malam naas sebelum hari pernikahannya.Dalam keheningan yang penuh ketegangan, mereka hanya terdiam sejenak, bibir mereka masih bertemu dalam sentuhan yang ringan. Adelia merasa waktu berhenti sejenak, dan dia merasakan getaran aneh dalam dirinya. Mereka berdua tetap berada dalam jarak yang sangat dekat, seolah-olah dunia di sekitar mereka menghilang.Namun, ketika Afgan merintih pelan dalam tidurnya, Adelia segera melepaskan pegangan tangannya dan menyentuh bibirnya yang sekarang merasa
Dalam hening malam yang gelap, Afgan terdampar di lorong-lorong ingatannya yang gelap. Dia merasakan kebingungan yang melanda pikirannya, seakan-akan rohnya tersesat di antara kenangan buruk yang terus menghantuinya. Desiran angin malam menerpa wajahnya, menciptakan atmosfer yang mencekam dan menakutkan.Afgan tiba-tiba menemukan dirinya berdiri di depan rumahnya yang terbakar. Kobaran api yang mengamuk melalap segala sesuatu di sekitarnya. Dia merasa nyeri di dada, luka emosional yang dalam kembali menghantamnya. Dalam kegelapan, bayangan-bayangan api menciptakan siluet-siluet menyeramkan, menciptakan tarian kekacauan yang menari di dinding-dinding rumah yang hangus.Dia tidak menyadari bahwa dia sedang berada di alam mimpi. Kondisinya di alam nyata sedang berkeringat dan terlihat kepanikan dalam tidurnya."Mengapa aku ditinggalkan sendiri?" bisik Afgan kepada dirinya sendiri, suaranya gemetar oleh kebingungan dan ketakutan. Namun, tidak ada jawaban yang datang, kecuali suara gemuruh