Melinda melirik Afgan yang tampan dan sedang memegang kemudi, melajukan mobil sport biru tersebut dengan stabil. Ini adalah pertama kalinya bagi Melinda menaiki mobil sport yang mahal.
"Aku minta maaf atas malam itu," ucap Afgan, memecah keheningan di antara mereka.
Melinda mengernyitkan kedua alisnya karena tidak mengerti.
Afgan menghentikan mobilnya di tepi jalan lalu memutar tubuhnya menghadap ke Melinda.
"Kamu mengantar jas milikku dan aku ... Maafkan atas apa yang sudah kulakukan semalam," ucap Afgan lalu meraih tangan Melinda dan mengenggamnya dengan perasaan tulus.
Melinda mulai mengerti tentang keadaan semalam. Kepalanya yang pintar sudah mengerti apa yang dihadapi Adelia dan pria ini, tetapi karena Afgan begitu memukau dan tajir. Melinda tidak mau menyia-nyiakan kesempatan.
"Aku tak bisa begitu saja memaafkan apa yang Anda lakukan malam itu. Anda tahu 'kan harga diriku hancur?!" Melinda berusaha memasang wajah sedih.
Afgan masih membeku menatapnya. Lalu, setelah dirasa cukup, Melinda menghapus air matanya itu seraya menatap Afgan.
"Kau harus bertanggung jawab, Tuan!" Melinda menatap Afgan dengan serius.
Afgan mengangguk lalu berkata, "Aku akan bertanggung jawab."
Melinda balas menggengam tangan pria kekar itu. Sesaat kemudian Afgan kembali melajukan mobilnya menuju ke restoran.
"Kita sarapan dulu, aku lapar."
Sementara di hotel, Adelia duduk di meja kerjanya dengan pandangan kosong, mencoba mencari data konsumen yang mungkin memiliki keterkaitan dengan pria misterius dari malam itu.
Pikirannya berputar-putar, mencoba menyusun potongan-potongan cerita dari malam itu menjadi gambaran yang utuh. Hatinya terasa berat, dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung mendapatkan jawaban.
"Apa yang sebenarnya terjadi malam itu? Siapa pria misterius itu? Mengapa aku merasa begitu tertarik padanya? Lalu ... Afgan, kita harus berceraikah? Dan aku harus membayar utang mahar sebanyak itukah?"
"Arggh!" Adelia menjambak rambutnya dengan kasar. Kepalanya terasa semakin berat.
Dalam keheningan yang menyelimuti ruangan, Adelia menelusuri jejak digital pada CCTV yang ada di hotel, tetapi hasilnya nihil.
***
Cepat sekali waktu berlalu, jam kerja Adelia sudah usai. Dengan langkah malas dia mengisi absensi pulang lalu bergerak keluar dari hotel. Melinda sama sekali tidak kembali ke hotel, wanita itu bahkan tidak mengangkat panggilan dari Adelia.
Adelia memandang layar ponselnya dengan cemburu. Suami yang baru menikah dengannya menghabiskan waktu dengan wanita lain.
"Dia tersenyum dengan mata berbinar-binar melihat Melinda sementara kebencian ke arahku seolah-olah aku ini sampah di matanya," geram Adelia dalam hati sambil menunggu bus di halte.
Dia membuka pesannya untuk melihat lokasi rumah Afgan. Bagaimanapun dia sudah menikah, mulai hari ini dia harus pulang ke rumah Afgan sebagai seorang istri, suka atau tidak suka.
Sesaat kemudian ...
Adelia berdiri di depan pintu rumah mewah yang mengagumkan, rumah yang kini menjadi tempat kediaman suaminya, Afgan.
Rumah itu terlihat megah dengan kolam renang berkilau di halaman depan, dan jendela-jendela besar yang memantulkan sinar matahari pagi.
"Ini rumah atau istana?" Adelia bertanya dengan mulut terbuka lebar, tidak bisa berhenti kagum.
Taman yang rapi dan berbunga-bunga menciptakan aura elegan di sekelilingnya. Meskipun keindahan rumah itu tak terbantahkan, Adelia merasa sepi dan terasing di hadapannya.
Tiba-tiba Adelia merasa keberadaannya tersudutkan di antara tembok marmer dan kaca, menciptakan distansi yang tak terjangkau meskipun hanya beberapa langkah dari pintu depan.
Dalam kebingungan, dia merenung, "Aku harus apa? Istri yang tidak diinginkan?"
Sekuriti dengan ramah membimbing Adelia melalui pintu masuk yang megah menuju dalam rumah. Mereka melangkah melalui koridor yang didekorasi dengan indah, langit-langit tinggi yang dihiasi lampu gantung mewah menciptakan suasana yang hangat dan mengundang.
Para pelayan bergerak dengan anggun, menyambut Adelia dengan senyuman tulus dan membimbing Adelia menuju kamar pengantin.
Saat pintu kamar pengantin terbuka, Adelia tak bisa menyembunyikan kagumnya. Kamar itu seperti dari mimpi, dihiasi dengan sentuhan elegan yang mencerminkan keindahan dan kemewahan.
Tempat tidur berbalut linen sutra lembut, jendela-jendela besar membiarkan cahaya matahari pagi masuk, menghadirkan pemandangan taman yang indah. Segala detailnya dipilih dengan teliti, dari hiasan dinding yang artistik hingga bunga-bunga segar yang memenuhi ruangan, menciptakan atmosfer romantis yang tak terlupakan.
Adelia terkesima, namun dia tetap berusaha menjaga sikapnya di depan pelayan yang ramah. Dia menyampaikan rasa terima kasih dengan senyuman dan sopan, namun dalam hatinya, dia merasakan kegalauan yang mendalam. Ini bukan hanya kamar pengantin biasa; ini adalah ruang di mana impian dan cinta sebuah pernikaha dihadirkan dalam bentuk nyata.
Saat Adelia ditinggalkan sendiri, Adelia berbisik, "Ini luar biasa." Suaranya tergantung dalam kekaguman.
"...tapi ini bukan milikku. Aku hanya akan menumpang sementara tanpa tahu kapan aku akan diusir."
***
Di tengah kegelapan malam, Afgan memasuki rumahnya dengan langkah berat menaiki tangga dan sampai ke kamarnya.
Ketika melihat Adelia tertidur di ranjangnya, kemarahan yang telah merasuki hatinya meledak. Dia mendekati lalu meraih lengan Adelia dengan kasar, menariknya turun dari tempat tidurnya. Adelia terbangun dengan kaget, mata berkaca-kaca ketakutan dan kekecewaan. Lengannya terasa sakit dan dia terduduk di lantai yang dingin dengan pakaian tidurnya yang tipis.
"Pernikahan ini hanya pura-pura bagi kita, bukan?" pekik Afgan dengan nada kasar. "Kamu bahkan tidak pantas tidur di ranjang ini! Kamu hanyalah wanita murahan yang tidak tahu diri!"
Adelia memegang lengannya yang sakit, tetapi tidak tinggal diam. Dia memandang Afgan dengan mata yang berkobar ketidaksetujuan. "Dan kamu, Afgan? Memilih membawa Melinda di hadapanku, bagaimana itu? Apakah itu tindakan seorang suami yang baru menikah?"
Afgan menyindir, "Daripada kamu, Hotelliers? Ternyata kamu lebih dari itu, kan? Kamu menjajakan dirimu pada lelaki lain di luar sana!"
"Jangan berpikir aku tidak tahu latar belakangmu!" teriak Afgan sambil memalingkan wajahnya dengan jijik.
Ledakan kemarahan mencuat dari dalam diri Adelia. "Laki-laki tolol mana yang menikahi wanita murahan seperti aku ini, huh?" balasnya dengan tajam, tanpa mengendurkan pandangan tajamnya.
Pertengkaran mereka memuncak, kata-kata yang menusuk dan menyakitkan terlontar tanpa ampun. Hati mereka hancur oleh ketidakpercayaan dan kebencian. Dalam kilas detik, tanpa menyadarinya, Adelia terdengar mengucapkan kata-kata yang mungkin akan mengubah hidup mereka selamanya.
"Dengan ini, aku minta cerai," Adelia berkata dengan suara yang gemetar, keputusan yang keluar begitu saja dari bibirnya seolah-olah tak terduga bahkan baginya sendiri. Adelia berdiri dan bersiap meninggalkan kamar itu dengan mata yang berembun.
Suasana hening menyusul, kata-kata itu menggantung di udara seperti kutukan yang tak bisa ditarik kembali. Wajah Afgan berubah menjadi pucat, terperangkap di antara amarah dan kesedihan. Dia mencoba bicara, tetapi kata-kata tercekat di tenggorokannya.
"Adelia, tunggu..." namun seruan Afgan hilang ditelan oleh keheningan rumah yang kini terasa penuh dengan kekosongan. Mereka berdua terdiam, menyadari bahwa kata-kata telah melukai lebih dalam daripada luka fisik mana pun yang mungkin mereka alami.
Afgan teringat dengan perkataan sang Ayah di pesta pernikahan mereka.
"Hei! Kamu! Diam di sana!" teriak Afgan dengan nada tinggi, tetapi Adelia terus bergerak menuju ke pintu keluar.
Melihat itu Afgan marah besar, dia menarik tangan Adelia, menghempaskan tubuhnya ke ranjang dan menekan tubuhnya. Namun, tiba-tiba aroma badan Adelia membawanya kembali pada kejadian malam itu.
"Kamu ... " Afgan membelalakkan kedua matanya.
Afgan merasakan beban rasa bersalah mencekiknya begitu dia mencium aroma Adelia, merenungkan tindakan bodohnya sehari sebelumnya. Matanya penuh dengan penyesalan, dan hatinya dihantui oleh bayangan perempuan yang telah dia renggut keperawanannya sehari sebelum pernikahannya. Pria itu merasa dia juga tidak becus dalam pernikahan ini.Afgan mundur, melepaskan cengkramannya ke tangan Adelia lalu terduduk dengan napas yang menderu dan tidak teratur. "Adelia," panggil Afgan dengan suara patah, mencoba menahan amarah yang hendak meluap.Adelia menoleh, matanya berkaca-kaca, memancarkan kekecewaan yang dalam. "Apa yang kau inginkan, Afgan?" tanyanya dengan suara yang penuh dengan emosi.Afgan menelan ludahnya, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Aku... aku tidak tahu harus mulai dari mana," katanya pelan."Bila kamu menginginkan perceraian, maka ... "Adelia menunggu apa kelanjutan dari perkataan Afgan."Kembalikan mahar yang sudah dibayarkan untuk pernikahan paksa ini!"Mendengar hal
Adelia merasa terhina oleh kata-kata Afgan. Dia menyadari bahwa Afgan memang memiliki sifat yang dingin dan keras. Namun, dia tidak bisa menahan perasaan kecewa yang muncul dalam dirinya. "Baiklah, aku mengerti," ucapnya dengan nada pahit dan memilih diam.Adelia melayangkan tatapannya ke punggung Afgan pada saat pria itu sedang memakai kemejanya.Adelia menatap luka bakar di punggung Afgan dengan kebingungan. Namun, saat dia menatap lebih lama, gambaran tentang gurat aneh di punggung seorang laki-laki yang pernah menyakitinya terlintas begitu saja di benaknya. Rasa takut dan ketidaknyamanan seketika melanda dirinya.Afgan yang melihat tatapan Adelia dari pantulan cermin di depannya itu merasa terganggu. Dia membentaknya dengan nada tajam, "Apa yang kau lihat? Ini tubuhku dan aku tidak menginginkan pertanyaan apa pun. Jangan bersikap seolah kau memiliki hak atas tubuhku.""Kau hanya istri di atas kertas, paham!"Adelia merasa tertegun oleh reaksi A
Afgan merasa tersudutkan karena luka di punggungnya. Pria itu mengalami tragedi besar ketika dia masih seorang anak kecil. Dia tumbuh di tengah kesibukan orang tuanya yang jarang ada di rumah. Meskipun diabaikan oleh ayah dan ibunya yang terlalu sibuk dengan dunia mereka sendiri, Afgan menemukan penghiburan dan kasih sayang sejati dari seorang pengasuh paruh baya yang penuh cinta."Bik Minah," gumam Afgan dengan suara gemetar, mencoba menutupi rasa sakit yang menghantamnya begitu mendalam. Dia merasakan embun mulai terkumpul di kedua matanya, menandakan bahwa bahkan hatinya yang beku sekalipun tak bisa menahan emosinya.Afgan melajukan mobilnya lebih kencang. "Seharusnya aku yang meninggal dalam kejadian itu!" pekik Afgan dengan nada tinggi dan masih berusaha menahan amarahnya.Pengasuh itu adalah satu-satunya orang yang benar-benar peduli padanya, memberinya kasih sayang dan perhatian yang dia butuhkan. Dia menggantikan peran ayah dan ibunya yang tidak pernah ada di sana untuknya.Hu
Kedua wanita itu menoleh dengan serentak ke arah Afgan. Melinda segera membalas dengan senyum terindah yang dimilikinya sementara Adelia mengernyitkan alis dan menahan napasnya. "Kita sarapan, yuk," ajak Afgan, memandang Melinda dengan wajah dan kalimat penuh kelembutan. Sangat berbeda dengan cara bicara tadi pagi kepada Adelia. Hanya sekilas Afgan melirik Adelia yang menelan salivanya usai mendengarkan ajakan tersebut, dia tahu bahwa Adelia juga bekerja di hotel tersebut, tetapi dia memutuskan fokus kepada Melinda. Adelia menahan rasa lapar di perutnya, dia sendiri juga belum sarapan, tetapi suaminya mengajak wanita lain untuk sarapan bersama - teman kerjanya, seorang wanita di hadapannya. Adelia mengepalkan kedua tangannya erat-erat untuk menahan amarah yang bergemuruh di dalam dadanya. "Baik, Adelia ... tolong gantikan pekerjaanku ya, Sayang. Kamu baik sekali deh!" Melinda memonyongkan bibirnya membentuk ciuman jauh untuk Adelia lalu mengambil tasnya dan segera melangkah mendek
Afgan melangkah masuk ke dalam rumah dengan langkah tergesa-gesa, dia menarik dasinya dengan satu gerakan tepat pada saat melewati ruang makan sebelum menuju ke kamar yang berada di lantai kedua. Afgan menghentikan langkahnya melihat Adelia yang sedang menelan mie. Adelia mematung dan mereka saling tatap tanpa sengaja. Untaian mie yang panjang dari mulut ke mangkuk mie membuat Afgan meringgis melihatnya, pria itu menaikkan sudut bibirnya ke atas dengan pandangan melecehkan. "Makanan itu cocok untukmu. Kamu memang berada di level itu," ucap Afgan sambil lalu menuju tangga tanpa menghiraukan tanggapan Adelia sama sekali. Sluurppp! Adelia menyedot habis mie beserta supnya dengan menaikkan mangkuk. Para pelayan merasa risih dengan sikap dan cara makan Adelia, namun wanita itu terkesan tidak peduli. Dalam hati, Adelia sebenarnya merasa hancur oleh perkataan menyindir dari Afgan, namun dia memilih untuk bertahan. Meskipun hatinya terluka, dia tahu bahwa dia harus menerima bahwa Afgan
Afgan berdiri di depan pintu Melinda, bingung dan hampa. Matanya menatap kosong daun pintu di hadapannya.Hatinya terombang-ambing antara kesenangan akan makan malam romantis dengan Melinda dan kebingungan mengenai perasaannya terhadap Adelia. Dia ingin mengetuk pintu, tetapi keraguan menghantuinya. Di dalam dirinya, Afgan merasa tak nyaman dengan sikapnya kepada Adelia di rumah sebelumnya. Meski begitu, nama Adelia terus saja terpaku dalam pikirannya.Bunga mawar yang dia bawa tadi terasa berat di tangannya, sebagai simbol kebingungannya sendiri. Mengapa dia merasa terikat pada Adelia, tetapi juga merasa harus hadir untuk Melinda?Dalam kehampaannya, Afgan memutuskan untuk mengetuk pintu. Namun, sebelum dia bisa melakukannya, pintu rumah sudah terbuka dari dalam. Melinda muncul dengan senyum bahagia di wajahnya, matanya bersinar melihat bunga mawar yang dibawa Afgan."Afgan," sapa Melinda dengan senyuman di wajahnya."Bunga ini untukku?" tanya Melinda, lalu tanpa ragu, dia memeluk Af
Saat mereka memasuki ruang pesta, mata Melinda hampir terbelalak melihat kemewahan sekelilingnya. Sebuah ruangan yang dihiasi dengan cahaya gemerlap, tumpukan bunga segar yang harum, dan orkestra yang memainkan musik klasik. Ini adalah pertama kalinya baginya berada di pesta orang-orang kaya. Melihat para tamu yang mengenakan gaun dan jas desainer, tampak sekali mereka bukan kalangan sembarangan, dia tidak dapat menyembunyikan kekagumannya.Sementara Melinda memperhatikan sekeliling dengan takjub, Afgan meninggalkannya sejenak untuk berbicara dengan koleganya. Melinda merasa canggung di tengah kerumunan orang-orang yang tampak begitu percaya diri dan elegan. Dia merasa seakan terdampar di dunia yang sama sekali baru baginya.Di dalam hatinya, Melinda menggumamkan, "Di sini penuh orang kaya, konglomerat! Sungguh luar biasa!" Dia mencoba mengendalikan kecanggungan, tetapi perasaannya campur aduk. Namun, dia memutuskan untuk tetap bersikap percaya diri dan bersik
Adelia sedang berada di kamarnya, tengah sibuk meneliti pekerjaan yang dibawanya ke rumah, ketika tiba-tiba dia mendengar suara bising yang datang dari lantai bawah. Dengan cepat, dia melangkah keluar dari kamar untuk melihat apa yang terjadi.Hatinya hampir berhenti ketika dia melihat petugas sekuriti menggotong tubuh Afgan menuju kamar utama. Matanya membesar dalam kekagetan, dan dia segera berlari mendekati mereka. "Apa yang terjadi? Kenapa Afgan seperti ini?" serunya, suaranya penuh dengan kecemasan dan kekhawatiran.Petugas sekuriti, seorang pria tinggi dengan wajah serius, menoleh ke arah Adelia. "Maafkan kami, Nyonya. Tadi malam, di pesta kalangan elit, Afgan terlihat sangat tidak stabil setelah minum minuman beralkohol. Dia hampir pingsan dan tidak bisa menjaga keseimbangannya. Mr. David meminta kami membawanya kembali ke kamarnya untuk beristirahat."Adelia merasa hatinya berdebar kencang. Dia tidak tahu apa yang harus dia pikirkan atau lakukan. Sejak d