Share

5. Pilihan

Laras masih berpikir bahwa apa yang dia alami adalah sebuah mimpi. Ya, dia pasti sedang bermimpi. Mungkin apa yang dia lihat tadi adalah sebuah mimpi karena ingin melarikan diri dari rasa sakitnya.

“Ras? Kamu nggak pulang?” tanya Widuri. “Apa nunggu dijemput sama Adhi?”

Mendengar nama lelaki itu saja sudah membuatnya marah, apalagi jika harus bertemu dengan Adhi! Laras tak akan sudi!

“Dijemput Adhi?”

Widuri memandang Laras aneh, dia berjalan kembali masuk ke kelas kemudian menempelkan punggung tangan di dahi Laras.

“Nggak panas padahal, kamu ilang ingatan apa gimana? Kan tadi pagi kamu bilang sendiri kalau siang ini mau dijemput sama Adhi.”

Laras tersenyum dengan canggung. Kejadian sudah berlalu begitu lama. Dua puluh tiga tahun yang lalu, jadi mana mungkin dia mengingat persis bagaimana kejadian yang terjadi hari ini.

“Kalau begitu aku duluan aja deh!” Laras mengambil tas ranselnya, dia berlari mendahului Widuri yang masih melihatnya dengan aneh.

Di halaman sekolah, dia melihat para murid sedang berjalan menuju gerbang sekolah. Kebanyakan dari mereka menunggu bus di halte yang tak jauh dari sekolah.

Ada beberapa yang dijemput oleh pacar atau ayah mereka.

Langkah Laras terhenti, dia tak sengaja melihat bayangan Adhi baru saja sampai dengan motornya. Motor NSR 150, motor kebanggan Adhi yang membuatnya merasa seperti seorang pangeran.

Laras bersembunyi di antara murid-murid yang lain, menghindari agar tidak bertemu dengan lelaki itu dan pulang bersamanya.

Padahal waktu masih remaja, dia paling suka dan bangga jika Adhi menjemputnya. Tak hanya terlihat wah, Adhi juga tampan dan keren. Dan mungkin itu adalah salah satu kesalahannya waktu itu.

“Maaf, maaf, permisi,” kata Laras pelan sambil membungkuk dan bersembunyi dari balik murid yang berjubelan.

Tubuhnya terasa ringan dan dia tidak merasakan sakit pada pinggangnya. Dia baru saja menyadari jika tak hanya wajahnya yang kembali muda, tapi kesehatan dan staminanya juga kembali seperti masih remaja.

DUG!

Kepala Laras menubruk punggung seseorang. Bau keringat menggelitik hidungnya, membuatnya tak bisa untuk tidak melihat siapa yang dia tabrak.

Baru saja Laras hendak mengomel pada lelaki yang di depannya. Tapi mulutnya terkunci ketika lelaki itu hendak menyemprotnya karena sudah menabrak dirinya.

“Untung aja,” kata Laras lega, dia berhasil menghindar.

Matanya menangkap bayangan Adhi lagi, tapi kali ini Adhi melihat dirinya dan melambaikan tangan ke arahnya.

“Ras! Aku di sini!”

“Mau di situ mau di hutan, aku nggak peduli,” gerutu Laras. Bayangan menjijikkan Adhi dengan Adis seolah baru saja terjadi.

Dengan susah payah Laras melipir, mencari celah di antara murid yang sedang bergerombolan berjalan menunggu bus. Hingga sebuah tangan menarik tas gendongnya dari belakang.

“Ras! Mau ke mana?” tanya seseorang. Laras menoleh lalu mengernyitkan keningnya.

“Tadi aku ke perpus, tapi kamu tidur.”

Oh, dia Tian, bisa-bisanya aku lupa sama dia.

“Oh… ya?” balas Laras dengan canggung.

“Mau naik bus?”

Laras langsung mengangguk cepat.

“Ya udah bareng sama aku,” kata Tian. “Tapi jemputan kamu udah nunggu kamu di sana tadi.” Tian menunjuk ke arah Adhi di mana wajahnya kali ini sudah suram karena melihat dirinya sedang berbicara dengan Tian.

Adhi si lelaki pencemburu, dia yang tak suka jika Laras dekat dengan lelaki lain meskipun teman sekelasnya, Laras pikir dulu karena Adhi mencintainya. Tapi jika dipikir lagi, cemburu Adhi bukan karena cinta, melainkan hanya tak mau dikalahkan oleh lelaki lain yang berada di bawah levelnya.

“Naik bus aja deh, Ka kk,” kata Laras agak canggung, karena meski bagaimanapun juga lelaki di depannya itu seusia Abhi. Dan rasanya sangat aneh.

“Oh ya udah. Yuk, busnya udah datang,” kata Tian. Bus berwarna biru, kecil dan muat dengan 32 penumpang itu berhenti di depannya.

Padahal bus sudah penuh berjubel murid dari SMA lain, tapi si supir masih ingin mengangkut lebih banyak penumpang lagi.

“Tapi penuh Ras, mau nunggu bus berikutnya aja?”

“NGGAK!” sambar Laras yang panik. Ia tak bermaksud ingin meninggikan suaranya pada Tian. Hingga membuat lelaki itu sedikit terkejut kemudian tersenyum.

“Oh ya udah, kamu naik dulu. Aku di belakang kamu,” kata Tian. Dia berjalan di depan Laras dan memberikan jalan agar perempuan itu bisa masuk ke dalam bus.

Laras tentu saja tidak mendapatkan kursi, dia berdiri dengan tas gendong dia letakkan di depan dadanya. Sementara itu Tian berdiri di belakangnya.

“Pegang ini, nanti kamu jatuh,” kata Tian.

“Oh ya.” Laras melepaskan satu tangannya dan memegang kursi bus. Dia begitu aneh dengan suasana yang dia alami saat ini. Semasa SMA dia tidak pernah naik angkutan umum, karena biasanya dia akan dijemput oleh Adhi atau jika tidak dia akan dijemput oleh supir ayahnya.

“Kok nggak mau dijemput sama cowok kamu?” tanya Tian membuka suara.

Laras yang sejak tadi menahan napasnya karena mencium bau durian akhirnya melepaskannya perlahan.

“Nggak apa-apa, lagi mau naik bus aja,” jawabnya.

Aku nggak kelihatan kayak ibu-ibu kan ngomongnya? Dulu aku ngomong pas remaja gimana ya?

“Oh… kirain lagi berantem.”

Laras hanya tersenyum. Bus yang berjalan begitu lambat membuatnya dapat melihat Adhi yang sedang menyusulnya. Motornya sudah sampai di samping bus. Dengan pandangan yang tajam dia menatap Laras dan memberikannya kode agar turun dari bus.

“Ternyata sifat asli kamu begini kalau aku nggak nurut sama kamu,” gumam Laras. Dia membalas menatap tajam Adhi.

“Kak… bisa anterin aku… pulang?” tanya Laras. Dia yakin Adhi akan menunggu di rumahnya setelah tahu dia pulang dengan lelaki lain.

Tian tersenyum. “Boleh.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status