Share

Kiriman Bunga Istimewa

“Damien Curtis?” ulang Majandra. “Baiklah. Aku akan mengingatnya.” Wanita itu merapikan gaun malamnya, kemudian berlalu dari hadapan pria bernama Damien tadi. Majandra pergi begitu saja, tanpa berbasa-basi terlebih dulu.

“Hey!” cegah Damien. Dia bergegas menyusul wanita cantik berambut panjang itu. Damien menyejajari langkah Majandra yang bersikap jual mahal terhadapnya. “Kau curang,” ucap pria tampan dengan iris mata abu-abu tersebut.

“Kita tidak sedang melakukan permainan apapun,” bantah Majandra tanpa menoleh. Dia melangkah anggun, di antara hiruk-pikuk para penikmat kehidupan malam yang tengah menikmati musik menghentak.

“Ya, kau benar. Namun, tadi aku sudah memperkenalkan diri.” Damien tak putus asa mengajak wanita cantik itu berkenalan. “Kenapa kau tidak melakukan hal yang sama. Aku rasa, suamimu tak akan tahu bahwa kau memberitahukan namamu padaku. Kecuali jika dia memiliki mata-mata.”

Majandra tertegun sejenak, lalu menoleh. Dia kembali tertawa renyah, memperlihatkan deretan giginya yang putih sebagai pelengkap dari keindahan bibir berpoles lipstik merah. Kecantikan fisik yang dimiliki wanita itu sungguh luar biasa. Dia terlihat sangat sempurna, dari ujung rambut hingga ujung kaki.

“Apakah namamu terlalu mahal untuk kau bagi denganku?” tanya Damien setengah merayu. Dia kembali menyertai langkah gemulai Majandra dari sisi sebelah kiri.

“Jika memang mahal, memangnya akan kau bayar dengan apa?” Majandra menghentikan langkah, lalu menoleh kepada pria tampan, yang sedari tadi tak mengalihkan perhatian darinya..

“Apapun yang setara dengan makhluk seindah dirimu,” jawab Damien dengan sorot penuh rayuan, yang mampu membuat wanita manapun pasti akan langsung bertekuk lutut di hadapannya.

Majandra membalas tatapan mematikan yang dilayangkan Damien. Dia seolah ingin membuktikan bahwa dirinya memiliki kekuatan lebih, yang bisa menjadi tameng dari rayuan paling mematikan sekalipun. “Kau pikir apa yang setara dengan diriku?” tanyanya bernada menantang.

Damien tersenyum kalem. Harus diakui bahwa pria berambut gelap tersebut memiliki ketampanan yang luar biasa. Postur tubuhnya sangat ideal. Atletis dan tampak begitu kokoh. Selain itu, Damien juga memiliki senyuman yang teramat memesona. “Bisakah kita bicarakan masalah ini di tempat lain?” Pertanyaan itu terdengar seperti undangan khusus untuk Majandra.

“Di mana?” tanya Majandra.

“Meja makan,” jawab Damien diiringi senyum kalem. Iris mata abu-abunya terlihat sangat bercahaya.

Majandra tersenyum simpul seraya menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga. “Tuan pemaksa,” ujarnya. Dia melanjutkan langkah, bermaksud meninggalkan Damien yang masih berdiri disertai sorot penuh harap. Majandra melenggang santai dengan langkah gemulai. Setiap gerak tubuhnya, menjadi sihir yang sangat ampuh untuk menghipnotis seorang Damien Curtis.

“Di mana aku bisa menemuimu lagi, Nona?” tanya Damien sedikit nyaring.

Majandra yang sudah beberapa langkah menjauh dari pria tampan bermata abu-abu itu, langsung tertegun. Dia menoleh, lalu tersenyum. “Nyonya. Panggil aku ‘nyonya’,” ralatnya diiringi senyuman nakal. Setelah itu, wanita cantik tersebut kembali berbalik dan melanjutkan langkah.

Majandra kembali ke kamar yang ditempatinya. Wanita cantik berambut cokelat tembaga itu melempar tas ke kasur, lalu melepas ankle strap heels di dekat pintu. Dia mengempaskan tubuh ke tempat tidur. Majandra merogoh ponsel dari dalam tas, lalu memeriksanya.

Keluhan pendek meluncur dari bibir berpoleskan lipstik merah Majandra. Tak ada pesan atau panggilan dari sang suami. “Ya, tentu saja. Kau sedang bersenang-senang dengan wanita lain,” gumamnya kesal. Dia melemparkan telepon genggam tadi ke sebelah. Sementara, dirinya berbaring dengan posisi telentang menghadap langit-langit ruangan.

Akan tetapi, dorongan dalam hati Majandra mulai memberontak. Dia kembali mengambil ponsel tadi, lalu mencari nomor kontak Alexandre. Majandra menghubungi pria itu, meski dirinya harus menunggu beberapa saat hingga sang suami menjawab panggilan tersebut.

“Hallo,” sapa Alexandre. Suara berat nan seksi yang sebenarnya sangat Majandra rindukan. “Bagaimana liburanmu?” tanya pria itu dingin.

“Menyenangkan. Aku suka berada di sini,” jawab Majandra. Dia mengubah posisi tidur jadi menyamping.

“Jangan katakan jika kau tak akan pulang,” ujar Alexandre. Pria tampan tersebut selalu berbicara seperlunya. Dia bahkan seperti tak memiliki selera humor.

“Kenapa memangnya? Aku tidak akan berpikir bahwa kau merindukanku,” ujar Majandra sedikit menyindir sang suami.

“Bukan masalah rindu atau tidak. Namun, beberapa hari lagi adalah ulang tahun pernikahan orang tuaku. Seperti biasa, kita harus datang ke sana dan ….”

“Bersandiwara?” potong Majandra diiringi keluhan pendek. “Rasanya sangat melelahkan, juga membosankan.”

Alexandre tidak menanggapi. Entah apa yang tengah pria itu lakukan. Beberapa saat kemudian, dia kembali bersuara. “Kau ingin aku datang sendiri ke sana? Kau ingin orang tuaku mengetahui kondisi hubungan kita yang buruk?”

“Memang seperti itu kenyataanya?” ucap Majandra. “Kurasa, justru mungkin kau yang takut jika kedua orang tuamu mengetahui bahwa anaknya telah menipu mereka dan seluruh keluarga besar,” sindir Majandra. “Aku tidak tahu pernikahan macam apa ini?”

“Kau yang bersikeras untuk tetap melanjutkan kegilaan ini, Majandra. Ingat itu!” Nada bicara Alexandre penuh penekanan. “Sejak dua tahun yang lalu, aku sudah berniat untuk menceraikanmu. Namun, kau tetap menolak. Entah apa alasan yang melatarbelakangi sikap keras kepalamu ini.”

“Aku hanya mencoba mempertahankan pernikahan kita. Jika kau menganggap itu sebagai suatu kegilaan, maka biarkanlah aku mati dalam keadaan seperti itu. Lagi pula, kurasa kau tak akan peduli dengan apapun yang terjadi padaku.” Majandra mengembuskan napas dalam-dalam, setelah berkata demikian. Rasanya, dia ingin melempar ponsel yang sedang dirinya pegang sekencang mungkin.

“Kau sudah mengetahuinya,” balas Alexandre dingin.

Seketika, Majandra kehilangan selera untuk melanjutkan perbincangan. Dia langsung memutus sambungan telepon. Tak ada hal lain yang mengisi pikirannya kali ini, selain rasa kesal. Majandra akhirnya memutuskan untuk tidur, tanpa berganti pakaian atau membersihkan riasan.

Tanpa terasa, Majandra tidur dengan begitu nyenyak. Wanita cantik tersebut baru membuka mata, karena mendengar suara ketukan di pintu. Dia bangkit perlahan, lalu duduk sebentar untuk mengumpulkan segenap kesadaran yang belum sepenuhnya kembali. “Mengganggu saja,” gerutu Majandra seraya bangkit dari tempat tidur.

Sebelum membuka pintu, Majandra merapikan rambut terlebih dulu. Dia juga merapikan gaun malamnya. Setelah itu, barulah istri Alexandre tersebut membuka pintu kamar penginapan mewah yang ditempatinya. Seketika, wanita cantik itu tertegun saat mendapati seorang pelayan, berdiri sambil memegangi buket bunga mawar berukuran besar.

“Selamat pagi, Nyonya LaRue,” sapa pelayan itu sopan. “Maaf mengganggu pada jam seperti ini. Namun, orang yang memberikan bunga ini, memintaku agar segera mengirimkannya kepada Anda."

“Oh, ya. Tidak apa-apa,” balas Majandra seraya tersenyum kaku. Dia tak segera menerima buket bunga mawar itu.

“Silakan diterima, Nyonya. Ini adalah kiriman untuk Anda dari Tuan Damien Curtis,” ucap pelayan tadi, yang membuat Majandra hanya bisa terpaku di tempatnya berdiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status