Majandra terdiam beberapa saat, dengan tatapan lekat tertuju kepada Damien. Sebagai wanita normal, tentu saja dia sangat menikmati segala sanjungan serta rayuan manis yang dilancarkan pria tampan tersebut. Namun, Majandra sadar bahwa dirinya tak boleh terlena oleh segala bujuk rayu Damien. “Apa yang kau inginkan dariku?” tanya wanita dua puluh lima tahun itu penuh selidik.
“Aku?” tunjuk Damien pada dirinya. “Pertanyaanmu terdengar sadis,” ujar pria itu. Damien tersenyum simpul, sebelum kembali menikmati minumannya.Sementara, Majandra belum mengalihkan tatapan dari pria tampan berambut gelap tersebut. Sepasang iris mata abu-abunya yang bercahaya, terus mengikuti setiap gerakan tubuh Damien. Dia seakan ingin menguliti kejujuran pria yang juga mengaku berasal dari Perancis tersebut.“Kau terus merayu dan berusaha mendekatiku. Kau bahkan menciumku, meski tahu bahwa diriku sudah bersuami. Bolehkah jika aku memikirkan sesuatu yang ….” Majandra tidak melanjut“Hentikan!” Tangan kekar itu meraih tubuh Majandra yang tak terkendali. “Lepaskan aku!” Majandra yang sudah dalam pengaruh alkohol, terus memberontak saat seseorang yang tak lain adalah Damien terus memeganginya dari belakang. Sebisa mungkin, Majandra berusaha mendekat kembali pada wanita berambut pirang yang sudah bangkit dan terlihat kesakitan. Majandra terus memakinya menggunakan Bahasa Perancis. “Terkutuklah kau di neraka bersama pria sialan itu!” makinya. “Sudah. Hentikan.” Damien terus menarik mundur Majandra agar keluar dari klub malam tadi. “Lepaskan aku!” Majandra terus memberontak. Dia bahkan berusaha menyerang Damien. Namun, tentu saja Damien telah mengantisipasi setiap pergerakan Majandra. Pria tampan tersebut menahan kedua tangan si wanita dengan cara memegangi pergelangannya. Setelah itu, dia memutar ke belakang, meletakkan keduanya di balik punggung. “Kau masih ingin melawanku?” tantang Damien. "Astaga. Ternyata kau sangat liar.
Damien mengembuskan napas berat. Pria tampan tiga puluh empat tahun tersebut, mengacak-acak rambutnya yang kusut karena baru bangun tidur. Namun, dia seolah tak peduli jika dirinya akan terlihat jelek di mata Majandra. “Um … sebaiknya kau ikut aku,” ajak pria itu. Dia meraih tangan Majandra, lalu menuntunnya ke satu ruangan yang ternyata adalah kamar mandi. “Untuk apa kita kemari?” tanya Majandra heran. Dia memperhatikan Damien yang tengah mengambilkan sesuatu untuknya. “Sebaiknya, basuh wajahmu, lalu gosok gigi. Dengan begitu, pikiran bisa menjadi jauh lebih segar,” saran Damien. Pria itu menyodorkan sikat gigi baru kepada Majandra. Tanpa merasa canggung, Damien menarik tangan si wanita agar mengikutinya berdiri dekat meja wastafel sambil menghadap cermin. Dengan tetap memasang wajah lusuh tak bersemangat, Majandra menuruti apa yang Damien katakan. Dia berdiri di sebelah pria itu, lalu menggosok gigi. Sesekali, pandangannya beradu dengan Damien lewat p
Damien terperangah mendengar penuturan Majandra. Hati kecilnya bersorak dan berkata bahwa itu merupakan kesempatan emas baginya, agar dapat memasuki kehidupan wanita cantik tersebut. Tuhan seakan memberinya jalan yang teramat mudah, untuk bisa meraih simpatik meski harus didapat dari konflik. Akan tetapi, satu sisi hati Damien yang lain mengatakan bahwa dirinya terlalu jahat, jika merasa bahagia atas rasa sakit yang disembunyikan Majandra. “Apa ada orang lain yang mengetahui perselingkuhan itu?” tanya Damien penasaran. “Hanya aku dan seorang teman dekat. Dia yang pertama kali memberitahukan perselingkuhan suamiku dengan wanita itu. Aku bahkan diajak untuk membuktikan sendiri semua yang lakukannya.” Majandra kembali mengembuskan napas pendek. Untuk kali ini, tarikannya terdengar lebih berat. Wanita itu sadar. Semua yang sudah terucap dari bibirnya, tak dapat dia tarik kembali. “Kenapa kau tidak terbuka kepada keluargamu?” tanya Damien lagi. Dia tampak se
[Bagaimana kabarmu?]Begitulah isi pesan yang Damien kirimkan untuk Majandra. Dia masih memberikan perhatian yang begitu manis, meski wanita cantik tersebut sudah bersikap tidak bersahabat padanya. “Ah, Damien,” desah Majandra pelan. Rasa bersalah kembali hadir. Namun, Majandra tidak membalas pesan tadi. Dia meletakkan telepon genggamnya begitu saja di kasur, lalu merebahkan diri. Tanpa sadar, wanita itu kembali tertidur cukup lama. Majandra bahkan tidak makan siang, karena dirinya baru bangun sekitar pukul 14.30. “Astaga!” Majandra terduduk, lalu meraup kasar wajahnya. Sakit kepala yang tadi mengganggu, telah berangsur sirna. Dia merasa mulai stabil kali ini. Namun, istri Alexandre tersebut belum membersihkan tubuh atau sekadar berganti pakaian. Majandra beranjak ke kamar mandi. Dia berendam air hangat beberapa saat, hingga dirinya merasa puas. Setelah membersihkan diri, wanita cantik berambut cokelat tembaga itu memilih dress yang akan dikena
“Damien …,” desah Majandra parau, ketika pria itu merangkulnya erat. “Aku tahu kau sangat menginginkannya,” bisik Damien seraya membelai lembut pipi Majandra. Dia seakan tengah berusaha menghilangkan keresahan, dari paras cantik wanita dua puluh lima tahun tersebut. Damien kembali melumat bibir Majandra beberapa saat, lalu beralih ke leher. Sementara, tangannya begitu cekatan melepas pengait bra yang wanita itu kenakan. Tanpa melepas pertautan mesra mereka, pria tampan bertato tersebut mengangkat tubuh Majandra, yang hanya tertutupi di bagian bawah. Damien mendudukkannya di kayu pembatas, yang memagari beranda tempat mereka berada. “Astaga. Kau jauh lebih indah dari yang kubayangkan,” sanjung Damien penuh rayuan. Sambil terus memegangi pinggang ramping Majandra. Dia tak sungkan menyentuh, lalu menjalarkan ciumannya ke dada. “Oh … kau membuatku geli.” Majandra tertawa manja di sela desahan yang sejak tadi menghiasi kemesraan mereka, ketika Damien mengisap pelan lalu memainkan bagian
“Menginaplah di sini,” bisik Damien sambil mendekap Majandra dari belakang. Pria itu seakan tak puas menciumi pundak Majandra, yang hanya mengenakan handuk sebatas dada. “Kenapa aku harus menginap di sini? Kamar penginapanku tidak kalah nyaman,” ujar Majandra seraya tersenyum kecil. Sesekali dia mendesah pelan, saat merasakan bulu-bulu halus di wajah Damien yang bersentuhan dengan kulit lehernya. “Karena di sini kau tak akan merasa kesepian.” Damien tersenyum kalem, seraya menatap bayangannya dan Majandra dari pantulan cermin dekat wastafel. “Kau memiliki banyak tato. Apa tubuhmu tidak sakit saat membuatnya?” tanya Majandra dengan tatapan tertuju ke cermin, di mana dirinya dapat melihat bayangan paras tampan Damien. “Ada beberapa tempat yang memang tidak terasa sakit, tapi ada juga yang ….” Damien meringis kecil, menandakan bahwa dirinya kesakitan. Ekspresi pria itu membuat Majandra seketika tertawa. “Hey! Apanya yang lucu?” protes Damien. “Kau sangat konyol,” ledek Majandra. Dia
Majandra refleks bergerak mundur. Namun, di belakangnya ada seorang pria lain yang tertawa pelan, saat wanita itu menabrak tubuhnya dari depan. “Hati-hati, Sayang,” ucap pria di belakang Majandra, yang berusaha menyentuh kedua lengan wanita itu. Bau alkohol menguar dari mulut si pria. “Jangan menyentuhku!” sergah Majandra tegas. “Ow, galak sekali.” Pria itu tertawa sambil mengangkat kedua tangannya. “Gadis latin yang sangat cantik. Berteriaklah padaku, tapi jangan di sini,” ujarnya setengah berbisik. “Menjauh dariku!” sentak Majandra. Dia menepiskan tangan si pria yang kembali berusaha menyentuhnya. Ketiga pria yang rupanya dalam kondisi mabuk tersebut, tertawa bersamaan. Entah apa yang lucu, tapi mereka terus melakukan itu. “Aku selalu ingin mengencani gadis latin. Lihatlah kulitnya yang eksotis,” tunjuk salah seorang dari mereka dengan senyum nakal. “Kau ingin mencicipinya, Kawan?” tawar rekan si pria tadi. “Ya,
Beberapa saat kemudian, Majandra telah tiba di bandara. Dia sengaja datang mendekati waktu keberangkatan, karena dirinya malas harus menunggu seorang diri. Sambil duduk di ruang tunggu khusus, wanita dua puluh lima tahun tersebut memeriksa pesan masuk di ponselnya. Majandra mendapati nomor baru, yang mengirimkan beberapa foto saat tengah berada di pantai. Tentu saja, dia sudah tahu bahwa nomor itu milik Damien Curtis. Majandra tersenyum manis. Namun, senyuman wanita cantik tersebut seketika memudar, ketika dia membuka pesan teks yang dikirimkan paling akhir. [Sampai bertemu lagi di Perancis]“Astaga, Damien.” Majandra menggeleng pelan. Pria itu memang seorang pemaksa dan pantang menyerah. Kembali terbayang dalam benak Majandra, kebersamaan terakhir antara dirinya dengan pria tampan pemilik beberapa tato tersebut. Majandra memejamkan mata saat meresapi setiap sentuhan si pemilik mata abu-abu, yang diterimanya kemarin malam. Harus dia akui, bahwa