" Biar nanti kamu tau sendiri, Lyn! Sekarang bukan waktunya, " sahut Karina.Evelyn menoleh dan menatap Karina yang memalingkan wajah." Kenapa? Aku nggak berhak tau, ya? " tanya Evelyn." Bukan! Sudahlah, yang penting aku sudah cerita, kan? Mengenai siapa orangnya, mending jangan ada yang tau dulu. Termasuk kamu, aku malu. Sebab rasaku sepertinya tidak berbalas, " Karina menyahut dan terkekeh pelan.Evelyn hanya menghembuskan nafas, dia paham apa yang dirasakan sahabatnya itu. Evelyn berusaha menghibur Karina, dengan mengajaknya bermain air. Karina menyanggupi dan menuruti ajakan Evelyn.--------" Sudah, deal, ya, Pak! " ucap Bian sambil menjabat tangan Fattan.Mereka memang berniat bekerja sama untuk membangun kafe baru, rencananya tempatnya akan dipilih oleh Fattan. Daerah yang dipilih oleh Fattan juga sudah disetujui Bian, rencananya beberapa hari lagi mereka akan meninjau lokasinya." Baik, Pak! Semoga rencana kita segera terealisasi, " sahut Fattan menyambut jabatan tangan Bia
Sesampainya di kafe, Bian kembali mencoba menghubungi Evelyn, berharap kali ini sang istri bersedia menerima panggilannya. Namun, tetap saja Bian harus menelan paksa kekecewaan, sebab beberapa kali mencoba, tetap tak ada tanda-tanda Evelyn akan mengangkatnya." Sayang ... Apa kamu semarah itu padaku? " lirih Bian. Dia menjambak rambut frustasi, pikirannya kali ini bercabang. Antara memikirkan pekerjaan dengan nasib rumah tangganya. Bian mengakui, semua itu terjadi sebab kebodohannya sendiri. Sedang Evelyn baru saja selesai mencuci piring dibantu Karina, kemudian keduanya melanjutkan berbincang di teras, sambil memandang anak-anak tetangga yang asik bermain di halaman rumah.Pemandangan yang jarang ia temui saat di kota, jika disana rumah-rumah tetangga selalu tertutup rapat, jauh berbeda jika dikampung. Disini juga tetangganya suka duduk berkumpul dengan tetangga lainnya, sekedar berbincang atau mungkin ... Bergosip?" Jadi ... Apa langkah yang akan kamu tempuh selanjutnya, Lyn? " Ti
" Mas Bian? Karina? " Evelyn terkejut dengan kedatangan suami serta sahabatnya itu.Begitu juga dengan Fattan, lelaki itu sama terkejutnya dengan Evelyn, melihat siapa yang saat ini berdiri didepan rumahnya. Dia juga tak menyangka ternyata lelaki yang bekerja sama dengannya itu adalah suami sahabatnya." Kenapa kamu kaget? Ternyata ini kelakuan kamu? Ini alasan kamu nggak angkat telepon aku? Iya? " hardik Bian dengan suara lantang. Evelyn kaget, jantungnya berdentum hebat. Bukan hanya karena suara lantang Bian yang membuatnya kaget, tapi tuduhan yang dilontarkan sang suami yang membuatnya menatap sang lelaki tak percaya." Em ... Ma-maaf Pak Bian. Ini salah paham, " sahut Fattan mencoba menengahi, dia tak ingin dituduh sebagai perusak rumah tangga orang." Dan kamu?! Ternyata kamu juga pengkhianat! Aku datang kemari untuk kembali menjemput istriku! Dan apa yang kalian lakukan? " Bian semakin membabi buta. Dia bahkan tak menghiraukan para tetangga Fattan yang berhamburan dari rumah mas
"Kamu dimana, Mas?" Suara Marissa terdengar diseberang sana."Bukan urusanmu! Untuk apa menelpon?" sahut Bian datar.Marissa terdengar berdecak."Ck, Chika dari tadi nangis karena kamu tinggal di mall! Aku bawa dia ke rumah, tapi kosong. Sekarang aku lagi di rumah Mama. Tapi kata Mama kamu juga nggak kesini, terus sekarang kamu lagi dimana?"Bian kaget mendengarnya. Apa dia tidak salah dengar? Marissa ke rumah Mamanya? Bahkan selama berumah tangga dengan Bian dulu saja perempuan itu tak pernah mau jika diajak kesana. Ada gerangan apa yang membuat dia tiba-tiba terpikir mencari Bian kesana? Segala tanya bergelayut dalam pikirannya."Bilang sama Chika. Aku lagi di kampung. Jemput Evelyn," sahut Bian. "Apa? Kamu nyusul perempuan itu, Mas?" Bian sampai menjauhkan ponsel dari telinganya sebab suara Marissa yang begitu mengganggu indra pendengarannya."Hm," Bian hanya bergumam. Namun, tak lama suara sang Mama terdengar menggantikan."Kamu pulang sekarang, Bi. Mama mau bicara," Bian mengern
Bian langsung menoleh pada Marissa begitu mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Mamanya, perempuan itu melempar senyum, Bian langsung bisa tau jika dia yang memberi tahu Bu Maya."I-iya, Ma. Tapi ... Bian akan kembali rujuk dengan Evelyn, kok, Ma. Bian minta maaf," sahut Bian. Hati Marissa memanas mendengarnya, hal yang paling dia benci saat ini adalah Evelyn."Rujuk?" tanya Bu Maya, dalam hati dia tak ingin Bian dan Evelyn bercerai, bagaimana pun juga Evelyn ada menantu idaman, sangat berbeda jauh dengan Marissa yang memiliki sifat egois, dan suka bersikap semaunya.Bian mengangguk cepat, dia mencoba meyakinkan sang Mama. Wanita itu langsung menoleh pada Marissa yang tersenyum, padahal dalam hati dia sudah mengutuk Bian."Kalau kamu rujuk dengan Evelyn, bagaimana dengan Marissa dan juga Chika?" Bian kaget mendengar pertanyaan tak biasa dari sang Mama."Maksud Mama? Memangnya kenapa mereka?" tanya Bian, dia heran dengan sikap Mamanya hari ini."Bukannya kamu akan kembali denga
"Maksud Ibu ... Karina?" tanya Fattan ragu-ragu."Ah, iya! Karina namanya. Ibu suka banget sama dia, lemah lembut, manis, ramah, duh ... Pokoknya idaman lah. Hampir sama dengan Evelyn juga, kan?" Fattan meneguk ludah, kemudian mengangguk."Tapi jangan main jodohin aja, Bu. Mungkin ... Dia juga sudah punya calon," sahut Fattan."Terserah kamu lah. Kalo kamu juga nggak nikah-nikah atau bawa calon kedepan Ibu, kamu harus bersedia Ibu jodohin. Entah itu dengan anaknya Bu Dena, atau yang lain!" ucap Bu Dewi seraya bangkit dan berlalu dari sana.Fattan hanya bisa menghembuskan nafas kasar, setelah yakin Ibunya menjauh dari kamar, dia kembali mengeluarkan foto yang tadi disimpannya."Hhh ... Apa kamu juga akan mengecewakanku?" Lirih Fattan sambil memandang foto gadis di genggamannya.---------Bian merebahkan badannya di kasur, dia menatap plafon kamar dengan pandangan kosong. Pikirannya bercabang, dia memikirkan bagaimana caranya agar Evelyn bersedia rujuk dengannya. Dia berjanji pada dirin
Wanita bertubuh gempal itu langsung gelagapan begitu tau siapa yang datang, dia yang tadi nampak garang langsung menciut begitu saja. Cepat-cepat dia menyelesaikan belanjaannya dan segera berlalu dari sana, setelah mengatakan pada pemilik warung akan membayarnya esok hari. Dia berlalu dari sana dengan langkah lebar dan wajah yang menunduk, apalagi saat melewati Bu Dewi."Huu ... Kebiasaan! Ujung-ujungnya ngutang juga!" sorak pemilik warung, karena kesal dengan wanita tadi.Semua yang ada disana terkekeh begitu pun dengan Evelyn dan Karina."Nak Evelyn yang sabar, ya? Manusia yang suka fitnah itu memang kebanyakan karena iri. Biarin aja orang-orang mau ngomong apa, nanti kena azab baru tau rasa!" sindir Bu Dewi sambil melirik sekumpulan ibu-ibu yang tadi ikut bergosip. Mereka buru-buru membubarkan diri, bahkan ada yang tak jadi belanja, saking malunya.Evelyn dan Karina sama-sama membekap mulut menahan tawa, apalagi saat melihat rombongan penggosip itu membubarkan diri dan lari kocar-k
"Ma-mama?" Evelyn berucap lirih seakan tak percaya, bahwa yang didepannya saat ini adalah Ibunya Bian.Bu Maya ingin sekali langsung membawa Evelyn dalam pelukannya. Dia tau, menantunya itu sedang tidak baik-baik saja. Namun mengingat saat itu dia bersama Marissa, maka mau tak mau dia harus bisa menahan diri."Ehem! Mau sampai kapan kita berdiri begini? Kamu nggak mau nyuruh aku dan Mama masuk?" sindir Marissa. Evelyn langsung tersadar, ada yang berdenyut didalam sana, entah kenapa dia berpikir seharusnya dia yang berada diposisi Marissa saat ini. Sedikit ada iri di hati Evelyn, apalagi dia tak mendapati sikap hangat dari Bu Maya seperti biasanya."Ahm, maaf. Ma-masuk, Ma!" ucap Evelyn tergagap. Dia menyingkir dari pintu dan mempersilahkan Bu Maya dan Marissa masuk. Ada banyak tanya dibenak Evelyn sebenarnya, ada apa Bu Maya mengunjunginya? Apa dia sudah tau bahwa Evelyn dan Bian bercerai? Dan kenapa dia harus datang bersama Marissa? Bukankah selama ini hubungan keduanya tak pernah me