Wanita bertubuh gempal itu langsung gelagapan begitu tau siapa yang datang, dia yang tadi nampak garang langsung menciut begitu saja. Cepat-cepat dia menyelesaikan belanjaannya dan segera berlalu dari sana, setelah mengatakan pada pemilik warung akan membayarnya esok hari. Dia berlalu dari sana dengan langkah lebar dan wajah yang menunduk, apalagi saat melewati Bu Dewi."Huu ... Kebiasaan! Ujung-ujungnya ngutang juga!" sorak pemilik warung, karena kesal dengan wanita tadi.Semua yang ada disana terkekeh begitu pun dengan Evelyn dan Karina."Nak Evelyn yang sabar, ya? Manusia yang suka fitnah itu memang kebanyakan karena iri. Biarin aja orang-orang mau ngomong apa, nanti kena azab baru tau rasa!" sindir Bu Dewi sambil melirik sekumpulan ibu-ibu yang tadi ikut bergosip. Mereka buru-buru membubarkan diri, bahkan ada yang tak jadi belanja, saking malunya.Evelyn dan Karina sama-sama membekap mulut menahan tawa, apalagi saat melihat rombongan penggosip itu membubarkan diri dan lari kocar-k
"Ma-mama?" Evelyn berucap lirih seakan tak percaya, bahwa yang didepannya saat ini adalah Ibunya Bian.Bu Maya ingin sekali langsung membawa Evelyn dalam pelukannya. Dia tau, menantunya itu sedang tidak baik-baik saja. Namun mengingat saat itu dia bersama Marissa, maka mau tak mau dia harus bisa menahan diri."Ehem! Mau sampai kapan kita berdiri begini? Kamu nggak mau nyuruh aku dan Mama masuk?" sindir Marissa. Evelyn langsung tersadar, ada yang berdenyut didalam sana, entah kenapa dia berpikir seharusnya dia yang berada diposisi Marissa saat ini. Sedikit ada iri di hati Evelyn, apalagi dia tak mendapati sikap hangat dari Bu Maya seperti biasanya."Ahm, maaf. Ma-masuk, Ma!" ucap Evelyn tergagap. Dia menyingkir dari pintu dan mempersilahkan Bu Maya dan Marissa masuk. Ada banyak tanya dibenak Evelyn sebenarnya, ada apa Bu Maya mengunjunginya? Apa dia sudah tau bahwa Evelyn dan Bian bercerai? Dan kenapa dia harus datang bersama Marissa? Bukankah selama ini hubungan keduanya tak pernah me
"Ayo kita balik, Rissa!" ajak Bu Dena kemudian langsung berbalik. "Saya tidak menyangka Bu Maya akan setega itu berbicara pada Evelyn," ucap Bu Dena begitu mertua Evelyn melangkah keluar.Bu Maya berhenti sejenak, dia memejamkan mata menahan sesak yang mendera. Dia memang sudah keterlaluan, tapi dirinya terlalu gengsi untuk mengakui."Memangnya Ibu pikir Evelyn mau tidak hamil? Perempuan mana yang menolak dititipkan zuriat di rahimnya, Bu? Tapi, seharusnya Ibu paham, hanya Allah yang bisa memberikan! Jika Allah belum mempercayakan Evelyn hamil, lantas Ibu bisa seenaknya mencela seperti itu?" sambung Bu Dena. Dia mengucapkan kalimat itu dengan hati yang pedih, dia ikut merasakan apa yang dirasakan Evelyn saat ini. Terlebih lagi yang mencela adalah orang yang selama ini selalu dia hormati.Bu Maya menahan gemuruh di dadanya. Dia ingin sekali berbalik dan mengatakan jika ini bukan maunya dia, tapi lidahnya seakan kelu, suaranya berhenti di tenggorokan."Eh, Buk! Jangan ikut campur, ini
"Apa maksudmu, Rin? Siapa yang menyakiti Evelyn?" tanya Bian penuh kebingungan."Tanya pada Mama dan mantan istrimu! Perkataan apa yang sudah meluncur dari mulut mereka!" sahut Karina sinis. Bian memukul angin demi melampiaskan kekesalannya. Dia masih belum paham dengan ucapan Karina."Apa susahnya kamu jelaskan sekarang? Atau begini saja, katakan pada Evelyn aku sudah datang, semalam kamu sudah janjian." pinta Bian."Evelyn nggak mau ketemu kamu, Bi! Mending kamu balik ...""Karin! Kenapa malah mengusir Bian? Dia tidak tau apa-apa mengenai masalah tadi pagi. Biarkan dia masuk, kamu kasih tau Evelyn saja. Siapa tau dia sudah sedikit tenang," ucapan Karina dipotong Bu Dena begitu saja. Anak gadisnya itu mendelik kemudian menatap sinis Bian yang masih berdiri diambang pintu.Karina berlalu begitu saja, sedang Bian dipinta oleh Bu Dena untuk menunggu didalam saja."Bu? Boleh ceritakan ada masalah apa tadi pagi?" kata Bian saat mereka sudah duduk diruang tamu."Tadi pagi Bu Maya dan mant
"Aku pikirkan dulu. Beri waktu untukku berpikir. Aku tidak ingin salah langkah, karena bagiku pernikahan bukanlah untuk mainan, yang jika bosan bisa bercerai. Apalagi kamu pernah berniat untuk menikahi mantan istrimu kembali, aku tidak siap jika suatu saat kembali jatuh," kata Evelyn memandang lurus kedepan, bukan kearah Bian.Hati Bian teriris mendengar jawaban Evelyn, dia melihat begitu banyak luka yang dirasakan wanitanya itu. Bahkan Evelyn enggan menatapnya seperti dulu-dulu."Baiklah. Mas beri kamu waktu, mas berharap kita bisa kembali bersama. Menjalani pernikahan yang lebih baik. Semoga berpisahnya kita kali ini, membuat kita saling introspeksi diri," Bian mengangguk mantap."Kalau begitu aku ke kamar dulu," ucap Evelyn bergegas bangkit.Bian hendak menahan, dia ingin lebih lama dengan Evelyn. Tapi, sepertinya perempuan itu butuh waktu untuk menenangkan diri. Bian hanya bisa pasrah, dan membiarkan wanita tercintanya itu pergi.[Mas balik dulu, Lyn. Kamu jaga kesehatan dan janga
Bu Maya yang hendak ke kamar terpaku begitu mendengar suara tegas sang suami. Diliriknya suami yang memasang wajah datar, begitu pun dengan Bian, anak satu-satunya itu."A-ada apa ini? Mama mau ke kamar, Pa. Mau istirahat," elak Bu Maya. Pak Hendra kembali menatapnya dengan tajam. Bu Maya tertunduk tak berani mengangkat wajahnya sedikit pun."Duduk!" titah pak Hendra datar. Mau tak mau Bu Maya menuruti perkataan sang suami. Dia duduk disamping pak Hendra dan berhadapan dengan Bian.Dia tak berani bertanya ada apa, lebih memilih menunggu suami atau anaknya yang memulai bicara."Mama tau apa alasan papa meminta Mama duduk disini?" tanya pak Hendra. Bu Maya hanya menggeleng pelan."Apa Mama benar-benar tidak mau mengakui kesalahan yang sudah Mama perbuat?" tanya pak Hendra lagi, Bu Maya diam saja, enggan menjawab. Sedang Bian hanya diam memperhatikan komunikasi kedua orang tuannya."Sejak kapan Mama suka mencampuri urusan orang lain?" tanya pak Hendra tak sabar. Sebab sejak tadi hanya me
Pagi ini udara terasa begitu sejuk, sudah dua hari setelah kedatangan Bian kemari, lelaki itu tak pernah mampir lagi, beralasan jika dia sedang sibuk mengurus kafe barunya dengan Fattan. Tapi selama dua hari itu juga, Bian tak henti menghubungi Evelyn melalui pesan WhatsApp. Hati Evelyn sudah sedikit membaik, meski hingga hari ini dia belum juga memberi jawaban tentang ajakan rujuk dari Bian.Pagi ini, Evelyn keluar dengan mengenakan sweater, karena memang udara begitu sejuk hingga menusuk ke tulang, semalam hujan turun begitu derasnya membasahi perkampungan yang masih begitu asri ini. Baru saja perempuan itu membuka pintu kamar, aroma kopi menyeruak menyambut paginya.Ternyata Karina baru saja dari dapur, gadis itu membawa dua gelas kopi hitam yang masih mengepulkan asap."Ngopi, yuk!" ajak Karina begitu melihat Evelyn keluar. Perempuan itu mengangguk, dan mengikuti langkah Karina yang membawanya ke teras."Tumben-tumbenan kamu ngopi?" tanya Evelyn saat mereka sudah duduk di kursi.
Bu Maya menghela nafas saat mobil yang dia tumpangi berhenti dihalaman rumah Evelyn-menantunya. Setelah mewanti-wanti agar sang supir menunggu sebentar, dia segera turun untuk menemui Evelyn.Pintu rumah Evelyn tampak terbuka, langkah Bu Maya terhenti di teras rumah, kemudian dia mengucap salam cukup keras dan menunggu begitu mendengar ada yang menyahut dari dalam."Bu Maya?" sapa Bu Dena terkejut.Wanita itu cukup kaget dengan kedatangan Bu Maya hari ini, pasalnya dua hari yang lalu dia juga datang dan berhasil menekan Evelyn. Bu Dena melongok keluar, dan menyipit kala melihat sebuah mobil terparkir disana, dia penasaran siapa yang menemani Bu Maya, apa mungkin ... Marissa?"Saya datang sendiri," kata Bu Maya yang paham dengan kebingungan Bu Dena."Oh, iya. Silahkan masuk, Bu," ajak Bu Dena yang menggeser posisi agar Bu Maya bisa masuk.Wanita itu hanya mengangguk, dia mengedarkan pandangan ke seluruh rumah yang tampak sepi."Mau ketemu Evelyn, ya, Bu?" tanya Bu Dena, kemudian wanit