FLASHBACK"Ma, anakmu itu nggak punya duit! Jangan sok-sokan ngatur aku segala! Seharusnya kalian semua sadar diri. Meski pun disini statusnya aku numpang, tapi uang belanja lebih besar dari aku! Bisa dibilang yang ngasih makan kalian itu aku! Paham?!" hardik Marissa.Saat itu dia baru saja sampai di rumah jam 10 malam. Dan itu sudah jadi kebiasaan Marissa, dia selalu pulang malam meski jam kerjanya sudah berakhir di jam 4 sore. Saat ditanya, dia selalu beralasan ingin menghibur diri setelah seharian penat membantu mencari uang.Seperti saat ini, dia justru marah saat Bu Maya mencoba menasehatinya. Hinaan demi hinaan terlontar begitu saja—seperti biasanya."Bukannya ingin mengatur, Ris. Ibu hanya bilang, kurangi waktu mainmu. Lebih baik setelah pulang kerja langsung ke rumah. Kasihan Chika, dia juga butuh kamu untuk menemaninya main," sahut Bu Maya tetap lembut. Dia tak ingin membangunkan semua orang karena perdebatannya dengan Marissa."Halah! Bilang aja mama udah nggak mau bantu ngu
"Lyn, kamu beneran nggak apa-apa, kan? Apa nggak sebaiknya kamu kasih tau Bian masalah ini? Biar dia tau, Mamanya itu udah jahat banget ke kamu," kata Karina yang langsung dapat cubitan dari Bu Dena."Hushh ... Kamu ini, kebiasaan! Jangan jadi kompor!" Bu Dena memarahi Karina."Ya, maaf, Bu. Karina cuma gemes aja sama mertuanya Evelyn. Ada, ya, sesama wanita kok sukanya menghina gitu!" gerutu Karina."Sudah, nggak boleh ngomong gitu!" kata Bu Dena melirik tajam Karina. Gadis itu hanya bisa menggaruk tengkuk dan pura-pura tak melihat."Lyn, jangan terlalu didengarkan ucapan Karina. Dia emang gitu, kebiasaan. Anak gadis, kok, suka nyinyir," ucap Bu Dena menyindir Karina.Gadis itu malah terkekeh mendengar sindiran sang ibu. Begitu pun dengan Evelyn, dia tersenyum meski terlihat terpaksa."Nggak apa-apa, Bu. Lagian yang dibilang Karina itu memang benar. Jadi Ibu nggak usah ngerasa sungkan sama Evelyn, nggak lama lagi juga Mama bukan mertua Evelyn lagi, kok," sahut Evelyn dengan senyuman
Bian tertegun menatap layar ponselnya, dia kaget setelah membaca isi pesan yang dikirim oleh Evelyn. Lelaki itu terduduk lemah diatas ranjang, awalnya dia begitu sumringah begitu tau ada pesan dari wanita yang begitu dicintainya. Namun, setelah membacanya hati Bian hancur berkeping keping. Tanpa sadar air mata meluncur begitu saja.Dalam heningnya malam, lelaki itu menangis tersedu seorang diri. Dia merasa patah, dia merasa harapan yang selama ini berkembang pupus begitu saja. Apa tak ada kesempatan lagi untuknya? Apa ini hukuman dari sikapnya sendiri? Seenaknya mengucap talak, kemudian mengatakan menyesal dan ingin rujuk. Apa Evelyn tak melihat ketulusan dari dirinya? Apa Evelyn sudah begitu pasti menutup pintu hatinya agar tak bisa Bian kembali?[Maaf, Mas. Dengan berat hati aku katakan, jangan datang lagi kemari. Aku menolak untuk rujuk denganmu, mungkin sudah takdir hubungan kita sampai disini saja. Dan keputusan ini sudah aku pikirkan jauh-jauh hari. Dan yakin dari hati. Terimaka
Bian bergegas turun, setengah berlari dia menuju kediaman Evelyn."Assalamu'alaikum ..." ucapnya tergesa. Dadanya bergemuruh menunggu Evelyn membuka pintu."Assalamu'alaikum ..." Dia kembali mengulang, sebab tak ada sahutan."Wa'alaikum salam, sebentar ..." sahut seseorang dari dalam.Bian menghembuskan nafas lega, dia berjalan mondar mandir menunggu pintu dibuka."Siapa--" Suara Bu Dena terhenti saat melihat sosok yang berdiri didepan pintu.Wajah kuyu Bian membuat Bu Dena langsung paham, masalah apa yang sedang dihadapi anak muda didepannya."Bu, Elyn mana? Tolong kasih tau dia, Bu. Bian mau bicara," pinta Bian memohon."Eh, ahm ... Evelyn ... Dia didalam," sahut Bu Dena."Tolong, Bu. Bian mohon, panggil Evelyn sebentar. Bian hanya ingin mendengar sendiri dari mulut Evelyn. Setelah itu ... Bian janji akan segera pergi," Bu Dena menghembuskan nafas, kemudian mengangguk membuat Bian bisa bernafas lega. Dia duduk di kursi teras dengan gusar, menunggu Bu Dena memanggil Evelyn."Ibu pan
Bian pulang dengan perasaan hampa. Ada yang hilang dari dirinya, meski berusaha ikhlas dengan keputusan Evelyn, nyatanya dia tak begitu kuat.Selama perjalanan, Bian menangisi takdirnya. Lelaki yang jarang sekali menangis itu mendadak cengeng, dia benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa sakit yang menjalari hatinya.Baginya, perpisahan dengan Evelyn lebih menyakitkan dibanding dengan perpisahannya dengan Marissa dulu. Evelyn wanita yang tangguh, dia yang setia menemani saat Bian dalam kondisi terpuruk sekali pun. Bahkan saat dirinya menikahi Evelyn pun, usahanya belum lah sejaya ini. Namun kesetiaan yang ditampakkan Evelyn, mendadak kalah dengan hasutan Marissa. Bian tak langsung pulang, dia berniat mampir terlebih dahulu ke rumah orang tuanya. Ingin bertemu dengan anaknya—Chika.Dia turun dan berjalan tanpa tenaga, energinya terkuras habis. Saat ini dia ingin menenangkan diri meski sekedar bertemu dengan buah hatinya."Assalamu'alaikum ..." ucapnya begitu lemah.Bian masuk begitu s
Pak Hendra sengaja berdehem, membuat Marissa dan Bu Maya terlonjak kaget. Tapi keduanya kembali bisa menguasai diri, Marissa memilih langsung mengajak Chika pulang setelah berpamitan pada kedua mantan mertuanya."Kakek, Nenek. Chika pulang dulu, ya? Minggu depan Chika nginep sini lagi. Boleh, kan, Mi?" katanya. Kemudian beralih menatap Marissa penuh harap.Marissa hanya tersenyum dan mengangguk sekilas."Kalau gitu, kita pamit dulu, Ma, Pa." pamitnya dan langsung menarik tangan Chika menuju mobil.Bu Maya yang masih setia duduk disana menoleh begitu mendengar deheman sang suami."Papa mau bicara, Ma." ucap pak Hendra. Pria itu berlalu masuk kedalam tanpa menghiraukan tatapan tanya dari sang istri.Bu Maya yang penasaran bergegas mengikuti sang suami. Hingga dia berhenti di ruang tengah, dimana saat ini pria yang sudah puluhan tahun menjadi suaminya itu sedang duduk dengan ekspresi yang ... Entah."Ada apa, Pa?" tanya Bu Maya membuka suara lebih dulu.Pak Hendra tampak menghela nafas,
"Begitulah awal kejadiannya, Pa. Mama benar-benar nggak tau harus apa saat itu. Dan nggak tau juga kenapa Mama bisa setuju dengan rencana Marissa, padahal tanpa Mama sadari dia hanya sedang menjebak Mama, dan menjadikan Mama sebagai alat untuk dia bisa memperalat Bian." isak Bu Maya. Wanita itu sungguh menyesali kebodohannya."Hhh ... Kenapa Mama harus mengorbankan anak dan menantu sendiri? Kalau memang dia ingin menuntut kita, biarkan saja! Bahkan Papa rela jika harus menyerahkan rumah ini dari pada harus menukar Evelyn dengannya!" tekan pak Hendra begitu marah."I-iya, Pa. Mama yang bodoh, rela menyakiti menantu yang begitu menyayangi kita karena takut dengan ancaman Marissa." sahut Bu Maya semakin tergugu. Penyesalan tampak begitu nyata di wajahnya. "Sudahlah, Ma. Menyesal pun tak ada gunanya. Sekarang, tinggal kita pikirkan, bagaimana caranya agar Evelyn dan Bian bisa kembali bersatu. Papa nggak tega melihat keadaan Bian saat ini, meski pun ini semua juga sebab kebodohannya. Yang
"Emm ... Kalau Ibu tidak keberatan, saya bermaksud ingin menjodohkan Fattan dengan ... Neng Karina," sahut Bu Dewi.Karina yang sedari tadi menunduk dengan debar di dada, langsung mendongak begitu mendengar ucapan Bu Dewi. Ekspresi terkejut sangat kentara sekali di wajahnya.Karina menoleh pada Evelyn, ternyata sahabatnya itu sedari tadi sedang mengulum senyum. Jujur saja, Karina sangat terkejut, karena dari awal dia pikir Bu Dewi akan menjodohkan Fattan dengan Evelyn, apalagi mungkin beliau sudah tau keadaan yang menimpa rumah tangga Evelyn."Ta-tapi, Bu ..." Karina menyahut ragu. Dia melirik sang ibu."Kenapa, Nak? Apa kamu tidak setuju dengan rencana Ibu ini? Kamu keberatan?" cecar Bu Dewi.Semua mengalihkan pandangan pada Karina, menunggu jawaban gadis manis itu."Em ... Bukan gitu, Bu. Tapi ... Takutnya Fattan nggak suka. Apalagi mungkin dia masih ada rasa dengan ..." Karina tak melanjutkan ucapannya. Tapi matanya melirik Evelyn sesaat.Bu Dewi terkekeh, seakan paham apa yang dim