Bab 48"Cahya, Kakak nggak suka sama kelakuan si Astina. Masa' Kakak lagi nelpon dia langsung nyelonong masuk ke kamar, terus nyambar ponsel kakak lagi. Keterlaluan itu anak," ujar Kak Anisa kesal setelah Astina dan Yanti pulang."Dia itu cemburu, Kakak semalam dekat sama Abbas."Kening Kak Anisa berlipat, "terus apa hubungannya dengan dia? Apa mereka pacaran?" Aku terkekeh melihat perubahan di wajah Kak Anisa. Dia pasti penasaran."Astina doang yang ngebet ke Abas, tapi pria itu nggak mau. Kesannya dia malah menyukai istri orang," sindirku membuat Kak Anisa menarik dan muncubit lenganku."Apaan sih kamu ini, ngaco aja kalau ngomong," sahutnya pura-pura marah."Pipi kakak 'tuh nggak bisa bohong, merah terus kalau deket-deket sama si Abas. Dia juga sama, kayak cacing kepanasan," sungutku menggoda."Masa' sih?""Heem."Tanpa sadar Kak Anisa langsung menyentuh pipinya yang memerah. Aku menggeleng
Bab 49"Baguslah kalau dia mau datang, meski Ayah ragu dengan keberaniannya bertandang ke rumah ini," kata Ayah setelah aku memberitahukan tentang Kak Bisma yang katanya akan benar-benar datang untuk meminta maaf."Iya, Yah. Kami sempat berdebat sedikit tadi, katanya dia malah ingin berdamai saja," balasku sampai mendorong kursi roda Ayah ke ruang makan."Gampang banget dia ngomong damai. Ayah tetap tidak setuju. Setahun ini mana tanggung jawabnya pada kakakmu. Tidak ada. Apalagi mentang-mentang Ayah sakit dia lantas seenaknya menggantung pernikahannya dengan Anisa. Memangnya dia kira Anisa benda mati yang tidak memiliki harga diri apa," kata Ayah. Nada suaranya terdengar kesal di telinga. Kebetulan kak Anisa sendiri tengah mandi di kamarnya setelah membantu membersihkan Ayah tadi. Dan kini giliranku menyiapkan makanan untuknya."Sudahlah, aku dan Kak Anisa sudah sepakat untuk menghadirkan Pak Bas juga. Kalau Kak Bisma macam-macam,
Bab 50"Anisa, tolong beri aku kesempatan sekali lagi. Please," ucapnya lirih."Maaf, Mas. Keputusanku sudah bulat. Ceraikan aku sekarang juga, mumpung masih ada ayah dan para saksi di sini." Ucapan Kak Anisa membuatku dan yang lainnya lega. Ternyata keinginan Kakakku juga kuat untuk mengakhiri biduk rumah tangganya."Nggak, Anisa. Aku nggak mau!""Sudahlah, Mas. Untuk apa kita meneruskan pernikahan yang tidak sehat ini. Aku hanya manusia biasa yang masih membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari suaminya. Dan semua itu tidak kudapatkan lagi darimu.""Tapi ....!""Jangan membuat janji dan jangan memohon jika kamu tidak bisa menunaikannya dengan baik, Mas. Relakan aku dan 'ku anggap semuanya selesai tanpa ada dendam ataupun sakit hati padamu."Bisma menunduk. Ucapan telak Kak Anisa membuatnya kehilangan kata-kata. Entah pura-pura atau benar-benar takut kehilangan, tapi yang jelas fokus kami tertuju ke arah pin
Bab 51"Yang mana?"Aku terkejut bukan main. Lekas kuletakkan sandwich yang baru kugigit separuh. Tatapanku tertuju ke arah pandang Anjas sekarang."Yang itu, yang pakai kemeja biru langit. Kayaknya aku pernah melihatnya, tapi di mana, ya?!" Anjas tampak mengingat- ingat sambil menekan- nekan dagunya. Sandwich itu baru satu gigitan dimakan olehnya.Aku kembali memundurkan tubuh ke belakang sambil bersandar. Orang yang dimaksud Anjas bukan salah satu pria yang mengikuti ke kantor polisi."Eh, Bu Cahya sendiri kenal nggak sama orang itu?" Aku menggeleng."Sepertinya beda divisi," jawabku.Anjas mengangguk lemah. Satu jam kemudian, semua orang sudah masuk kantor. Aku berjalan ke dalam sendirian untuk bertemu dengan Pak Agung, mengurus tunjangan yang akan diberikan oleh perusahaan. Sengaja aku datang ke tempat ini mengajak Anjas, dan menolak staf kantor yang akan datang ke rumah. Tapi sepertinya aku
Selama ini kehidupanku dan suami berjalan baik-baik saja. Kami hidup bahagia bahkan sudah memiliki sepasang putra-putri yang lucu saat ini. Hingga sesuatu yang mengusik pikiran. membuatku seketika merasa gelisah.Yanti—sahabatku, mengirim beberapa foto ke ponselku."Kau lihat pengantin yang ada di rumah mertuamu? Siapa yang menikah? Apakah salah satu dari kerabat suamimu, atau barangkali adiknya? Bukankah dua adik Frans sudah menikah dan mempunyai anak, ya? Lagian, kenapa kau tidak turut hadir sebagai menantu pertama?"Pertanyaan kepo yang ditulis oleh Yanti melalui pesan singkat, membuatku sejenak tertegun mencerna kata-katanya.Aku tak mau diam saja dan harus membuktikannya sendiri."Mbak, titip anak-anak sebentar, ya," ujarku pada asisten rumah tangga sambil meraih dompet dan kunci mobil."Tapi Ibu 'kan tidak boleh pergi ke mana-mana. Nanti Pak Frans marah sama saya," kata wanita itu dengan pandangan khawatir. Tentu saja demikian. Wanita itu sudah diwanti-wanti oleh suamiku agar a
"Dia sudah sadar, Mama pulang dulu." Suara ibu mertua yang bicara pada anaknya terdengar di telinga."Cahya, kau sudah siuman, syukurlah." Kata- kata tidak penting keluar dari bibir suamiku ketika mataku mengerjap karena silau oleh cahaya lampu di atasku.Aku tak sudi bicara dengannya, dengan pria yang sudah membuat hatiku nyeri.Tapi, dimana aku? Kenapa rasanya nyeri sekali. Berbagai macam pertanyaan memenuhi pikiranku saat ini. Aku mencoba bergerak tapi kesulitan. Lalu menatap pergelangan tangan yang terpasang jarum infus. Pantas saja rasanya sekujur tubuhku terasa kebas. Bagian bawah perut bahkan seperti ditusuk-tusuk. Oh ya Tuhan, bagaimana dengan keadaan anakku?Tanpa sadar aku menyentuh perut bagian bawah diiringi isakan. Perutku sudah tak membulat lagi. Kosong dan hanya menyisakan rasa nyeri.Anakku … apa yang telah kulakukan? Bayangan pernikahan suamiku dan wanita itu menari di kepala. Lalu wanita yang tak sengaja kutabrak di jalan. Bagaimana keadaannya sekarang? Iya, baru
Bab 3Setelah kepergian Yanti, aku merenung dan mencerna kata-katanya. Gadis itu benar. Aku tidak boleh diam saja dan harus melakukan rencana sesuai dengan sarannya.Jika aku tidak mampu mempertahankan suamiku dengan memilikiku seorang, maka aku tidak ikhlas jika apa yang kami dapatkan selama ini harus dibagi dua dengan wanita itu. Setidaknya aku harus memikirkan ketiga anakku, yang kedepannya mungkin tidak akan mendapatkan kasih sayang penuh dari ayahnya.Jam kantor sudah berlalu tiga jam yang lalu, tapi Mas Frans sama sekali belum datang ke rumah sakit. Iseng kuhubungi nomor asisten di rumah yang biasa menjaga anak-anak."Mama, kami kangen ….!" Suara bersahutan dari Devan dan Devia manggema lewat sambungan video call. "Halo sayangnya mama, Mama juga kangen kalian ….!" Rasanya hatiku nyari melihat mata bening mereka yang tanpa dosa. Tapi sebisa mungkin kututupi kesedihan itu. Aku tidak boleh kelihatan sedih atau mereka akan ikut sedih juga."Mama, katanya masuk rumah sakit untu
Bab 4Segera cari tahu gadis yang bersama bernama Sintia. Dia adalah istri baru suamiku. Kukirim pesan kepada Arfan. Pria itu adalah sahabatku. Selain ahli IT, Arfan juga ahli peretas yang kerap bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk mengungkap sebuah kasus.Tak lupa kukirimkan beberapa foto yang kudapatkan dari Yanti. Lihatlah setelah ini Sintia. Aku ingin melihat seperti apa rupamu yang sebenarnya, sehingga kau mau-maunya menikahi pria yang sudah beristri dan beranak tiga.Tak lama masuk balasan dari Arfan.Ok, laksanakan. Eh btw, akhirnya diduakan juga kamu, pesannya diikuti oleh emot menutup mulut. Si al. Arfan mengerjaiku.Aku mulai memejamkan mata seiring dengan Mas Frans yang masih asyik memainkan ponselnya. Bahkan setelah aku berdehem berkali-kali, pria itu masih tidak mengindahkan keberadaanku. Ternyata sedalam itu pesona Sintia mengalihkan dunia suamiku.Keesokan paginya, Mas Frans menghubungi seorang pengacara sekaligus notaris dan memintanya langsung datang ke rumah