Share

Bab 2

"Dia sudah sadar, Mama pulang dulu." Suara ibu mertua yang bicara pada anaknya terdengar di telinga.

"Cahya, kau sudah siuman, syukurlah." 

Kata- kata tidak penting keluar dari bibir suamiku ketika mataku mengerjap karena silau oleh cahaya lampu di atasku.

Aku tak sudi bicara dengannya, dengan pria yang sudah membuat hatiku nyeri.

Tapi, dimana aku? Kenapa rasanya nyeri sekali. Berbagai macam pertanyaan memenuhi pikiranku saat ini. 

Aku mencoba bergerak tapi kesulitan. Lalu menatap pergelangan tangan yang terpasang jarum infus. Pantas saja rasanya sekujur tubuhku terasa kebas. Bagian bawah perut bahkan seperti ditusuk-tusuk. Oh ya Tuhan, bagaimana dengan keadaan anakku?

Tanpa sadar aku menyentuh perut bagian bawah diiringi isakan. Perutku sudah tak membulat lagi. Kosong dan hanya menyisakan rasa nyeri.

Anakku … apa yang telah kulakukan?

 Bayangan pernikahan suamiku dan wanita itu menari di kepala. Lalu wanita yang tak sengaja kutabrak di jalan. Bagaimana keadaannya sekarang?

 Iya, baru kuingat semuanya sekarang. Mas Frans yang menyebabkan semua ini terjadi. 

"Minumlah, Sayang!"

Prang!! 

Gelas yang disodorkan kutepis kasar, lalu suara pecahan beling menggema di seluruh ruangan. Tangisku kembali jatuh. Aku meringkuk merasakan nyeri lahir batin. Masih tak percaya rasanya tiba-tiba saja aku diduakan. Tega sekali dia. Disaat aku tengah berjuang untuk menghadirkan putranya dengan mulus dan selamat, dia malah menikah lagi tanpa seizinku.

Mas Frans mendekat sambil mendesah berat.

"Cahya, tolong tenangkan hati dan pikiranmu. Jangan terus-terusan mengikuti emosi, bisa nggak sih?" ujarnya tanpa tahu sakitnya dalam dadaku.

"Bagaimana kau tega melakukan hal ini padaku, hah?! Katakan!"

 Disaat kami berjuang untuk mendapatkan bayi ketiga, tega-teganya dia menikah lagi. Dasar pria tak punya hati, semudah itu dia menduakan cintaku.

"Aku tahu aku salah, harusnya aku meminta izin padamu lebih dulu. Aku khilaf, tolong maafkan aku!"

"Khilaf katamu? Apa saja yang sudah kalian lakukan hingga kau nekat menikahinya?!" bentakku kasar tak peduli jika ada orang lain mendengar pertengkaran kami. 

"Tidak pernah. Sumpah! Aku bahkan belum menyentuhnya sama sekali. Aku hanya …."

"Hanya apa, Mas? Hanya karena tak bisa menahan syahwat lantas kau tega menduakan aku, istri yang tengah berjuang mengandung anakmu. Iya?!"

"Cukup, Cahya. Bisakah kau bertingkah layaknya orang dewasa? Bisakah kau mengerti kebutuhanku juga?! Tidak. Kau hanya merasa tersakiti dan terus-terusan memancarkan emosimu. Tanpa pernah kau tahu, aku pria normal dan aku butuh seseorang untuk meluapkan hasratku. Dan semua itu tidak aku dapatkan darimu. Lebih dari enam bulan aku bersabar, dan rasanya aku tidak kuat lagi. Aku berat dan tak bisa lagi bertahan. Aku merasa tersiksa. Kau puas sekarang?!" ujar Mas Frans berapi-api.

Dia mondar mandir dengan gelisah. Berkali-kali dia menyugar rambutnya kasar. Tapi aku tak bersimpati sedikitpun. Dasar pria egois.

"Kau egois, Mas. Kau pikir hanya kamu saja yang berat. Lalu bagaimana aku yang menghadapi semuanya. Berbulan-bulan aku hanya terlentang di atas tempat tidur. Apa kau pikir aku tidak tersiksa?!"

"Itulah makanya, tolong berhenti egois dan terima kenyataan. Ada Sintia sekarang. Dia istriku dan dia tanggung jawabku juga. Lagian pria boleh memiliki beberapa istri," ujarnya dengan nada lemah.

"Aku tak ridha kamu mendua, Mas. Ceraikan saja aku. Aku nggak mau dimadu!!" teriakku dengan tangisan. 

 Biar saja, biarkan semuanya berakhir di sini. Bukan aku menolak syariat, tapi aku tidak mau dimadu dan aku tidak sudi berbagi suami. Tidak sampai kapanpun. 

"Aku tak akan menyentuh dia kalau kau tidak ridha. Sintia juga tak mau tidur denganku kalau kau tak rela berbagi. Tapi apa kau tak takut suamimu ini berdosa karena tidak menjalankan kewajibannya!"

Mas Frans menatapku serius. Dia mencoba meraih wajahku untuk menatap manik mata dan mengerti kebutuhannya. Ck!

"Apa kau yakin dia sebaik itu?!"

Aku mencebik, lalu membuang muka. Masih kuingat jelas Sintia yang mengangkat dagunya angkuh. Mana mungkin dia sebaik itu hingga mau-maunya menikahi pria beristri. Alasan.

  Kutatap jendela yang terbuka dengan semilir angin yang masuk. Rasanya terpaan angin di wajahku membuat pikiranku semakin kalut. 

"Apa maksudmu? Sintia hanya ingin menolongku dari apa yang tidak kudapatkan darimu, Cahya. Mengertilah dan jangan berprasangka buruk." Mas Frans menekankan setiap kata-katanya.

"Baiklah kalau begitu, aku tak mengizinkanmu pergi padanya sebelum aku benar-benar ridha."

Mas Frans pias. Dia terpaku dan mundur satu langkah. Tentu saja dia kecewa atas keputusanku. Bukannya dia menikahi wanita itu karena butuh penyaluran hasrat. Lalu jika hal itu tidak dia dapatkan, untuk apa dia menikah lagi.

Obrolan kami terhenti ketika dokter dan perawat masuk ke ruangan ini. 

"Kami periksa dulu keadaannya, ya, Bu."

"Dokter, anak saya …." Oh tidak. Rasanya untuk sekedar mengetahui keadaannya saja aku tidak mampu. Hatiku kembali teriris-iris. Putraku kemungkinan telah tiada.

"Bayi Anda lahir prematur karena lahir lebih awal. Sekarang dia masih di dalam inkubator. Setelah agak kuat, biar nanti perawat mengajak Anda menjenguknya." 

Kata-kata dokter kucerna dengan baik. Aku bersyukur yang tak henti-hentinya. Setelah kejadian yang kualami ternyata jagoan kecilku mampu bertahan. 

Syukurlah.

Aku kembali memejamkan mata setelah kuminta dokter untuk menyuntikkan obat tidur. Malas rasanya harus berdebat dengan Mas Frans. Aku juga butuh istirahat dengan tenang untuk menstabilkan otakku agar tetap waras. Selain ada sepasang putra-putri yang menunggu di rumah, kini putra kecilku yang terpaksa hadir lebih awal membutuhkanku juga.

Setelah ini dan kedepannya entah apalagi yang akan aku hadapi. Tapi yang jelas, aku butuh kekuatan dan ketegaran untuk menghadapi semuanya.

***

Dengan bantuan perawat aku membersihkan diri di kamar mandi. Setelah selesai aku kembali ke tempat tidur. Rasanya badanku sedikit membaik dan segar setelah berganti pakaian dan membersihkan diri. 

Mas Frans izin pamit ke kantor tadi pagi. Entah benar atau tidak, aku tak tahu. Yang jelas kehadirannya membuat dadaku sesak. Bayangan pernikahannya dengan wanita itu masih belum bisa kulupakan semudah itu.

 Untung saja aku tidak stress apalagi baby blues. Amit-amit. Akan seperti apa hidupku dan ketiga anakku nanti, jika ibunya gila setelah dihadapkan dengan suamiku yang mendua. Sintia juga pasti akan tertawa diatas tangisanku.

Yanti datang agak sore. Wanita yang masih belum menikah diusianya yang menginjak 28 tahun itu langsung menghambur. Dia membawaku ke dalam pelukannya.

Dalam dekapan Yanti tangisku kembali pecah. Hanya gadis itu saja tempatku berbagi keluh kesah dan kebahagiaan. Yanti, selalu punya cara menghiburku dikala aku sedih atau lelah setelah mengurus anak-anak. 

"Dengarkan aku, Cahya. Kamu aku harus kuat demi ketiga buah hatimu. Jangan cengeng apalagi terpuruk dalam rasa sakit. Lihat mereka, tatap mata anak-anakmu,  mereka membutuhkanmu. Bukan berarti dengan menikahnya Frans, lantas duniamu berakhir, tidak."

Kutatap gadis itu dengan mata berkaca-kaca.

"Apa yang harus kulakukan sekarang, Yan? Aku merasa kehilangan gairah hidup. Dan anak-anak … ah, entah akan seperti apa setelah mereka tahu ayahnya memiliki dua istri."

"Hei, kau lupa kalau ada aku yang selalu menemanimu? Yang harus kau lakukan sekarang adalah kuatkan dirimu. Pulihkan kesehatanmu demi ketiga buah hatimu. Dan yang terpenting … sini, kuberitahu sesuatu padamu." 

Yanti lalu berbisik di telinga, membuatku menatapnya yang mengangguk serius.

"Lakukan hal itu, maka hidup keluargamu aman."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
PiMary
Aku mampit thor.....semoga seru ya cerita nya.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status