Share

Bab 4

Bab 4

Segera cari tahu gadis yang bersama bernama Sintia. Dia adalah istri baru suamiku.

 Kukirim pesan kepada Arfan. Pria itu adalah sahabatku. Selain ahli IT, Arfan juga ahli peretas yang kerap bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk mengungkap sebuah kasus.

Tak lupa kukirimkan beberapa foto yang kudapatkan dari Yanti. 

Lihatlah setelah ini Sintia. Aku ingin melihat seperti apa rupamu yang sebenarnya, sehingga kau mau-maunya menikahi pria yang sudah beristri dan beranak tiga.

Tak lama masuk balasan dari Arfan.

Ok, laksanakan. Eh btw, akhirnya diduakan juga kamu, pesannya diikuti oleh emot menutup mulut. Si al. Arfan mengerjaiku.

Aku mulai memejamkan mata seiring dengan Mas Frans yang masih asyik memainkan ponselnya. Bahkan setelah aku berdehem berkali-kali, pria itu masih tidak mengindahkan keberadaanku. Ternyata sedalam itu pesona Sintia mengalihkan dunia suamiku.

Keesokan paginya, Mas Frans menghubungi seorang pengacara sekaligus notaris dan memintanya langsung datang ke rumah sakit. 

Didampingi oleh dua orang dokter dan seorang perawat, akan menuturkan semua permintaanku yang langsung dikabulkan oleh suami.

"Lakukan apapun permintaan dari Cahya istriku," ujarnya.

"Baik, Pak Frans. Tapi apakah Anda tidak akan berubah pikiran?!" Pria berkumis di depannya memastikan kembali, setelah mencatat poin-poin apa saja yang akan dipindah namakan atas namaku dan anak-anak.

"Aku percaya pada istriku. Lagi pula kekayaan yang kami dapatkan selama ini memang hak anak-anak. Tolong lakukan saja semuanya secepatnya," ujar suamiku dengan penuh keyakinan.

 Aku tersenyum dalam hati. Kuharap dia tidak menyesal dalam beberapa hari kedepan.

"Sayang, semua sudah kulakukan sesuai dengan permintaanmu. Hari ini, boleh 'kan aku pergi ke kantor?" tanya pria itu dengan mulut manisnya. Aku mengangguk dengan malas.

"Mas boleh ke kantor atau ke mana saja, tapi aku tidak mengizinkanmu untuk tidur dengan Sintia sampai pemindahan nama itu dilegalkan atas namaku dan anak-anak. Dan Mas harus janji padaku."

"Tentu saja aku tidak akan menyalahi janji. Tapi untuk sekedar makan siang bersama dengan Sintia kau tidak keberatan, 'kan?" ujarnya ragu-ragu. 

Aku mengangguk pelan.

"Lakukan saja apa maumu, Mas. Tapi jika kau memastikan ingin pergi ke hotel setelahnya, maka maaf aku masih tak rela," ujarku sambil meremas selimut yang menutupi tubuh.

"Tentu saja, Cahya. Aku tidak akan melanggar janjiku. Dan ingat, semua aku lakukan untuk mengharapkan keikhlasan dan keridhoan dari dalam hatimu. Setelah kau menerima semuanya, aku yakin kau akan sadar kalau Sintia adalah adik madu yang baik untukmu," tutur pria itu panjang lebar, seakan dia mengetahui seluk beluk tentang istri barunya itu.

"Pergilah, Mas, sepertinya jam kantor sudah tiba. Aku tidak mau membuang-buang waktumu lebih lama lagi. Bukankah sekarang ada dua istri yang harus kau nafkahi? Aku juga ingin melihat putra kita," pungkasku malas berduaan lebih lama dengannya.

"Baiklah, terserah apapun maumu. Mas sudah menjenguk si kecil tadi malam. Tinggal kamu aja melihatnya."

Mas Frans membawaku ke dalam pelukan, sebelum akhirnya pria itu berlalu dibalik pintu.

 Aku menghembuskan nafasku berkali-kali. Setelah ini, ya, hanya sebentar lagi Mas, sampai akhirnya aku akan melihat rupa dari wanita itu.

"Bu Cahya, apakah Anda sudah siap?"

Seorang suster membawa kursi roda masuk. Aku mengangguk antusias. Tak sabar ingin melihat putra yang kukandung kurang lebih 7 bulan itu.

Ah, bahkan aku lupa memberinya nama.

 Kira-kira nama apa yang pantas kuberikan untuknya. Mengingat sudah Devia dan Devan, sepertinya kali ini kuberi nama Ridho. Tentu saja sebagai simbol keridhaanku atas pernikahan Mas Frans.

Bayi mungil dengan ukuran tubuh tidak lebih besar dari botol Aqua itu, tampak menggeliat dengan matanya yang masih terpejam. Ada alat-alat yang masih menempel di dada dan juga sebuah selang kecil yang masuk ke dalam hidung.

Air mataku menetes sedih, melihat ke dalam inkubator yang cahaya kuning terus menyinari. Andai saja aku tidak emosi dan tidak menjalankan kendaraan dengan membabi buta, mungkin pria tampanku itu masih bersemayam dalam perutku. Beruntung kesalahan itu tidak membuatnya fatal dan terenggut dari hidupku.

Tapi, apa kabar wanita yang tak sengaja aku tabrak itu? 

Penasaran, sebaiknya kutanya langsung pada perawat.

"Suster, wanita yang tertabrak di jalan Riau 3 hari yang lalu, bagaimana keadaannya? Apakah dia dibawa ke rumah sakit ini juga?" tanyaku, kemudian menyebutkan ciri-cirinya.

 Kebetulan meskipun hanya selewat, aku masih mengingatnya. Wanita itu memakai kerudung instan warna krem dengan baju berwarna coklat, senada dengan sandal yang dikenakannya.

"Entahlah, Bu. Banyak sekali pasien yang masuk di UGD akibat tabrak lari. Tapi jika Ibu mau, saya akan memastikannya ke bagian informasi," ujar perawat itu ramah.

"Ya, Sus, tolong ya, karena saya merasa bersalah kepada wanita itu," tuturku menghiba.  

Wanita itu menganggukkan kepala.

 "Tentu saja Bu, akan segera saya lakukan. Kalau begitu, kita kembali ke kamar sekarang, ya," tukas wanita itu sambil mendorong kursi roda yang aku duduki.

***

Pintu diketuk dari luar. Sebelum aku mempersilahkannya, orang itu sudah masuk ke dalam. Tampak ibu mertua dan wanita yang membuat hatiku kebat- kebit setelah mengetahui pernikahannya dengan suamiku mendekat.

"Bagaimana keadaanmu hari ini, Cahya?" tanya Ibu Mertua basa-basi.

Wanita itu meletakkan parcel buah-buahan di atas nakas, di samping tempat tidurku.

"Ibu lebih tahu bagaimana perasaanku, karena Ibu juga pernah mengalaminya balasan tahun yang lalu," jawabku menyindir. Aku sedikit tahu tentang masa lalu ibu mertua yang juga pernah diduakan cintanya dari suamiku.

"Huh, jangan banding-bandingkan hidup Ibu dengan keadaanmu sekarang. Kau jauh lebih baik daripada aku, yang dulu hidup dalam kesusahan membesarkan tiga anak," sahut Ibu Mertua seperti tidak suka aku mengaitkannya dengan masalah takdir yang diterimanya.

"Kenapa memangnya? Walau kita beda generasi dan beda waktu, tapi kita sama-sama memiliki tiga anak saat diduakan oleh suami. Tidakkah Ibu ikut merasakan sakit hatiku juga?!" tanyaku sambil melirik ke arah Sintia yang memasang pandangan malas ke arahku.

Tapi tunggu. Kenapa wanita itu tidak secantik saat dia mengenakan riasan pengantin. Kulitnya lebih kusam dariku, bahkan terdapat beberapa jerawat yang sudah menghitam di bagian dagu, bawah mata dan pelipisnya. Oh, jadi gadis seperti ini yang dipilih suamiku. Rasa-rasanya dia dua level berada jauh di bawahku. Hmm!

"Kenapa kau menatapku seperti itu, Mbak?" tanya Cahya ketika kuperhatikan intens. Dia salah tingkah dan beberapa kali menarik bajunya yang terlalu ketat.

Aku semakin tidak sabar menunggu jawaban dari Arfan atas penyelidikannya tentang wanita berpakaian seksi di depanku ini.

"Kau bukan perawan ya?"

"Ap-apa?!" Wajah Sintia pucat ketika tetap kupandangi dengan sinis

"Jangan kurang ajar, Cahya. Memangnya kau siapa hingga bisa menilai seseorang hanya dengan sekali melihat," sembur Ibu Mertua yang seakan tidak rela melihat wajah menantunya pucat pasi.

Aku melipat tangan di dada setelah mengangkat sedikit bantal agar memudahkanku mengamatinya sambil berbaring.

"Bok ong yang menurun dan lembek, buah dada yang kendur dan lepek tak simetris, menandakan ciri-ciri seorang gadis pernah terjamah oleh seorang pria. Juga diperkuat dengan dengkul yang tidak membulat sempurna, jelas dia wanita berpengalaman dalam berhubungan."

"Me-memangnya kenapa dengan bentuk badanku? Ka-kau jangan bicara sembarangan ya, Mbak." Sintia tergagap. Berkali-kali dia menarik bajunya dengan salah tingkah.

"Jangan pedulikan ucapan Cahya, dia bicara seperti itu karena tidak rela Frans menikahi kamu," sahut Ibu Mertua.

Aku mengangkat bahu acuh.

  Hmm, akan kukerjai kau Mas Frans. Tapi nanti setelah aku mengumpulkan bukti-bukti dari Arfan. Aku tersenyum sinis seiring dengan kepergian dua orang di depanku ini. Rasanya sakit hati dan luka malah berganti dengan perasaan meremehkan.

Ah dasar aku!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status