“Semua persiapkan senjata kalian masing-masing! Raja Iblis akan segera sampai di gerabng perbatasan jadi pastikan kalian tidak lengah!”
Perintah dari Asta Dewa disambut sorakan dari para prajurit kerajaan langit yang lain. Tentu mereka tidak mungkin meladeni banyaknya monster iblis dari pasukannya Raja Iblis yang akan datang untuk menyerang mereka hanya dengan kemampuan dari sembilan ksatria dewa saja.
Maka dari itu Sang Hyang Mahaguru mengutus Asta Dewa untuk memimpin pertempuran dengan pasukan Raja Iblis dengan membawa para prajurit kerajaan langit yang sudah terampil, meskipun tidak akan bisa dibandingkan dengan kemampuan para ksatria dewa.
“Kira-kira aku harus pakai senjata yang mana, ya?” gumam Braja Dharma, menatap pedang petir dan juga panah petir yang sudah dibuat olehnya menggunakan kemampuannya itu.
“Apa saat-saat seperti ini masih ada waktu untuk kamu memilih senjata kamu itu?” tanya Anantasena, memijit pangkal hidungnya melihat kelakuan dari para sembilan ksatria dewa yang bisa dikategorikan tidak ada yang normal, selain Asta Dewa dan juga dirinya.
“Aku hanya ingin memastikan apakah menyerang dari jauh jauh lebih baik atau langsung menyerangnya secara dekat,” balas Braja Dharma, masih menatap pada kedua senjatanya itu.
“Tentu saja jarak dekat jauh lebih baik!” teriak Agni Bagaswara, dengan tangannya yang sudah mengeluarkan bola-bola api. “Jangan jadi pengecut untuk menyerang dari jauh!”
Lodaya mendengus melihat Agni Bagaswara yang selalu terlihat bersemangat jika berkaitan dengan pertempuran melawan pasukan iblis. “Tidak apa-apa kalau memang kamu berhasil menyerangnya, tapi kalau kamu cuma menambah masalah, lebih baik kamu sembunyi di belakang gudang istana langit saja,” sindir Lodaya, masih mengingat bagaimana sang penguasa api itu selalu membuat kehebohan dengan menyerang secara gegabah tanpa menunggu aba-aba dari Asta Dewa yang memimpin mereka di pertempuran sebelumnya.
“Hah?! Kamu ngajak berantem?!” seru Agni Bagaswara, tidak terima dikatai seperti itu oleh rekan ksatria dewanya. “Mungkin aku boleh mencoba kekuatanku padamu dulu, Lodaya!”
Antari Kusuma dan Ananjaya hanya bisa diam saja melihat dua pria yang selalu beradu mulut dengan saling menyindir atau saling menantang satu sama lain itu. Namun lain ceritanya jika mereka berdua sudah berada di medan pertempuran, karena kedua orang itu akan saling bekerja sama sehingga tidak ada iblis yang bisa melawan mereka berdua.
“Aku sebenarnya heran kenapa di saat-saat begini mereka tidak bisa akur. Padahal kalau sudah bertarung, mereka pasti bakal bekerja sama tanpa sadar,” ujar Baruna.
Asta Dewa sendiri hanya bisa membiarkan perdebatan dari para ksatria dewa itu saja karena dia bertugas untuk mengamati kedatangan Raja Iblis yang auranya sudah bisa dirasakannya.
“Hey, kalian mau sampai kapan seperti itu? Padahal aku sudah bersiap untuk bertarung rapi kalian malah berdebat untuk hal tidak jelas. Benar-benar kekanak-kanakan sekali,” ujar Braja Dharma, sambil berkacak pinggang dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Semuanya mendelik kesal pada Braja Dharma. “Memangnya siapa yang memulainya!” seru semuanya kepada dalang yang memicu keributan itu.
Braja Dharma memiringkan kepalanya. “Kalian ini bicara apa? Sudahlah, malah aku meladeni anak kecil,” balas Braja Dharma santai, sambil menyusul Asta Dewa yang berada di barisan depan.
“Bolehkah aku menyerangnya sekali saja?” tanya Surya Diva Sekha, yang sepertinya ikut tersulut emosi.
“Sabar, ya. Kita harus pentingkan pertempuran hari ini,” balas Anantasena, sambil menepuk bahu rekannya itu.
Kemudian para ksatria dewa menyusul Braja Dharma dan Asta Dewa yang sedang mengamati dan menunggu di barisan paling terdepan untuk memimpin para pasukan prajurit dewa lainnya.
“Dia datang,” ucap Asta Dewa, memicingkan matanya ketika merasakan aura tidak mengenakkan yang membuat langit pun berubah menjadi gelap.
Suara tawa melengking yang berasal dari sosok berbadan besar dengan tanduk yang berada di atas kepalanya itu, membuat sembilan ksatria dewa bersiap pada posisi mereka.
“Hoo, ternyata kedatanganku disambut oleh para suruhannya Sang Hyang Mahaguru, ya,” ujar Raja Iblis, menatap sinis dan remeh pada para ksatria dewa.
Raja Iblis mengangkat tangannya lalu dikeluarkan sebuah aura berwarna hitam yang terkumpul di atas tangannya itu. Dari aura hitam itulah, muncul para pasukan iblis yang mulai memenuhi wilayah di depan gerbang perbatasan kerajaan langit.
“Saatnya kita memulai pestanya,” ujar Raja Iblis, tanpa berniat berbasa-basi dengan para pasukan dari Sang Hyang Mahaguru itu. “Serang mereka!”
Pasukan iblis yang jumlahnya banyak itu, langsung bersorak dengan berlari ke arah para prajurit dewa yang sudah bersiap di posisi mereka.
Pertempuran hebat pun tidak terhindarkan antara kerajaan langit dengan kerajaan iblis.
“Sekarang aku akan melawan para ksatria dewa yang dijuluki sang penguasa ini,” ujar Raja Iblis, yang secepat kilat sudah berada di hadapan Asta Dewa.
Asta Dewa mendelik lalu dengan sigap dia menyerang Raja Iblis menggunakan pedang miliknya.
“Hahaha!” Raja Iblis berpindah tempat hingga dia berjarak beberapa langkah dari Asta Dewa. “Kesigapan kamu memang tidak ada duanya, Asta Dewa.”
Asta Dewa mengeraskan rahangnya sambil memicingkan matanya menatap Raja Iblis. “Hari ini juga kami akan menghabisimu di sini, Raja Iblis. Sosokmu akan menghilang sepenuhnya dari peradaban ini,” tukas Asta Dewa, menatap menantang pada Raja Iblis tersebut.
Raja Iblis tersenyum sinis. “Silahkan saja kalau kalian memang bisa,” tantang Raja Iblis kembali.
“Argh! Aku tidak bisa menunggu lagi!” teriak Agni Bagaswara, langsung melompat cepat dari posisinya sambil mengarahkan bola api ledakan yang sudah dia persiapkan di tangannya. “Kali ini aku akan membakarmu hidup-hidup!”
“Anak itu, selalu saja gegabah,” gumam Lodaya, yang tidak ingin kalah dari sang penguasa api.
Dia dengan pasukan binatang buas yang dipimpinnya, langsung menyerah ke arah Raja Iblis juga. Tentu hal itu sedikit membuat celah untuk Agni Bagaswara yang menyerah secara brutal ke arah Raja Iblis.
Namun dengan kecepatan yang dimiliki oleh Raja Iblis, dia dengan mudah bisa menghindar dari serangan dua penguasa dewa tersebut.
“Hanya dengan kalian saja tidak akan cukup untuk menumbangku,” ungkap Raja Iblis, tersenyum remeh pada Agni Bagaswara dan Lodaya.
Keduanya merasa semakin terpancing sehingga mereka meningkatkan jumlah kekuatan yang mereka keluarkan.
Agni Bagaswara membentuk bola api besar yang siap melahap siapapun yang mengenai bola api tersebut. Sedangkan Lodaya memperbesar dan memperbanyak binatang buas yang dikendalikannya untuk menyerah pasukan iblis lain dan juga membantu Agni Bagaswara agar bisa menyerang langsung Raja Iblis.
Boom!
Ledakan besar itu membuat tujuh ksatria dewa lainnya menatap was-was pada kepulan asap yang menyembunyikan sosok Raja Iblis dengan dua rekan mereka yang lain.
“Apa mereka berhasil?” tanya Braja Dharma.
“Tidak, dia bukanlah sosok yang mudah dikalahkan,” sahut Asta Dewa, dengan genggaman eratnya pada pedang langit miliknya.
Tepat saat itu kepulan asap pun menghilang secara perlahan hingga terlihatlah Raja Iblis yang masih berdiri kokoh sambil tertawa menatap Agni Bagaswara dan Lodaya yang sudah terbaring di atas tanah.
“Boleh juga!” seru Raja Iblis, merasa pertarungan semakin menarik.
Dia menyentuh bahu yang sedikit tergores akibat ledakan dari Agni Bagaswara. Senyuman lebar menyeramkan terukir di wajahnya.
“Tidak aku sangka kalian sudah bertambah kuat dari pertempuran terakhir kita. Sepertinya aku tidak bisa meremehkan kalian lagi,” ucapnya, menatap angkuh pada para ksatria dewa yang lain.
“Agni! Lodaya!” teriak Anantasena, melihat rekannya yang terlihat kesakitan. “Ck, kita harus membantu mereka! Asta, cepat berikan perintahmu karena kamu yang memimpin untuk sekarang!”
Asta Dewa berdecak lalu dia pun menghela nafasnya. “Semuanya! Serang Raja Iblis dengan seluruh kemampuan kalian!” teriak Asta Dewa, mengangkat pedang langitnya setinggi mungkin sebagai aba-aba kalau para ksatria dewa yang lain dipersilahkan untuk menyerah sekarang juga.
Seperti angin yang berhembus cepat, semua ksatria dewa melesat dengan cepat ke arah Raja Iblis yang sudah menunggu mereka.
Raja Iblis tersenyum puas sambil menghindari terus-menerus dari segala serangan yang didapatkannya dari para ksatria dewa itu.
“Terima ini!” ucap Asta Dewa, menyerah leher Raja Iblis menggunakan pedang langitnya yang sudah dilumuri dengan kekuatan langit yang bisa menebas apapun.
“Aku tidak akan diam saja!” teriak Braja Dharma, yang menyerah dari arah langit dengan pedang petir yang digunakannya.
“Tidak denganku juga,” sahut Anatari Kusuma, yang bersiap dengan angin yang berputar di sekitarnya untuk menyerang Raja Iblis.
“Hari ini aku yang akan menghabisimu,” tukas Anantasena, dengan kepalan tangannya mengarah dari samping kiri Raja Iblis.
Baruna, Ananjaya, dan juga Surya Diva Sekha, bersiap di bawah Raja Iblis yang saat ini memang melayang di udara. Mereka bersiap untuk menyerah dari titik buta Raja Iblis tersebut.
Raja Iblis tersenyum miring melihat dirinya yang tidak bisa kabur lagi karena dikepung dari segala arah oleh para ksatria dewa itu.
“Ini semakin menarik!”
Duar!Suara ledakan besar itu membuat para prajurit dewa dan juga pasukan iblis yang lain menatap ke arah pertempuran pribadi antara Raja Iblis dengan kesembilan ksatria dewa itu.“Apa ... kita akan menang?” ucap salah seorang prajurit dewa, dengan luka di perutnya.Asap yang mengepul banyak itu tiba-tiba saja menghilang dan terlihatlah Raja Iblis yang masih melayang di udara dengan sayap yang berada di punggungnya.Sosok Raja Iblis pun agak berbeda dari sebelumnya, karena sekarang dia mengeluarkan kekuatan penuhnya untuk melawan para ksatria dewa yang mengepungnya tadi.“Kalian tidak akan bisa melawanku!” ujar Raja Iblis, menatap para ksatria dewa yang terpental cukup jauh akibat serangan dari Raja Iblis itu.Asta Dewa mendecih pelan sambil meludahi sedikit cairan merah di dalam mulutnya itu. “Ternyata benar kalau tadi dia belum mengeluarkan kekuatan penuhnya,” ucap Asta Dewa.Agni Bagaswara dan Lodaya sudah ikut bergabung bersama dengan para ksatria dewa lain yang terpental cukup ja
Setelah pertempuran mereka dengan raja iblis, ke 9 dewa yang juga masih luka dan lelah itu beristirahat. Sebenarnya luka yang mereka alami tidak begitu parah bahkan mereka bisa menyembuhkannya sendiri namun karena pertempuran yang sengit telah terjadi membuat mereka kehabisan tenaga.Terhitung sudah selama dua hari mereka terbaring di atas ranjang yang dilapisi emas. Asta Dewa tersadar terlebih dahulu, dihirupnya aroma teh yang menyejukkan indra penciumannya.“Hah! Akhirnya sudah selesai juga, kira-kira sudah berapa lama aku beristirahat?” Asta Dewa bergumam. Biasanya mereka jarang melakukan pertempuran yang sungguh menguras tenaga, namun kemarin keadaanya benar-benar membuat mereka kelelahan.Asta Dewa berjalan menuju kamar Lodaya dan Baruna. Terlihat mereka yang masih tertidur.“Hey kalian! Cepat bangun! Sudah berapa lama kedua mata itu terpejam?! Apa kalian tidak ingin menghadap kepada Shang Hyang Mahaguru?”Tidak mendapatkan sahutan dari keduanya, membuat Asta Dewa langsung menyir
Sebenarnya Shang Hyang Mahaguru sudah mengetahui jika ke-9 ksatria dewa saat itu sedang kepikiran tentang sumpah raja iblis yang diucapkan sebelum raja iblis itu gugur dalam pertempuran mereka kemarin.“Kami hanya takut jika dia kembali dan raja iblis memiliki kekuatan yang lebih besar daripada kemarin. Shang Hyang Mahaguru juga mengetahui bukan tanda tanya jika kekuatan raja iblis kemarin tidak bisa dianggap enteng, jika nanti 1000 tahun lagi dia akan kembali —”“Tapi aku memiliki pertanyaan untuk Shang Hyang Mahaguru, apakah raja iblis akan benar-benar kembali dengan kurun waktu 1000 tahun?”“Tentu saja,” ucap Shang Hyang Mahaguru yang menanggapi pertanyaan dari Baruna.“Kau jangan memotong ucapanku terlebih dahulu, ada yang ingin aku tanyakan kepada Shang Hyang Mahaguru.”Lodaya terlihat geram dengan apa yang dilakukan oleh Baruna, dia masih merasa penasaran namun justru memotong ucapannya.“Apa yang membuat kalian penasaran saat ini? Apa karena raja iblis yang akan bangkit itu? It
A Few Moments Later (Seribu Tahun Kemudian)LANGIT MALAM tebarkan bintang dan rembulan di sudut mega. Warna cerahnya menggiurkan pasangan muda-mudi untuk taburkan kasih kemesraannya. Bahkan pasangan tua berhati muda pun tak segan-segan lepaskan rayu dan canda menggelitik di sela-sela hati mereka. Mendadak kabut berjingkat dari celah bongkahan tanah perbukitan. Kabut tipis itu merayap makin menebal, lalu membungkus setiap celah tanah berdaun rumput. Bukit mulai diselimuti kabut. Langit sedikit dipulas rona hitam awan. Rupanya tadi telah melesat cahaya hijau berekor. Cahaya hijau di langit itu bagaikan berudu terbang yang melintasi perbatasan langit bermega hitam. Warna hijaunya terang dan mencolok mata para penghuni bumi. Wuusshh...! Angin mulai menunjukkan keperkasaannya, hembusannya tiba-tiba saja menjadi cepat dan berat. Warna hijau cerah berekor panjang di langit bagai semakin dilemparkan dari sisi satu ke sisi lainnya. Gerakannya mengikuti lengkung langit hingga menuju perbatas
Ketika dia membungkuk hendak mengambil Jimat Hati Iblis yang masih berada dalam genggaman tangan kiri Rawana Baka. Tiba-tiba tidak disangka-sangka kaki kanan orang yang diduga telah menemui ajal itu melesat ke arah dada si kakek.Bukkkk!“Uggghhh!”Sang Utusan Para Dewa menjerit keras. Tubuhnya terpental tiga tombak, terbanting jatuh punggung pada sebuah batu besar dan dari mulutnya menyembur darah kental!"Mengapa aku bertindak lengah! Belum mati jahanam itu rupanya!” keluh si kakek. Memandang ke depan dilihatnya Rawana Baka terbungkuk-bungkuk berusaha bangkit berdiri.Walau dadanya serasa hancur si kakek cepat bangun. Tangan kirinya digerakkan. Tongkat api kembali berubah menjadi cambuk menyala. ”Kali ini harus kuputus lehernya! Harus kutanggalkan kepalanya!”Si kakek berkomat kamit sambil putar pergelangan tangan kirinya. Cambuk api bergetar, meliuk-liuk laksana sosok ular hidup. Begitu dia menyentak maka cambuk api itu melesat ganas ke udara, mengeluarkan suara menggidikkan disert
Gunung Asmoro terlihat berdiri dengan angkernya malam itu, sebuah gerobak yang ditarik kuda berbulu putih belang coklat itu berhenti di depan bangunan besar yang mirip candi diatas puncak gunung asmoro. Saat itu di penghujung malam menjelang pagi. Perempuan tua yang duduk di samping pemuda sais gerobak melompat turun. Gerakannya gesit dan enteng. Di pinggangnya tergantung satu bungkusan besar. Di depan pintu bangunan dia hentikan langkah, memandang pada lelaki yang keluar menyambutnya.Perempuan tua itu ludahkan gumpalan sirih dan tembakau di dalam mulutnya lalu bertanya."Apa aku datang terlambat Yudha?""Belum mak. Keadaannya gawat sekali. Aku khawatir”Perempuan tua itu tidak menunggu sampai lelaki bernama Yudha menyelesaikan ucapannya. Dengan cepat dia masuk ke dalam bangunan, langsung menuju ke sebuah kamar dari dalam mana terdengar suara erangan berkepanjangan.Di ambang pintu kamar si nenek mendadak hentikan langkah. "Yudha! Kegilaan apa yang aku lihat ini! Siapa yang mengikat
Pada saat sang jabang bayi hendak nongol dari rahim sang ibu, hujan deras disertai dengan amukan badai cukup dahsyat. Lebih dari tiga puluh pohon tumbang, puluhan batu menggelinding dari ketinggian, kilatan cahaya petir ikut menghujani gunung itu. Badai mengamuk hanya di puncak gunung, sedangkan di kaki Gunung Asmoro hanya terjadi angin kencang biasa-biasa saja. Bahkan hujannya tak terlalu lebat.Kabutpun hadir membungkus puncak Gunung Asmoro. Tebal sekali, seperti selimut domba. Puncak Gunung Asmoro bagai lenyap ditelan langit. Kilatan cahaya biru menggelegar menyambar-nyambar puncak gunung itu."Oaaa...! Oaaa.. ! Oaaa. !"Akhirnya, suara tangis bayi itu pun terdengar melengking tinggi. Seakan ingin mengalahkan deru badai dan ledakan guntur di sana-sini. Tangis sang bayi menggetarkan dinding-dinding batu, seolah-olah bangunan candi itu akan runtuh karena getaran suara si jabang bayi. Bahkan dari puncak hingga kaki gunung terjadi getaran hebat, sepertinya gunung itu akan meletus atau
SEMILIR ANGIN MALAM menghembuskan udara yang terasa sangat dingin ketika seorang wanita cantik tengah membuka pakaian warna merah yang dikenakannya. Rambutnya yang semula digelung dengan tusuk konde, dilepas hingga terurai. Hal itu membuat kecantikan Dewi Salindri kian bertambah nyata.Tanpa sepengetahuannya, seseorang dengan mata tak berkedip mengintip tubuhnya yang kuning langsat dan menggairahkan. Lelaki itu berulang kali menelan ludah serta menahan napas dengan mata jalang."Ck, ck, ck.... Pantas saja kalau Wasesa sampai mabuk kepayang kepadanya. Tidak kusangka, kalau sang Dewi benar-benar mempesona," gumamnya dengan gairah yang bergejolak.Ketika ia tengah asyik mengintip tubuh mulus dan mempesona itu, kakinya yang tak mampu menahan getaran birahi tanpa disengaja membentur sesuatu.Krak!Kegaduhan kecil itu membuat Dewi Salindri yang tengah mengganti pakaian tersentak dan terburu-buru mengenakannya kembali. Mata cantiknya memandang lekat pada dinding bilik rumahnya, sedangkan pen