Setelah pertempuran mereka dengan raja iblis, ke 9 dewa yang juga masih luka dan lelah itu beristirahat. Sebenarnya luka yang mereka alami tidak begitu parah bahkan mereka bisa menyembuhkannya sendiri namun karena pertempuran yang sengit telah terjadi membuat mereka kehabisan tenaga.
Terhitung sudah selama dua hari mereka terbaring di atas ranjang yang dilapisi emas. Asta Dewa tersadar terlebih dahulu, dihirupnya aroma teh yang menyejukkan indra penciumannya.
“Hah! Akhirnya sudah selesai juga, kira-kira sudah berapa lama aku beristirahat?” Asta Dewa bergumam. Biasanya mereka jarang melakukan pertempuran yang sungguh menguras tenaga, namun kemarin keadaanya benar-benar membuat mereka kelelahan.
Asta Dewa berjalan menuju kamar Lodaya dan Baruna. Terlihat mereka yang masih tertidur.
“Hey kalian! Cepat bangun! Sudah berapa lama kedua mata itu terpejam?! Apa kalian tidak ingin menghadap kepada Shang Hyang Mahaguru?”
Tidak mendapatkan sahutan dari keduanya, membuat Asta Dewa langsung menyiramkan ramuan yang berada di sana.
Lodaya dan Baruna tergagap karena wajahnya terasa basah. “Apa yang kau lakukan Asta Dewa?” tanya Lodaya dengan geram.
“Kenapa kalian berbaring di atas ranjang yang sama. Ah, atau kalian —”
“Apa? Kita sendiri juga tidak tahu. Ada apa kau mengganggu?” sanggah Baruna dengan cepat.
“Cepat! Tidak seharusnya kita justru beristirahat setelah pertempuran kemarin. Apakah kalian tidak mengingat sumpah raja iblis?”
Asta Dewa mencoba untuk mengingatkan Lodaya dan Baruna tentang sumpah raja iblis. Ketiga dewa itu ingin menghadap pada Shang Hyang Mahaguru, namun sebelum itu mereka terlebih dahulu mencari keberadaan para dewa lainnya.
-o0o-
Di luar istana yang megah, masih terdapat sisa pertempuran mereka. Sebenarnya, Shang Hyang Mahaguru sudah meminta para pelayan dan juga seluruhnya untuk membersihkan area istana, namun entah kenapa sisa peperangan kemarin masih tetap ada saja.
“Dayang-dayangku! Cepat ambilkan aku anggur yang segar!”
Seorang pelayan wanita yang tadi mengipasi Shang Hyang Mahaguru itu pun lantas menaruh benda yang tadi dikibas-kibaskan. Dia menunduk dan berjalan untuk mencari permintaan dari padukanya.
Wanita dengan balutan kain yang cukup banyak di tubuhnya, mencari keberadaan buah anggur di dapur istana. Entah lah, dia sendiri bingung harus mengambil buah anggur yang mana? Dia mengambil piring mas yang berukuran cukup besar, menata seluruh buah anggur yang berada di sana.
Dengan kedua tangannya dia mengangkat piring yang cukup berat. “Ini, Paduka,” ujarnya dengan menaruh piring tersebut di hadapan Shang Hyang Mahaguru.
“Kenapa kau mengambilkan banyak sekali?! Apa kau ingin membuat perutku mulas?” tanyanya.
“Ampun, Paduka, tidak. Hanya saja Saya bingung harus mengambilkan yang mana? Sehingga saya menatanya di dalam satu wadah agar Paduka bisa mencicipi semuanya.”
“Huh! Kali ini akan aku maafkan, seharusnya kau bertanya terlebih dahulu sebelum beranjak dari tempat kau duduk!”
“Ampun Paduka.”
Shang Hyang Mahaguru menikmati buah anggur yang berada di dalam piring besar tersebut. Menikmati rasa asam yang menjalar di tenggorokannya membuat Shang Hyang Mahaguru bergidik.
“Buatkan aku minuman yang segar-segar! Di atas sini sangat panas!”
Shang Hyang Mahaguru kembali memerintahkan seseorang. Kali ini dia hanya meminta buah-buahan yang dipotong dengan diberikan air yang dingin. Di hidangkannya mangkuk yangbterbuat dari mas itu.
“Minuman atau makanan ini?! Kenapa bentunya seperti ini?”
“Maaf, Paduka. Tapi Anda yang memintanya tadi. Saya hanya menuruti keinginan Anda saja.”
“Hah! Ya sudah,” ucap Shang Hyang Mahaguru dengan menghela nafasnya.
Shang Hyang Mahaguru menikmati minuman yang baru saja dibuatkan, hal itu dapat menenangkan kepalanya sejenak yang kemarin berapi-api. Pasalnya raja iblis sudah membuatnya sangat marah.
Sedangkan di luar istana terlihat ke-9 kesatria yang sedang menatap bekas pertempuran mereka. “Tunggu! Memangnya sudah selama ini ya kita istirahat? Seingatku, aku hanya tertidur beberapa jam saja.” Lodaya kebingungan saat melihat bekas pertempuran mereka sudah bersih, memang masih ada beberapa yang berserakan seperti bekas-bekas reruntuhan bangunan walau hanya sedikit saja.
“Beberapa jam saja? Sepertinya tidak! Kita tidur lebih dari beberapa jam, dan kenapa kita bisa tidur?”
“Kelelahan, kan habis bertempur bersama dengan pasukan raja iblis kemarin.”
“Ya ya ya. Tapi tetap saja memangnya kita selama itu hingga bisa tertidur lama sekali?”
“Tenaga kita terkuras habis karena melawan pasukan raja iblis kemarin, tapi kalau diingat-ingat sepertinya aku mengingat sumpah raja iblis sebelum meninggalkan kita.”
“Ya, 1000 tahun lagi. Apa kita lebih baik membicarakan ini dengan Shang Hyang Mahaguru?”
“Nanti saja, aku seperti sudah lama tidak pernah menghirup udara di sini. Apa kita diberikan ramuan untuk beristirahat oleh Shang Hyang Mahaguru?”
“Entahlah, mungkin bisa saja. Sudahlah jangan berpikiran yang lain-lain lagi,” sahut Anantasena.
Ke-9 kesatria dewa memilih untuk mencari udara di sekitar istana milik Shang Hyang Mahaguru. Mereka masih bertanya-tanya apakah 1000 tahun lagi raja iblis itu akan kembali atau mungkin dia akan menjadi sosok yang lebih kuat dibandingkan di pertempuran kemarin?
“Lebih baik kita tanyakan saja kepada Shang Hyang Mahaguru,” putus Lodaya yang tidak bisa menahan rasa kekhawatirannya dan juga keingintahuannya.
Ke-9 ksatria dewa itu pun lantas masuk kembali ke dalam istana yang berwarna emas, langit saat itu terlihat sangat cerah. Namun tetap saja masih ada rasa kekhawatiran yang mendalam di dalam diri ke-9 ksatria dewa.
Ke-9 ksatria dewa itu segera bergegas untuk menemui Shang Hyang Mahaguru, tentunya mereka ingin mengemukakan kekhawatiran mereka. Terlihat Shang Hyang Mahaguru yang masih menikmati minuman yang tadi dibuatkan oleh dayangnya.
Shang Hyang Mahaguru yang menyadari ada ke-9 ksatria dewa itu pun lantas mengalihkan tatapannya dari mangkok berbahan dasar emas, dia menatap ke arah ke 9 kesatria dewa dengan bergiliran. “Ada apa kalian datang kemari? Apakah istirahat kalian sudah cukup? Seharusnya ramuan yang aku berikan di masing-masing kamar kalian mampu membuat stamina kalian segera pulih.”
“Ya, Shang Hyang Mahaguru. Kami bersembilan sepertinya sudah beristirahat cukup lama, kehadiran kami ke sini untuk menanyakan suatu hal.”
Kedua mata Shang Hyang Mahaguru mendelik, “Hal apa yang ingin kalian tanyakan?” tanya Shang Hyang Mahaguru yang kebingungan.
“Apakah Shang Hyang Mahaguru, mengingat sumpah yang diucapkan oleh raja iblis sebelum dia menghilang??”
Shang Hyang Mahaguru menganggukkan kepalanya, “Lalu? Apa yang membuat kalian datang kemari? Apakah kalian ingin menanyakan tentang sumpah yang diucapkan oleh raja iblis? Apa kalian masih memikirkan hal itu?”
Ke-9 ksatria dewa itu menganggukkan kepalanya serentak. Namun senyuman misterius justru timbul dari bibir Shang Hyang Mahaguru membuat ke-9 ksatria dewa bertatapan satu sama lain dan menggelengkan kepalanya tanda jika mereka tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan senyuman misterius dari Shang Hyang Mahaguru.
"Memang hal itu cukup mengganggu kami. Apa Paduka bisa membantu kami?"
Sebenarnya Shang Hyang Mahaguru sudah mengetahui jika ke-9 ksatria dewa saat itu sedang kepikiran tentang sumpah raja iblis yang diucapkan sebelum raja iblis itu gugur dalam pertempuran mereka kemarin.“Kami hanya takut jika dia kembali dan raja iblis memiliki kekuatan yang lebih besar daripada kemarin. Shang Hyang Mahaguru juga mengetahui bukan tanda tanya jika kekuatan raja iblis kemarin tidak bisa dianggap enteng, jika nanti 1000 tahun lagi dia akan kembali —”“Tapi aku memiliki pertanyaan untuk Shang Hyang Mahaguru, apakah raja iblis akan benar-benar kembali dengan kurun waktu 1000 tahun?”“Tentu saja,” ucap Shang Hyang Mahaguru yang menanggapi pertanyaan dari Baruna.“Kau jangan memotong ucapanku terlebih dahulu, ada yang ingin aku tanyakan kepada Shang Hyang Mahaguru.”Lodaya terlihat geram dengan apa yang dilakukan oleh Baruna, dia masih merasa penasaran namun justru memotong ucapannya.“Apa yang membuat kalian penasaran saat ini? Apa karena raja iblis yang akan bangkit itu? It
A Few Moments Later (Seribu Tahun Kemudian)LANGIT MALAM tebarkan bintang dan rembulan di sudut mega. Warna cerahnya menggiurkan pasangan muda-mudi untuk taburkan kasih kemesraannya. Bahkan pasangan tua berhati muda pun tak segan-segan lepaskan rayu dan canda menggelitik di sela-sela hati mereka. Mendadak kabut berjingkat dari celah bongkahan tanah perbukitan. Kabut tipis itu merayap makin menebal, lalu membungkus setiap celah tanah berdaun rumput. Bukit mulai diselimuti kabut. Langit sedikit dipulas rona hitam awan. Rupanya tadi telah melesat cahaya hijau berekor. Cahaya hijau di langit itu bagaikan berudu terbang yang melintasi perbatasan langit bermega hitam. Warna hijaunya terang dan mencolok mata para penghuni bumi. Wuusshh...! Angin mulai menunjukkan keperkasaannya, hembusannya tiba-tiba saja menjadi cepat dan berat. Warna hijau cerah berekor panjang di langit bagai semakin dilemparkan dari sisi satu ke sisi lainnya. Gerakannya mengikuti lengkung langit hingga menuju perbatas
Ketika dia membungkuk hendak mengambil Jimat Hati Iblis yang masih berada dalam genggaman tangan kiri Rawana Baka. Tiba-tiba tidak disangka-sangka kaki kanan orang yang diduga telah menemui ajal itu melesat ke arah dada si kakek.Bukkkk!“Uggghhh!”Sang Utusan Para Dewa menjerit keras. Tubuhnya terpental tiga tombak, terbanting jatuh punggung pada sebuah batu besar dan dari mulutnya menyembur darah kental!"Mengapa aku bertindak lengah! Belum mati jahanam itu rupanya!” keluh si kakek. Memandang ke depan dilihatnya Rawana Baka terbungkuk-bungkuk berusaha bangkit berdiri.Walau dadanya serasa hancur si kakek cepat bangun. Tangan kirinya digerakkan. Tongkat api kembali berubah menjadi cambuk menyala. ”Kali ini harus kuputus lehernya! Harus kutanggalkan kepalanya!”Si kakek berkomat kamit sambil putar pergelangan tangan kirinya. Cambuk api bergetar, meliuk-liuk laksana sosok ular hidup. Begitu dia menyentak maka cambuk api itu melesat ganas ke udara, mengeluarkan suara menggidikkan disert
Gunung Asmoro terlihat berdiri dengan angkernya malam itu, sebuah gerobak yang ditarik kuda berbulu putih belang coklat itu berhenti di depan bangunan besar yang mirip candi diatas puncak gunung asmoro. Saat itu di penghujung malam menjelang pagi. Perempuan tua yang duduk di samping pemuda sais gerobak melompat turun. Gerakannya gesit dan enteng. Di pinggangnya tergantung satu bungkusan besar. Di depan pintu bangunan dia hentikan langkah, memandang pada lelaki yang keluar menyambutnya.Perempuan tua itu ludahkan gumpalan sirih dan tembakau di dalam mulutnya lalu bertanya."Apa aku datang terlambat Yudha?""Belum mak. Keadaannya gawat sekali. Aku khawatir”Perempuan tua itu tidak menunggu sampai lelaki bernama Yudha menyelesaikan ucapannya. Dengan cepat dia masuk ke dalam bangunan, langsung menuju ke sebuah kamar dari dalam mana terdengar suara erangan berkepanjangan.Di ambang pintu kamar si nenek mendadak hentikan langkah. "Yudha! Kegilaan apa yang aku lihat ini! Siapa yang mengikat
Pada saat sang jabang bayi hendak nongol dari rahim sang ibu, hujan deras disertai dengan amukan badai cukup dahsyat. Lebih dari tiga puluh pohon tumbang, puluhan batu menggelinding dari ketinggian, kilatan cahaya petir ikut menghujani gunung itu. Badai mengamuk hanya di puncak gunung, sedangkan di kaki Gunung Asmoro hanya terjadi angin kencang biasa-biasa saja. Bahkan hujannya tak terlalu lebat.Kabutpun hadir membungkus puncak Gunung Asmoro. Tebal sekali, seperti selimut domba. Puncak Gunung Asmoro bagai lenyap ditelan langit. Kilatan cahaya biru menggelegar menyambar-nyambar puncak gunung itu."Oaaa...! Oaaa.. ! Oaaa. !"Akhirnya, suara tangis bayi itu pun terdengar melengking tinggi. Seakan ingin mengalahkan deru badai dan ledakan guntur di sana-sini. Tangis sang bayi menggetarkan dinding-dinding batu, seolah-olah bangunan candi itu akan runtuh karena getaran suara si jabang bayi. Bahkan dari puncak hingga kaki gunung terjadi getaran hebat, sepertinya gunung itu akan meletus atau
SEMILIR ANGIN MALAM menghembuskan udara yang terasa sangat dingin ketika seorang wanita cantik tengah membuka pakaian warna merah yang dikenakannya. Rambutnya yang semula digelung dengan tusuk konde, dilepas hingga terurai. Hal itu membuat kecantikan Dewi Salindri kian bertambah nyata.Tanpa sepengetahuannya, seseorang dengan mata tak berkedip mengintip tubuhnya yang kuning langsat dan menggairahkan. Lelaki itu berulang kali menelan ludah serta menahan napas dengan mata jalang."Ck, ck, ck.... Pantas saja kalau Wasesa sampai mabuk kepayang kepadanya. Tidak kusangka, kalau sang Dewi benar-benar mempesona," gumamnya dengan gairah yang bergejolak.Ketika ia tengah asyik mengintip tubuh mulus dan mempesona itu, kakinya yang tak mampu menahan getaran birahi tanpa disengaja membentur sesuatu.Krak!Kegaduhan kecil itu membuat Dewi Salindri yang tengah mengganti pakaian tersentak dan terburu-buru mengenakannya kembali. Mata cantiknya memandang lekat pada dinding bilik rumahnya, sedangkan pen
Orang yang memanggul harpa tertawa. Wajahnya yang sesungguhnya tampan, dengan tajam memandang Sepasang Pendekar Golok Sakti yang juga kakak-kakak seperguruannya. Kemudian, pandangannya diarahkan pada Dewi Salindri yang semakin sengit melihat tatap mata nakal itu, sehingga napasnya turun-naik. Matanya melotot penuh kebencian."Wasesa, masih belum jerakah kau?" tanya Dewi Salindri dengan bentakan marah.Ucapan itu tidak menjadikan Wasesa takut. Malah, lelaki berpakaian serba merah itu tergelak-gelak hingga matanya berlinang air mata."Ah, mana mungkin aku jera sebelum mendapatkan Kitab Inti Golok Sakti?"Usai berkata demikian, Wasesa memandang taman-temannya sambil tergelak-gelak. Sehingga teman-temannya turut tertawa."Kau benar-benar keras kepala, Sudah kukatakan, bahwa kitab itu tidak ada pada kami Lagi pula, jangan bermimpi untuk mendapatkan kitab itu" bentak Dewi Salindri gusar. Kemarahannya sudah tidak dapat lagi dibendung.Dibentak begi
"Kubunuh kau, Wasesa..." bentak Dewi Salindri sengit. Kemudian tanpa banyak berkata lagi, Dewi Salindri segera menyerang dengan tebasan-tebasan golok. Serangannya begitu gencar, membuat golok di tangannya bagai menghilang. Ke mana pun Wasesa menghindar, golok di tangan Dewi Salindri mengejarnya. Keadaan itu membuat Wasesa agak kerepotan juga."Hebat.. Rupanya ilmu golokmu semakin lama semakin bertambah maju, Dewi...," puji Wasesa sambil tertawa terkekeh, membuat perempuan itu semakin bertambah panas. Karena ia tahu kalau ucapan Wasesa hanyalah sebuah ejekan kepadanya."Jangan banyak bacot. Terima seranganku ini..." Dewi Salindri semakin mempercepat serangannya. Golok di tangan kanannya berkelebat cepat, menimbulkan sinar putih keperakan yang bergulung cepat mengejar Wasesa.Menghadapi serangan gencar dari Dewi Salindri, Wasesa yang tidak memakai senjata mau tak mau harus mengeluarkan ilmu peringan tubuhnya untuk berkelit ke sana kemari.Sebuah sodokan gag