Share

Gagal Menumpas Pengacau

Secara cepat Tunggulsaka bersalto melompati tubuh Olengpati. Kedua kaki Tunggulsaka menapak tepat di belakang Olengpati. Dengan gerak cepat pula, pedang Tunggulsaka tersebut menempel di leher Olengpati. Pedang menyilang di depan leher Olengpati. Tubuh Tunggulsaka berada di belakang pimpinan perampok itu. Gerakan kecil saja dari pedang di tangan Tunggulsaka bisa berakibat sangat buruk  bagi Olengpati!

”Suruh anak buahmu mundur dan meninggalkan hutan ini!” perintah Tunggulsaka dengan nada lirih dan dingin. ”Kalau tidak mau menyuruh mereka mundur, kepalamu akan berada di telapak kakimu! Setelah itu, seluruh anggota gerombolan perampok itu akan kutumpas dengan pedangku, sendirian!”

Kali ini Tunggulsaka benar-benar berada di atas angin. Bukan sekadar terlihat seperti berada di atas angin. Namun benar-benar memegang kendali pertarungan. Tunggulsaka, senapati andalan Kerajaan Karangtirta mempunyai dua kemenangan. Kemenangan pertama, dia menang untuk memenggal kepala Olengpati kalau pimpinan perampok itu tidak mau memundurkan anak buahnya. Kemenangan kedua, kalau dia telah membunuh Olengpati, maka dengan pedangnya, seluruh gerombolan perampok bisa dia tumpas habis.

“Aku tidak membual atau omong kosong, Olengpati,” kata Tunggulsaka lirih dekat telinga sang pimpinan gerombolan perampok yang meresahkan rakyat. “Tadi aku tidak bisa membantai ana buahmu karena aku harus sibuk bertarung melawanmu. Kalau kamu sudah mati, seberapa pun banyak nak buahmu, bisa kubinasakan. Dengan dibantu sisa-sisa para prajuritku, pemusnahan anak buahmu akan lebih cepat.”

Olengpati terdiam selama beberapa saat. Sebagai seorang kesatria, tentu dia tidak mudah menyerah terhadap tekanan musuh. Mestinya dirinya lebih memilih mati berkalang tanah daripada hidup menanggung malu.

Dalam konteks kekesatriaan, harga diri adalah nyawa. Nyawa adalah harga diri. Seseorang sudah tidak layak disebut kesatria ketika dirinya tidak berani menempuh resiko terberat dalam peperangan, yakni kehilangan nyawa.

Petarung, prajurit, atau pun pendekar yang telah kehilangan jiwa kesatria maka sudah tidak ada harga diri lagi. Diri tidak harga. Pribadi tidak punya harga diri lagi. Manakala tidak ada harga diri sama saja harganya dengan orang yang tak berjiwa, orang yang tak bernyawa.

”Hei, rupanya kamu licik juga, Senapati Tunggulsaka!” ejek Olengpati dengan perasaan kesal. Kesal karena dirinya terpojokkan dalam situasi sulit. Situasi yang memaksa dirinya untuk memilih dua hal yang sama-sama beresiko. Pilihan pertama, menyerah, maka dirinya akan tetap hidup. Namun kalau dirinya menyerah, maka wibawanya sebagai pimpinan perampok, akan hilang. Bisa saja nanti anak buahnya sudah menaruh kepercayaan lagi padanya. Atau setidaknya kurang percaya lagi pada Olengpati. Pilihan kedua, dirinya melawan, akibatnya bisa fatal. Dirinya bisa mati karena terkeana goresan pedang lawan pada lehernya.

“Liciknya di mana?” tanya Tunggulsaka. “Bukankah caramu menjebak kami di hutan ini lebih licik dari yang sedang kulakukan sekarang?”

“Hemmm…, apa kamu kira aku takut dengan ancaman ini?” lanjut Olengpati dalam bentuk pertanyaan. “Kamu menyangka aku takut lalu menyerah begitu saja?”

Rupanya Olengpati masih melakukan gertak sambal dalam situasi seperti ini. Batin Tunggulsaka. Dalam keadaan hampir mati saja masih berani-beraninya menggertak. Kalau aku tega, sudah kupenggal leher pembuat onar di Kerajaan Karangtirta ini!

”Kuhitung sampai tiga,” pada akhirnya Tunggulsaka mengambil sikap tegas. “Kalau anak buahmu belum meninggakan tempat ini, kamu akan mampus sekarang juga!”

Olengpati mengamati anak buahnya yang masih siaga dengan senjata masing-masing. Dia menunggu perintah dari Olengpati. Apa saja yang diperintahkan Olengpati, akan dilakukan secara bersama-sama.

Selama beberapa saat suasana senyap. Semua diam. Semua saling menunggu. Olengpati menunggu Tunggulsaka menghitung sampai tiga hitungan, Tunggulsaka menunggu keputusan Olengpati. Tunggulsaka menginginkan Olengpati mengikuti keinginannya dari pada mati secara nista.

Tiba-tiba Olengpati mengangguk kepada anak buahnya. Itu merupakan perintah melalui isyarat. Anak buah Olengpati menangkap maksud Olengpati. Dalam sekejapan mata, seluruh gerombolan Olengpati berkelebat cepat meninggalkan arel pertempuran. Mereka lenyap masuk ke hutan Rukem. Lenyap tanpa jejak sedikit pun.

“Bagus karena kamu mengikuti keinginanku,” kata Tunggulsaka sambil melepaskan ancamannya. Dia berjalan memutari Olengpati dari sisi kanan lalu berhenti di depan Olengpati. Mereka berdiri berhadapan.

”Para prajurit Karangtirta, cepat tinggalkan tempat ini!” perintah Tunggulsaka. ”Kita kembali ke istana! Ini tempat kita.”

Serentak pasukan yang tersisa kembali ke Kerajaan Karangtirta. Mereka bergegas meninggalkan belantara setelah terlepas dari bahaya.

Setelah semua prajurit meninggalkan areal, tinggal Tunggulsaka dan Olengpati yang berdiri berhadap-hadapan.

“Olengpati…, sebaiknya kamu urungan niatmu bersama para pemberontak itu untuk merebut tahta dari Raja Tiyasa!” bujuk Tunggulsaka dengan nada penuh wibawa. “Sehebat apa pun kalian, kami sebagai abdi Kerajaan Karangtirta tidak akan tinggal diam. Kami akan sekuat tenaga bahu-membahu menghadapi kalian, para pemberontak.”

“Niat kami ingin menurunkan Raja Tiyasa bukan sekedar ingin mendapatkankekuasaan semata,” Olengpati memberikan alasan. “Tapi ada alasan lain yang lebih utama.”

“Alasan apa?”

“Raja Tiyasa tidak becus menjadi pemimpin.”

“O…, begitu alasanmu. Apa yang mendasari pendapatmu bahwa Paduka Raja Tiyasa tidak mampu menjadi peminpin di Kerajaan Karangtirta?”

“Banyak sekali alasannya. Aku tidak bisa mengungkapkan semua alaannya.”

“Kalau tidak bisa mengungkapkan semua alasan, coba sebutkan satu saja alasanmu!”

“Alasan yang tidak bisa dibantah, sejak Raja Tiyasa menjadi raja, banyak rakyat Kerajaan Karangtirta yang menderita. Banyak rakyat yang sengsara di bawah kekuasaan Raja Tiyasa.”

“O…, alasannya itu. Alasanmu itu berdasarkan kenyataan ataukah hanya karena pendapatmu sendiri?”

Olengpati terdiam. Sulit untuk menjawab pertanyaan Tunggulsaka.

“Kalau Tiyasa tidak becus menjadi raja, maka yang akan memberontak pertama kali adalah rakyat Karangtirta. Aku yang akan memimpin pemberontakan kalau Raja Tiyasa tidak bisa menyejahterakan rakyat Karangtirta.”

“Olengpati, jangan sok membela rakyat Karangtirta!” tegas dan jelas kata Tunggulsaka. “Yang tahu keadaan Karangtirta itu aku. Kamu dan para perampok itu orang mana? Apa kalian pernah tinggal di Karangtirta dalam waktu lama? Aku tahu kok, kalian hanya haus harta dan kekuasaan. Bukan ingin membela rakyat. Gaya kalian sok membela rakyat, tapi sebenarnya hanya membela kepentingan kalian sendiri, yaitu kepentingan untuk meraih kekuasaan sebagai sarana menumpuk harta dan kekayaan.”

Tanpa berkata sepatah kata pun, Olengpati meninggalkan Tunggulsaka.

Tunggulsaka pun segera menuju istana Kerajaan Karangtirta.

Sampai di istana Karangtirta, hari sudah malam. Tunggulsaka dan beberapa prajurit yang masih tersisa menghadap ke istana. Namun saat itu Raja Tiyasa belum pulang dari Perguruan Ngondang. Minta nasehat pada Ki Panutas. Guru sang raja saat masih muda.

Baru pada pagi harinya Tiyasa pulang. Langsung mengadakan pertemuan penting dengan para punggawanya. Tampak dalam pertemuan itu antara lain: Pangeran Banaswarih ~ putra mahkota kerajaan, Patih Ganggayuda, Senapati Tunggulsaka, Lunjak, Bandem, dan beberapa punggawa yang lain.

”Senapati Tunggulsaka, bagaimana hasil penyelidikanmu ke perbatasan?” tanya Raja Tiyasa.

”Mohon ampun, Paduka Raja,” kata Tunggulsaka, ”hamba gagal melakukan tugas ini.”

Lalu Tunggulsaka menceritakan apa yang telah dia alami kemarin.

Tiyasa menghela napas. Ada beban berat tersimpan di dada. Sulit baginya untuk mulai berkata kepada Tunggulsaka. Senapati Karangtirta muda usia yang sangat setia pada raja. Dalam melaksanakan tugas selalu berhasil. Hanya kali ini mengalami kegagalan.

”Maaf, Paduka, hamba ingin mengemukakan pendapat,” kata Patih Ganggayuda.

”Silakan, Ganggayuda!”

”Kegagalan pasukan kita menumpas gerombolan perampok itu semata-mata karena kesalahan Senapati Tunggulsaka,” kata Ganggayuda bernada tajam.

”Maksudnya bagaimana?”

”Begini, paduka raja, sebelum berangkat ke perbatasan, hamba sebenarnya sudah melarang sang senapati. Tetapi dia nekat. Nekat yang tidak menggunakan perhitungan matang. Dia belum tahu persis bagaimana kekuatan lawan. Sebenarnya hamba sudah melarang sang senapati. Tetapi dia nekat, tidak menggunakan perhitungan matang. Dia belum tahu persis bagaimana kekuatan lawan. Seberapa besar kekuatan para perampok yang berada di perbatasan. Dalam keadaan belum tahu keadaan lawan, dia tetap bertindak. Akhirnya..., begitulah, banyak prajurit kita mati sia-sia dihabisi gerombolan perampok...!”

Merah telinga Tunggulsaka demi mendengar cercaan yang begitu keras dari Ganggayuda. Umpama tidak dibatasi sopan-santun, pasti sudah dia tantang patih Kerajaan Karangtirta. Patih yang dia curigai telah menjalin hubungan saling menguntungkan dengan gerombolan perampok yang dipimpin Olengpati.

”Maafkan atas kesalahan hamba ini, Paduka Raja,” kata Tunggulsaka. Tanpa menghiraukan perkataan Ganggayuda. ”Hanya Paduka Raja yang berhak memberi maaf atau tidak kepada hamba. Hanya Paduka Raja yang berhak memberi hukuman bila hamba bersalah. Orang lain selain Paduka Raja, tidak termasuk dalam pemikiran hamba.”

”Benar kata Senapati, Ayahanda,” kata Banaswarih. ”Sekarang semua tergantung pada Ayahanda untuk menentukan kebijakan.”

Tiyasa masih diam. Berpikir keras. Menimbang-nimbang secara matang sebelum mengambil sebuah keputusan.

*

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status