Share

Malam Mencekam di Kota Kerajaan Karangtirta

Ganggayuda dan Jegonglopo bersusah payah berusaha keluar dari seretan ombak. Ombak besar hendak menyeret tubuh dua manusia kejam itu menuju ke tengah lautan. Lautan ingin menelan mereka. Barangkali laut itu tidak suka pada dua manusia yang suka menebar kejahatan itu.

Setelah bersusah payah melepaskan diri dari jeratan ombak, mereka berhasil berenang hingga sampai di tepi pantai.

“Brengsek! Ajian dari Suro Joyo memang hebat dan sulit ditangkal,” kata Ganggayuda sambil menyeka air dari wajahnya. “Untung saja kita tidak terseret ombak besar. Kalau sampai terseret ombak besar, kita bisa tenggelam dan mati ditelan lautan.”

“Ya, kita masih beruntung, Gusti Patih,” Jegonglopo menanggapi. “Kebanyakan musuh Suro Joyo yang terkena Ajian Rajah Cakra Geni menemui kematian. Kita sangat beruntung karena lolos dari kematian ketika kena hantaman Ajian Rajah Cakra Geni.”

“Apa benar yang kamu katakan itu Jegonglopo?”

“Benar, Gusti Patih. Jati Kawangwang, Riris Manik, Mayang Kencana, dan beberapa pendekar lainnya yang tewas dalam pertarungan melawan Suro Joyo. Mereka tewas karena hantaman Ajian Rajah Cakra Geni yang sangat dahsyat itu.”

Ganggayuda pernag mendengar beberapa nama pendekar yang dimusnahkan Suro Joyo. Mereka itu pendekar dari golongan hitam. Mereka suka membuat keonaran. Maka Suro Joyo turun tangan untuk membasmi mereka.

“Kita usah membahas lagi tentang Ajian Rajah Cakra Geni,” kata Ganggayuda kesal. Cerita tentang kehebatan Ajian Rajah Cakra Geni bisa membuat nyalinya ciut! “Sekarang saatnya kita habisi Tunggulsaka!”

Namun sebuah kenyataan pahit terpampang di depan mata.

Suro Joyo dan Tunggulsaka telah lenyap! Entah kemana lenyapnya dua pendekar itu. Ganggayuda dan Jegonglopo celingukan mencari-cari di areal pantai. Tak ada jejak sama sekali tentang Suro Joyo dan Tunggulsaka. Mrl bagaikan lenyap ditelan bumi!

“Bangsat tengik!” umpat Ganggayuda disertai perasaan kesal yang tiada tara. “Suro Joyo telah menyelamatkan Tunggulsaka. Padahal tadi kita tinggal memenggal kepala Tunggulsaka yang sudah tidak berdaya. Sungguh sial. Harusnya aku tadi langsung membunuh Tunggulsaka dengan memenggalnya.”

“Untung saja Gusti Patih tadi jadi tidak memenggal Tunggulsaka,” hibur Jegonglopo.

“Untung bagaimana, juga! Kita ini rugi saat ini. Kita rugi karena gagal membunuh Tunggulsaka. Kalau Tunggulsaka mati, kekuatan Kerajaan Karangtirta berkurang. Kalau Tunggulsaka masih hidup, Kerajaan Karangtirta tetap kokoh dan kuat. Tunggulsaka itu sangat cinta tanah kelahirannya. Dia sangat cinta Karangtirta. Nyawa pun dia pertaruhkan demi tetap tegaknya Kerajaan Karangtirta. Demi kejayaan Kerajaan Karangtirta, Tunggulsaka siap bersabung nyawa.”

“Hamba tahu tentang jiwa kesatria yang dimiliki Tunggulsaka. Tunggulsaka itu pejuang sejati. Dia dalam kedudukan apa pun tetap berjuang keras untuk menjaga Kerajaan Karangtirta. Yang hamba maksud untung tadi adalah Gusti Patih terhindar dari julukan kesatria nista yang membunuh musuh saat tidak berdaya. Julukan kesatria nista itu sangat hina. Pendekar yang nista seperti itu tidak akan dihargai lagi oleh siapa pun.”

Ganggayuda mengangguk-angguk. Dia pelan-pelan bisa memahami pemikiran Jegonglopo. Ada benarnya juga kata-kata Jegonglopo. Begitu kata hati Ganggayuda. Andai saja tadi aku membunuh Tunggulsaka yang berada dalam keadaan tak berdaya, maka nama baikku bisa tercemar. Aku akan dihujat seluruh pendekar yang ada di atas bumi.

”Untuk sementara, kita lupakan saja tentang Suro Joyo dan Tunggulsaka. Jangan lupa, jagalah rahasia kita ini! Rahasia ini akan kita jaga sampai kapan pun. Jangan sampai ada yang tahu. Ayo kita kembali ke Karangtirta!” perintah Ganggayuda.

”Baik, Gusti Patih...,” kata Jegonglopo sambil menunduk hormat.dia mengikuti langkah kaki Ganggayuda.

Keduanya segera meninggalkan Pantai Utara. Mereka berjalan ke arah selatan.

***

Malam ini Kota Kerajaan Karangtirta tercekam ketakutan. Adanya kabar yang menyatakan bahwa akan datang gerombolan perampok pimpinan Olengpati ke Kota Kerajaan Karangtirta membuat masyarakat ketakutan. Begitu matahari terbenam, semua pintu rumah telah tertutup rapat.

Berdasarkan desas-desus yang beredar luas di tengah masyarakat, kegagalan Tunggulsaka ketika menyerbu gerombolan Olengpati, menimbulkan dendam. Olengpati merasa dendam kepada Tunggulsaka dan pasukannya. Maka Olengpati ingin melakukan perampokan besar-besaran ke Kota Kerajaan Karangtirta.

Untuk menjaga kota kerajaan dari segala kemungkinan, Raja Tiyasa memerintahkan Banawarih, Ganggayuda, dan seluruh prajurit waspada. Setiap sudut kota, perempatan, dan jalan masuk ke kota kerajaan dijaga ketat oleh banyak prajurit bersenjata pedang. Sebagian besar prajurit diperintahkan untuk mengamankan kota kerajaan.

Demi menjaga keamanan, Tiyasa melarang rakyat keluar atau masuk kota kerajaan pada malam hari. Rakyat juga tidak boleh mengadakan kegiatan atau pertemuan apa pun pada malam hari. Raja Tiyasa tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.

Karena larangan dari sang raja, maka situasi malam hari sangat lengang dan mencekam. Jalan-jalan kota kerajaan hanya dipenuhi para prajurit yang berjaga-jaga dengan pedang di tangan. Di istana kerajaan, penjagaan lebih diperketat. Setiap sudut lokasi istana dijaga beberapa prajurit pilihan.

”Bagaimana keadaan kota kerajaan bagian barat, Patih Ganggayuda?” tanya Banawarih ketika bertemu Ganggayuda di sebuah jalan. Keduanya sama-sama naik kuda.

”Aman, Pangeran,” jawab Ganggayuda singkat. ”Bagaimana keadaan bagian timur?”

”Juga aman, baiklah, kalau begitu aku akan menuju selatan. Mari, Patih Ganggayuda!”

”Mari!”

Banawarih pun berlalu ke arah selatan. Dia pacu kudanya dengan cepat. Tapak kuda meninggalkan debu-debu berterbangan. Sepeninggal Banawarih, Ganggayuda memacu kudanya ke arah utara dengan perasaan riang sekali.

Dalam perjalanan ke arah utara, Ganggayuda merasa bahwa sebentar lagi Kerajaan Karangtirta akan runtuh. Raja Tiyasa secara rela atau terpaksa akan menyerahkan tahta. Dia bukan menyerahkan tahta kepada Banaswarih, tetapi kepada pemberontak yang memaksanya turun dari  singgasana. Selanjutnya dia menyerahkan mahkota raja kepada pimpinan pemberontak.

Pada saat ini kota kerajaan bagian utara di jaga ketat oleh Lunjak dan Bandem. Dua abdi setia Banawarih. Dua prajurit pilihan ini biasanya selalu bersama Banawarih, namun malam ini sengaja diberi tugas oleh sang pangeran untuk berjaga di bagian utara.

”Kenapa akhir-akhir ini situasi Karangtirta kurang aman?” tanya Lunjak kepada Bandem. ”Apakah hanya karena perampokan yang dilakukan gerombolan Olengpati.”

”Maksudmu apa, Lunjak? Aku kok belum jelas!” Bandem balik bertanya.

”Olengpati melakukan perampokan itu hanya sekedar merampok harta milik rakyat ataukah punya tujuan lain?”

”Menurut pendapatku, mungkin Olengpati punya tujuan lain. Ini ada buktinya.”

”Apa?”

”Buktinya malam ini. Kalau hanya sekedar ingin merampok, Olengpati mestinya tidak usah menyebarkan berita simpang siur segala.”

”Ya, mungkin Olengpati merasa dirinya bakal berhasil merampok, lalu meloloskan diri walau dijaga prajurit secara ketat.”

”Itu juga bisa. Tetapi dia agaknya juga ingin membuat rakyat jadi resah. Bila rakyat resah, kerajaan Karangtirta goyah, sehingga mudah ditundukkan.”

”Mungkinkah Olengpati punya keinginan yang kuat untuk merebut tahta Karangtirta?”

”Bisa saja. Tapi itu tak mungkin bisa teraih. Olengpati itu siapa? Apa kehebatannya? Seseorang bisa melakukan perebutan kekuasaan kalau mempunyai pasukan kuat dan biaya yang banyak.”

Malam semakin larut. Lunjak dan Bandem tidur dengan kepala bersandar di dinding gardu pojok jalan.

Saat bersamaan ada dua orang berpakaian serba hitam bersenjata golok melewati jalan itu. Keduanya menuju rumah mewah dekat gardu yang digunakan Lunjak dan Bandem tidur.

Kedua orang itu mengetuk pintu rumah tersebut. Golok tajam mereka persiapkan kalau-kalau tuan rumah berani melawan mereka. Kedua anak buah Olengpati itu tak segan-segan menghabisi tuan rumah bila berani melawan mereka!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status