Share

Pendekar Berpakaian Serba Kuning

Jegonglopo berusaha melihat walau pandangannya kabur. Pandangan Jegonglopo kabur akibat tendangan Tunggulsaka yang mengena perutnya. Sesaat setelah terkena tendangan, Jegonglopo merasakan sakit yang tak tertahankan. Dia mundur beberapa langkah, terhuyung, lalu terbungkuk-bungkuk sambil memegangi perut dengan tangan kiri. Tangan kanan masih memegang senjata saktinya.

Saking menahan rasa sakit yang mendera, seluruh tubuh terasa lunglai. Mata pun berkurang keawasannya. Pandangan mata jadi kabur. Dia masih terhuyung sambil terus menjauhi musuh. Dalam kondisi seperti saat ini bila Tunggulsaka mau, bisa membunuh Jegonglopo dengan sekali tebasan keris saktinya.

Tunggulsaka bukan tandinganku. Begitu kata hati Jegonglopo yang paling jujur. Mestinya yang melawan Tunggulsaka secara langsung adalah Olengpati atau Gusti Patih Ganggayuda.

Tunggulsaka berdiri tegar menunggu dengan sabar dan tenang sampai lawannya siap untuk bertarung lagi. Tunggulsaka selalu menjunjung adab dalam segala situasi, termasuk pada saat perang atau bertarung. Dalam peperangan atau pertarungan di dunia persilatan, seorang pendekar tidak boleh menyerang musuh yang berada dalam keadaan tak berdaya, lemah, atau pun sudah menyerah kalah.

Jegonglopo memang belum menyatakan diri untuk menyerah, tapi dirinya lemah dan tak berdaya. Ibaratnya, hanya dengan satu pukulan tangan kosong pada bagian tubuh yang vital, bisa berakibat fatal. Tunggulsaka memahami adab perang dan bertarung. Dia juga melaksanakan adab itu. Sebagai seorang bekas Senapati Tunggulsaka, dirinya tetap memagang teguh adab itu.

“Jegonglopo, sebaiknya kamu menyerahkan dirimu pada prajurit Kerajaan Karangtirta sebelum semua terlanjur,” nasihat bijak Tunggulsaka. “Daripada nanti dirimu terseret dalam persoalan yang lebih rumit karena terlibat pemberontakan, lebih baik menyerahan diri sekarang juga. Mari kamu kubawa ke pintu gerbang Istana Kerajaan Karangtirta. Di sana nanti ada prajurit dan punggawa kerajaan yang akan memperlakukan dirimu dengan baik kalau kamu mau menyerahkan diri secara baik-baik.”

Jegonglopo terdiam. Dia terduduk untuk memulihkan tenaga setelah sakitnya mereda. Dalam keadaan duduk, dia menunduk. Bukannya takut pada Tunggulsaka atau pun kematian. Namun dia merasa ragu untuk mengambil keputusan antara menyerah ataukah tetap menjadi anggota Olengpati.

Suasana senyap. Hanya deburan ombak yang mengisi kesenyapan di antara dua orang yang baru saja bertarung dengan menggunakan senjata sakti.

Dalam keadaan sunyi, tiba-tiba terdengar tepukan keras bersama hadirnya sosok manusia yang sangat dikenal Tunggulsaka, Patih Ganggayuda...! Patih Ganggayuda melompat dari arah selatan. Dia menapakkan kedua kaki tepat di samping kiri Jegonglopo. Patih Kerajaan Karangtirta itu berhadap-hadapan dengan Tunggulsaka.

Sikap Ganggayuda tenang. Tidak pasang kuda-kuda atau pun mencabut senjata. Dia hanya berdiri sambil menatap Tunggulsaka dengan pandangan menekan.

”Sudah kuduga, kamu yang berada di balik semua ini!” kata Tunggulsaka dengan sikap tak kalah tenang. Dia menyarungkan kembali keris saktinya.

Tunggulsaka tersenyum sinis sambil berkata, “Aku sekarang bukan Senapati Tunggulsaka lagi, maka aku tidak perlu merasa sebagai anak buahmu, Ganggayuda. Aku mencabut basa-basi tentang kepangkatan saat ini. Aku rakyat jelata yang bebas dan merdeka berbuat sesuka hatiku.”

Bajingan tengik! Umpat Ganggayuda dalam hati. Tunggulsaka berani bersikap kurang ajar padaku. Tapi aku tahu, dia memang kesatria hebat. Dia pendekar hebat yang namanya moncer di dunia persilatan sebelum menjadi senapati di Kerajaan Karangtirta. Walau dia sekarang hanya rakyat jelata, tapi kemampuan silatnya tidak boleh dianggap ringan. Kemampuan silat dan kesaktian seseorang, atau seorang pendekar tidak ada hubugannya dengan kedudukan dan kepangkatannya.

“Apa tujuanmu berbuat seperti ini? Apa keinginanmu dengan membuat kekacauan di Karangtirta? Apa yang kamu inginkan, sampai menyuruh orang untuk membunuhku?” Tunggulsaka mengajukan beberapa pertanyaan sekaligus.

”Huahahaha..., hebat..., otakmu ternyata masih bisa berpikir dengan baik!” kata Ganggayuda dengan nada ringan. “Dengarkan  senapati lancung! Karena kamu sebentar lagi bakal mampus, maka kamu boleh mengetahui rahasia besar ini,” kata Ganggayuda sambil mendekati Tunggulsaka. ”Terus terang..., aku ingin menjadi raja di Karangtirta!”

Tunggulsaka kembali tersenyum sambil memandang wajah Ganggayuda dengan pandangan jijik dan merendahkan. Bekas senapati Karangtirta itu menjauhi Ganggayuda. Atau setidaknya berjarak. Aja cedhak kebo gupak. Jangan dekat kerbau yang kotor. Tunggulsaka tidak mau terseret kekotoran pikiran dan perilaku Ganggayuda.

”Apa? Heh…, kamu ingin menjadi raja Karangtirta?” tanya Tunggulsaka dengan wajah dingin. “Bukankah tahta kerajaan bakal diserahkan kepada putra mahkota? Bukankah hanya Pangeran Banawarih yang berhak menjadi raja Karangtirta setelah Raja Tiyasa surut?”

”Itu kalau menurut adat istiadat kuno yang sudah usang!” sanggah Ganggayuda. “Aku ingin membuat aturan baru, siapa pun dapat menjadi raja di Karangtirta asal dia mampu meruntuhkan kedudukan Tiyasa! Nanti kalau aku sudah berhasil menjadi raja, aturan itu akan kuubah lagi sesuai kepentinganku, huhahahahaha….!!!”

Tunggulsaka semula diam sambil memperhatikan Ganggayuda yang tertawa-tawa seolah-olah baru saja memenangkan sebuah peperangan. Setelah Ganggayuda reda tawanya, Tunggulsaka yang gentian tertawa!

Sikap Tunggulsaka ini membuat Ganggayuda kaget. Jarang sekali Tunggulsaka tertawa. Tawa Tunggulsaka ini seolah-olah mengejek Ganggayuda.

“Kaget karena aku tertawa?” tanya Tunggulsaka. “Ingin tahu sebabnya? Aku tertawa karena dalam pikiranku, kamu sudah tidak waras. Kamu sudah gila. Gila kekuasaan yang bukan hakmu.”

”Apa? Kamu menganggapku  gila?”

“Nyatanya begitu kan?”

“Terserah saja kamu mau sebut apa! Yang jelas, kamu harus mampus sekarang juga!”

Ganggayuda secara cepat mencabut golok saktinya..., golok Wojoputih! Sebilah golok terbuat dari baja putih yang sangat beracun. Golok sakti memancarkan hawa dingin menusuk tulang. Golok Wojoputih menebarkan hawa dingin berbau wangi bisa menyebabkan lawan mengantuk. Ketika lawan mengantuk kurang bisa berpikir dalam pertarungan.

Patih berhati jahat itu pun membabatkan goloknya ke arah lawan dengan sabetan-sabetan yang cepat. Tunggulsaka menghindari sabetan golok sakti sambil mencabut keris saktinya. Sigap Tunggulsaka menangkis senjata lawan yang gencar menyerangnya. Beberapa kali terjadi benturan senjata sakti. Membuat tangan Tunggulsaka seperti kesemutan.

Keadaan tubuh Tunggulsaka makin lama makin lemah dan lelah. Matanya meredup akibat menyerap hawa dingin berbau wangi dari senjata lawan. Sehingga pertahanan dirinya berkurang.

Waduh…, hawanya mengantuk. Kata hati Tunggulsaka. Aku harus bisa mengusir rasa kantuk ini. Kalau tidak….

Breeet!

Lengan kiri Tunggulsaka tergores senjata lawan. Seketika tubuh bekas senapati itu tersungkur jatuh di pasir putih. Tunggulsaka terduduk dalam keadaan lemah. Lemas. Serasa tidak bertenaga sama sekali. Tunggulsaka masih menggenggam kerisnya, tapi kepala terasa mulai pening.

Ganggayuda dan Jegonglopo mendekati tubuh lawan yang tengkurap memeluk bumi. Keduanya saling pandang.

“Ini kesempatan kita untuk menghabisi dia!” kata Ganggayuda lirih kepada Jegonglopo.

“Tapi, Gusti Patih…, dia dalam keadaan lemah,” Jegonglopo mengingatkan. “Kita tidak boleh membunuh musuh yang sedang lemah.”

“Ah…, itu aturan kuno. Aku tidak taat aturan goblok itu. Kesempatan ini jangan disia-siakan! Ayo kita habisi dia agar kekuatan Kerajaan Karangtirta berkurang!”

Semula Jegonglopo ragu-ragu. Namun dia ikut kemauan Ganggayuda juga akhirnya.

Kedua pendekar yang sama-sama keji itu siap menghujam tubuh lawan dengan menggunakan senjata sakti masing-masing!

“Hei..., lihat kemari!” terdengar teriakan keras dari kejauhan.

Ganggayuda dan Jegonglopo menoleh. Di kejauhan terlihat sosok pendekar berpakaian serba kuning yang mengenakan ikat pinggang dari sarung pedang berhiaskan kepala burung rajawali.

Ganggayuda dan Jegonglopo saling pandang disertai perasaan heran.

“Siapa dia?” tanya Ganggayuda. “Kok pakaiannya berwarna kuning?”

“Dia Suro Joyo, Gusti Patih,” jawab Jegonglopo dengan nada yakin. “Baju boleh ganti warna yang baru, tapi ikat pinggangnya itu masih kuingat. Dia Suro Joyo!”

Ganggayuda juga sudah mengenali sosok pendekar yang berkacak pinggang di kejauhan sana. Dia memang pendekar yang punya julukan Pendekar Rajah Cakra Geni. Sosok pendekar yang sangat terkenal di dunia persilatan!

Mereka terkejut melihat penampilan Suro Joyo yang berbeda dari sebelumnya. Pakaian yang semula berwarna putih, kini berganti warna kuning.

“Untuk apa Suro Joyo ada di sini?” tanya Ganggayuda pada Jegonglopo. “Apa dia mau pamer baju pakaiannya?”

Jegonglopo tak sempat menjawab pertanyaan Ganggayuda.

Tiba-tiba mereka melihat telapak tangan kanan Suro memancarkan sinar merah. Sinar merah itu memancar dari lingkaran bergerigi delapan yang terdapat di telapak tangan. Suro Joyo mengeluarkan ajian saktinya…, Ajian Rajah Cakra Geni...!

Ada leretan sinar merah melesat cepat mengarah Ganggayuda dan Jegonglopo. Ganggayuda dan Jegonglopo menangkis sinar merah dengan menggunakan senjata sakti di tangan masing-masing.

Dhuaaar!

Terdengar ledakan keras akibat benturan tiga kekuatan dahsyat. Tubuh Ganggayuda dan Jegonglopo terlempar ke pinggiran laut dalam keadaan masih menggenggam senjata masing-masing. Ombak dari tengah laut menghantam keduanya. Mereka bergulat dengan ombak untuk kembali ke tepi pantai.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status