Jegonglopo berusaha melihat walau pandangannya kabur. Pandangan Jegonglopo kabur akibat tendangan Tunggulsaka yang mengena perutnya. Sesaat setelah terkena tendangan, Jegonglopo merasakan sakit yang tak tertahankan. Dia mundur beberapa langkah, terhuyung, lalu terbungkuk-bungkuk sambil memegangi perut dengan tangan kiri. Tangan kanan masih memegang senjata saktinya.
Saking menahan rasa sakit yang mendera, seluruh tubuh terasa lunglai. Mata pun berkurang keawasannya. Pandangan mata jadi kabur. Dia masih terhuyung sambil terus menjauhi musuh. Dalam kondisi seperti saat ini bila Tunggulsaka mau, bisa membunuh Jegonglopo dengan sekali tebasan keris saktinya.
Tunggulsaka bukan tandinganku. Begitu kata hati Jegonglopo yang paling jujur. Mestinya yang melawan Tunggulsaka secara langsung adalah Olengpati atau Gusti Patih Ganggayuda.
Tunggulsaka berdiri tegar menunggu dengan sabar dan tenang sampai lawannya siap untuk bertarung lagi. Tunggulsaka selalu menjunjung adab dalam segala situasi, termasuk pada saat perang atau bertarung. Dalam peperangan atau pertarungan di dunia persilatan, seorang pendekar tidak boleh menyerang musuh yang berada dalam keadaan tak berdaya, lemah, atau pun sudah menyerah kalah.
Jegonglopo memang belum menyatakan diri untuk menyerah, tapi dirinya lemah dan tak berdaya. Ibaratnya, hanya dengan satu pukulan tangan kosong pada bagian tubuh yang vital, bisa berakibat fatal. Tunggulsaka memahami adab perang dan bertarung. Dia juga melaksanakan adab itu. Sebagai seorang bekas Senapati Tunggulsaka, dirinya tetap memagang teguh adab itu.
“Jegonglopo, sebaiknya kamu menyerahkan dirimu pada prajurit Kerajaan Karangtirta sebelum semua terlanjur,” nasihat bijak Tunggulsaka. “Daripada nanti dirimu terseret dalam persoalan yang lebih rumit karena terlibat pemberontakan, lebih baik menyerahan diri sekarang juga. Mari kamu kubawa ke pintu gerbang Istana Kerajaan Karangtirta. Di sana nanti ada prajurit dan punggawa kerajaan yang akan memperlakukan dirimu dengan baik kalau kamu mau menyerahkan diri secara baik-baik.”
Jegonglopo terdiam. Dia terduduk untuk memulihkan tenaga setelah sakitnya mereda. Dalam keadaan duduk, dia menunduk. Bukannya takut pada Tunggulsaka atau pun kematian. Namun dia merasa ragu untuk mengambil keputusan antara menyerah ataukah tetap menjadi anggota Olengpati.
Suasana senyap. Hanya deburan ombak yang mengisi kesenyapan di antara dua orang yang baru saja bertarung dengan menggunakan senjata sakti.
Dalam keadaan sunyi, tiba-tiba terdengar tepukan keras bersama hadirnya sosok manusia yang sangat dikenal Tunggulsaka, Patih Ganggayuda...! Patih Ganggayuda melompat dari arah selatan. Dia menapakkan kedua kaki tepat di samping kiri Jegonglopo. Patih Kerajaan Karangtirta itu berhadap-hadapan dengan Tunggulsaka.
Sikap Ganggayuda tenang. Tidak pasang kuda-kuda atau pun mencabut senjata. Dia hanya berdiri sambil menatap Tunggulsaka dengan pandangan menekan.
”Sudah kuduga, kamu yang berada di balik semua ini!” kata Tunggulsaka dengan sikap tak kalah tenang. Dia menyarungkan kembali keris saktinya.
Tunggulsaka tersenyum sinis sambil berkata, “Aku sekarang bukan Senapati Tunggulsaka lagi, maka aku tidak perlu merasa sebagai anak buahmu, Ganggayuda. Aku mencabut basa-basi tentang kepangkatan saat ini. Aku rakyat jelata yang bebas dan merdeka berbuat sesuka hatiku.”
Bajingan tengik! Umpat Ganggayuda dalam hati. Tunggulsaka berani bersikap kurang ajar padaku. Tapi aku tahu, dia memang kesatria hebat. Dia pendekar hebat yang namanya moncer di dunia persilatan sebelum menjadi senapati di Kerajaan Karangtirta. Walau dia sekarang hanya rakyat jelata, tapi kemampuan silatnya tidak boleh dianggap ringan. Kemampuan silat dan kesaktian seseorang, atau seorang pendekar tidak ada hubugannya dengan kedudukan dan kepangkatannya.
“Apa tujuanmu berbuat seperti ini? Apa keinginanmu dengan membuat kekacauan di Karangtirta? Apa yang kamu inginkan, sampai menyuruh orang untuk membunuhku?” Tunggulsaka mengajukan beberapa pertanyaan sekaligus.
”Huahahaha..., hebat..., otakmu ternyata masih bisa berpikir dengan baik!” kata Ganggayuda dengan nada ringan. “Dengarkan senapati lancung! Karena kamu sebentar lagi bakal mampus, maka kamu boleh mengetahui rahasia besar ini,” kata Ganggayuda sambil mendekati Tunggulsaka. ”Terus terang..., aku ingin menjadi raja di Karangtirta!”
Tunggulsaka kembali tersenyum sambil memandang wajah Ganggayuda dengan pandangan jijik dan merendahkan. Bekas senapati Karangtirta itu menjauhi Ganggayuda. Atau setidaknya berjarak. Aja cedhak kebo gupak. Jangan dekat kerbau yang kotor. Tunggulsaka tidak mau terseret kekotoran pikiran dan perilaku Ganggayuda.
”Apa? Heh…, kamu ingin menjadi raja Karangtirta?” tanya Tunggulsaka dengan wajah dingin. “Bukankah tahta kerajaan bakal diserahkan kepada putra mahkota? Bukankah hanya Pangeran Banawarih yang berhak menjadi raja Karangtirta setelah Raja Tiyasa surut?”
”Itu kalau menurut adat istiadat kuno yang sudah usang!” sanggah Ganggayuda. “Aku ingin membuat aturan baru, siapa pun dapat menjadi raja di Karangtirta asal dia mampu meruntuhkan kedudukan Tiyasa! Nanti kalau aku sudah berhasil menjadi raja, aturan itu akan kuubah lagi sesuai kepentinganku, huhahahahaha….!!!”
Tunggulsaka semula diam sambil memperhatikan Ganggayuda yang tertawa-tawa seolah-olah baru saja memenangkan sebuah peperangan. Setelah Ganggayuda reda tawanya, Tunggulsaka yang gentian tertawa!
Sikap Tunggulsaka ini membuat Ganggayuda kaget. Jarang sekali Tunggulsaka tertawa. Tawa Tunggulsaka ini seolah-olah mengejek Ganggayuda.
“Kaget karena aku tertawa?” tanya Tunggulsaka. “Ingin tahu sebabnya? Aku tertawa karena dalam pikiranku, kamu sudah tidak waras. Kamu sudah gila. Gila kekuasaan yang bukan hakmu.”
”Apa? Kamu menganggapku gila?”
“Nyatanya begitu kan?”
“Terserah saja kamu mau sebut apa! Yang jelas, kamu harus mampus sekarang juga!”
Ganggayuda secara cepat mencabut golok saktinya..., golok Wojoputih! Sebilah golok terbuat dari baja putih yang sangat beracun. Golok sakti memancarkan hawa dingin menusuk tulang. Golok Wojoputih menebarkan hawa dingin berbau wangi bisa menyebabkan lawan mengantuk. Ketika lawan mengantuk kurang bisa berpikir dalam pertarungan.
Patih berhati jahat itu pun membabatkan goloknya ke arah lawan dengan sabetan-sabetan yang cepat. Tunggulsaka menghindari sabetan golok sakti sambil mencabut keris saktinya. Sigap Tunggulsaka menangkis senjata lawan yang gencar menyerangnya. Beberapa kali terjadi benturan senjata sakti. Membuat tangan Tunggulsaka seperti kesemutan.
Keadaan tubuh Tunggulsaka makin lama makin lemah dan lelah. Matanya meredup akibat menyerap hawa dingin berbau wangi dari senjata lawan. Sehingga pertahanan dirinya berkurang.
Waduh…, hawanya mengantuk. Kata hati Tunggulsaka. Aku harus bisa mengusir rasa kantuk ini. Kalau tidak….
Breeet!
Lengan kiri Tunggulsaka tergores senjata lawan. Seketika tubuh bekas senapati itu tersungkur jatuh di pasir putih. Tunggulsaka terduduk dalam keadaan lemah. Lemas. Serasa tidak bertenaga sama sekali. Tunggulsaka masih menggenggam kerisnya, tapi kepala terasa mulai pening.
Ganggayuda dan Jegonglopo mendekati tubuh lawan yang tengkurap memeluk bumi. Keduanya saling pandang.
“Ini kesempatan kita untuk menghabisi dia!” kata Ganggayuda lirih kepada Jegonglopo.
“Tapi, Gusti Patih…, dia dalam keadaan lemah,” Jegonglopo mengingatkan. “Kita tidak boleh membunuh musuh yang sedang lemah.”
“Ah…, itu aturan kuno. Aku tidak taat aturan goblok itu. Kesempatan ini jangan disia-siakan! Ayo kita habisi dia agar kekuatan Kerajaan Karangtirta berkurang!”
Semula Jegonglopo ragu-ragu. Namun dia ikut kemauan Ganggayuda juga akhirnya.
Kedua pendekar yang sama-sama keji itu siap menghujam tubuh lawan dengan menggunakan senjata sakti masing-masing!
“Hei..., lihat kemari!” terdengar teriakan keras dari kejauhan.
Ganggayuda dan Jegonglopo menoleh. Di kejauhan terlihat sosok pendekar berpakaian serba kuning yang mengenakan ikat pinggang dari sarung pedang berhiaskan kepala burung rajawali.
Ganggayuda dan Jegonglopo saling pandang disertai perasaan heran.
“Siapa dia?” tanya Ganggayuda. “Kok pakaiannya berwarna kuning?”
“Dia Suro Joyo, Gusti Patih,” jawab Jegonglopo dengan nada yakin. “Baju boleh ganti warna yang baru, tapi ikat pinggangnya itu masih kuingat. Dia Suro Joyo!”
Ganggayuda juga sudah mengenali sosok pendekar yang berkacak pinggang di kejauhan sana. Dia memang pendekar yang punya julukan Pendekar Rajah Cakra Geni. Sosok pendekar yang sangat terkenal di dunia persilatan!
Mereka terkejut melihat penampilan Suro Joyo yang berbeda dari sebelumnya. Pakaian yang semula berwarna putih, kini berganti warna kuning.
“Untuk apa Suro Joyo ada di sini?” tanya Ganggayuda pada Jegonglopo. “Apa dia mau pamer baju pakaiannya?”
Jegonglopo tak sempat menjawab pertanyaan Ganggayuda.
Tiba-tiba mereka melihat telapak tangan kanan Suro memancarkan sinar merah. Sinar merah itu memancar dari lingkaran bergerigi delapan yang terdapat di telapak tangan. Suro Joyo mengeluarkan ajian saktinya…, Ajian Rajah Cakra Geni...!
Ada leretan sinar merah melesat cepat mengarah Ganggayuda dan Jegonglopo. Ganggayuda dan Jegonglopo menangkis sinar merah dengan menggunakan senjata sakti di tangan masing-masing.
Dhuaaar!
Terdengar ledakan keras akibat benturan tiga kekuatan dahsyat. Tubuh Ganggayuda dan Jegonglopo terlempar ke pinggiran laut dalam keadaan masih menggenggam senjata masing-masing. Ombak dari tengah laut menghantam keduanya. Mereka bergulat dengan ombak untuk kembali ke tepi pantai.
***
Ganggayuda dan Jegonglopo bersusah payah berusaha keluar dari seretan ombak. Ombak besar hendak menyeret tubuh dua manusia kejam itu menuju ke tengah lautan. Lautan ingin menelan mereka. Barangkali laut itu tidak suka pada dua manusia yang suka menebar kejahatan itu. Setelah bersusah payah melepaskan diri dari jeratan ombak, mereka berhasil berenang hingga sampai di tepi pantai. “Brengsek! Ajian dari Suro Joyo memang hebat dan sulit ditangkal,” kata Ganggayuda sambil menyeka air dari wajahnya. “Untung saja kita tidak terseret ombak besar. Kalau sampai terseret ombak besar, kita bisa tenggelam dan mati ditelan lautan.” “Ya, kita masih beruntung, Gusti Patih,” Jegonglopo menanggapi. “Kebanyakan musuh Suro Joyo yang terkena Ajian Rajah Cakra Geni menemui kematian. Kita sangat beruntung karena lolos dari kematian ketika kena hantaman Ajian Rajah Cakra Geni.” “Apa benar yang kamu katakan itu Jegonglopo?” “Benar, Gusti Patih. Jati Kawangwang, Riris
Mengancam dan membunuh merupakan ‘pekerjaan’ para gerombolan perampok pimpinan Olengpati. Dengan dia cara itulah mereka mencari makan. Mereka mengumpulkan harta benda dengan cara menakut-nakuti dan meneror korban. Kalau cara pertama, yakni menakut-nakuti dan meneror gagal, maka cara kedua ditempuh, membunuh. Menghilangkan nyawa orang lain untuk mendapatkan hartanya secara paksa. Pakaian warna hitam menjadi ciri khas anak buah Olengpati. Pakaian warna gelap itu memudahkan mereka untuk bersembunyi dan menyusup ke rumah calon korban. Setelah mendapatkan hasil, pakaian hitam itu memudahkan mereka bersembunyi dari kejaran prajurit atau penduduk desa yang punya nyali. Kadang-kadang di sebuah desa ada saja pendekar pemberani yang siap bertarung untuk menghabisi anak buah Olengpati. Malam ini dua anak buah Olengpati telah mengetuk pintu rumah penduduk yang ada di Kota Kerajaan Karangtirta bagian utara. Pemilik rumah membukakan pintu. Dia mengira prajurit Karangtirta yang men
Janurwasis tidak langsung menjawab pertanyaan Wening Kusuma. Dia malah membayangkan kalau dalam waktu dekat nanti bisa bermesraan lebih mendalam dengan gadis cantik itu. Tangan Janurwasis sudah gatal untuk meraba-raba lekuk liku tubuh si gadis. “Janurwasis!” panggil Wening Kusuma dengan nada agak keras. Dia amati kekasihnya itu memandang ke kejauhandengan pandangan kosong. Seperti melamunkan sesuatu. “E…, i-iya…, ya, ya…, ada apa?” Janurwasis gelagapan. “Ada apa, Wening?” “Lho…, kamu ini bagaimana? Lha wong ditanya saja belum menjawab, malah balik bertanya!” “Eh, iya, kamu tadi tanya apa?” “Aku tadi tanya, kabarmu bagaimana setelah kita lama tak jumpa?” ”Baik. Aku baik-baik saja,” jawab Janur singkat. “Selama berpisah denganmu, aku baik-baik saja. Tidak ada sesuatu pun yang buruk terjadi padaku.” Wening Kusuma tersenyum. Lalu senyum-senyum. Wening Kusuma memandangi wajah tampan di depannya dengan senyum-senyum. Senyum W
Janurwasis dan Wening Kusuma mundur beberapa langkah. Mereka menjauhi dua prajurit Karangtirta yang dengan semangatnya menyerang dengan tangan kosong. Dalam pemikiran mereka, tidak ada gunanya bertarung dengan dua prajurit itu. juga tidak ada gunanya melakukan pertarungan melawan Ganggayuda. Ada urusan lebih penting yang mesti didahulukan.“Kita kabur sekarang,” bisik Janurwasis dekat telinga sang kekasih.“Ya, aku sudah siap sekarang,” sahut Wening Kusuma juga dengan berbisik.Ganggayuda pasang kuda-kuda karena melihat gelagat mencurigakan pada Janurwasis dan Wening Kusuma. Ganggayuda curiga kedua orang itu akan meninggalkan arena pertarungan.“Hei, kalian bisik-bisik ada apa?” tanya Ganggayuda dengan nada tinggi. “Kalian mau membuat kerusuhan di Karangtirta?””Maaf, Patih Ganggayuda..., bukan bakat kami membuat kerusuhan,” kata Janurwasis tenang. “Kami ini orang baik-baik yang kebe
Tunggulsaka tersenyum sambil berkata, “Kamu berhak mewarisi tahta Kerajaan Krendobumi karena kamu putra mahkota, tetapi kamu secara halus menolak tahta itu. Dengan kata lain kamu tidak ingin menjadi raja di Kerajaan Krendobumi, padahal sebagai putra mahkota, kamu sudah sepantasnya kelak menjadi raja di Krendobumi.”“Sebaliknya,” lanjut Tunggulsaka, “Patih Ganggayuda, yang tidak berhak jadi raja di Kerajaan Karangtirta, tetapi sangat berkeinginan menjadi raja. Patih Ganggayuda sangat berambisi menjadi raja di Karangtirta. Saking nekatnya, dia ingin melakukan pemberontakan.”Suro Joyo tersenyum setelah mendengar sanjungan Tunggulsaka. Sebagai orang yang biasa memposisikan diri sebagai rakyat jelata, bukan pangeran atau putra mahkota, Suro Joyo kurang nyaman kalau disanjung. Kenapa? Karena yang dia jalani atau lakukan dia anggap sebagai sesuatu yang biasa saja. Bukan istimewa. Bukan sesuatu yang perlu disanjung.”Tunggulsak
Tunggulsaka merasa tidak enak hati terhadap Suro Joyo. Dia merasa terlalu merepotkan orang lain. Bahkan Tunggulsaka merasa dirinya menjadi beban karena keadaan tubuhnya yang belum sembuh aibat luka dalam yang dideritanya.Namun dalam situasi sekarang, Tunggulsaka tidak perlu memikirkan hal yang sepele seperti itu. Ada bahaya yang mengancam mereka. Setidaknya, telah ada percobaan dari orang-orang misterius yang ingin membunuh mereka bertiga.Tunggulsaka menduga bahwa yang ingin membunuh tadi adalah anak buah Olengpati. Olengpati tentunya tidak senang kalau ada orang atau orang-orang yang ingin membantu Tunggulsaka dan Kerajaan Karangtirta dari serangan pemberontak. Olengpati yang berada di barisan pemberontak bisa dipastikan akan menghabisi orang-orang yang dianggapnya sebagai musuh.Suro Joyo telah mengungkapkan rasa khawatirnya, dia yang mempunyai keinginan menuju Goa Setan. Tanpa berkata-kata lagi, Suro segera memanggul Tunggulsaka untuk dibawa kab
”Eit! Tunggu!” Wening Kusuma tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Tangan kanannya telah digandeng Janurwasis.“Ada apa?” Janurwasis merasa heran.“Uang emasnya mau ditinggal di sini?”“Oh iya ya…. Saking senangnya aku dapat gadis cantik macam kamu, sampai melupakan uang emas itu. Secantik apa pun uang emas, masih cantik kamu, Wening.”“Ah…, merayu terus sukanya.”“Tidak. Aku tidak merayu kok. Dirimu benar-benar cantik tiada duanya di dunia ini. Soal kabar miring yang menyatakan bahwa aku menjalin hubungan dengan gadis lain, itu bohong semua.”Wening Kusuma tersenyum senang mendengar kata-kata manis dari Janurwasis.Laki-laki itu segera memanggul peti kecil berisi uang emas yang terbuat dari logam mulia. Siapa pun yang berhasil memiliki uang emas sepenuh peti baja kecil itu, keak akan menjadi orang yang kaya raya.Janurwasis ber
“Aku harus menggunakan pedangku untuk menandingi golok mereka,” gumam Wening Kusuma lirih, yang hanya bisa didengar diri sendiri. “Janurwasis yang tangan kirinya memanggul peti baja kecil masih bisa menandingi keroyokan lawan. Hanya dengan tangan kanannya, mampu memukul dan menendang para pengeroyok. Aku tak sehebat Janurwasis dalam menghadapi anak buah Jegonglopo.”Kenyataannya memang begitu. Janurwasis lebih hebat dibandingkan Wening Kusuma dalam ilmu silat, penggunaan senjata, dan ajian. Kali ini Wening Kusuma memang harus mengakui bahwa laki-laki yang sangat dia cintai itu bisa diandalkan untuk menghadapi lawan. Berapa pun jumlah lawan, Janurwasis masih mampu mengatasi. Sehebat apa pun para pengeroyok itu, Janurwasis bisa mencederai beberapa orang di antara mereka.Wening Kusuma merasa bangga memiliki kekasih sehebat Janurwasis. Selama berada di sampingnya, Wening Kusuma merasa sangat bangga. Dirinya merasa aman dan terlindung ketika berada