Raja Tiyasa memperhatikan Tunggulsaka yang terlihat keruh wajahnya. Tunggulsaka terlihat sedang menahan amarah. Senapati unggulan Kerajaan Karangtirta ini terlihat gusar atas kata-kata yang dilontarkan Patih Ganggayuda.
Sebagai seorang senapati, Tunggulsaka memang merasa menyesal dan sedih atas kegagalan yang dialaminya. Namun mestinya Ganggayuda tidak lantas mencerca dan merendahkan Tunggulsaka. Ganggayuda tidak perlu memojokkan Tunggulsaka. Sesama punggawa Kerajaan Karangtirta mestinya saling membantu, saling membesarkan hati, dan saling menghibur di kala ada punggawa yang mengalami kesedihan atau pun kegagalan dalam tugasnya.
Dalam lubuk yang terdalam, rasa mangkel Tunggulsaka sedikit terobati setelah Tunggulsaka menyatakankepada Raja Tiyasa bahwa yang dia dengar hanya sang raja, bukan yang lainnya. Tentu saja, Tunggulsaka tidak akan mendengar atau pun memperhatikan kata-kata Ganggayuda.
Aku tak perlu mendengar kata-kata Ganggayuda yang sok tahu. Begitu batin Tunggulsaka. Ganggayuda yang kucurigai sebagai mata-mata bagi Olengpati merasa paling tahu tentang startegi perang untuk menumpas gerombolan pengacau di Kerajaan Karangtirta. Kalau dia peduli pada kejayaan Kerajaan Karangtirta, tentu minta kepada Raja Tiyasa agar mempercayakan penumpasan pengacau di perbatasan kepada dirinya. Mestinya Ganggayuda minta ijin pada Raja Tiyasa untuk menumpas gerombolan Olengpati.
”Senapati Tunggulsaka!” kata Ganggayuda kepada Tunggulsaka. ”Kamu katakan bahwa selain paduka raja tidak masuk dalam pemikiranmu. Apakah kamu tidak tahu bahwa aku adalah patih Karangtirta? Kamu masih di bawah perintahku.”
“Maaf, Ayahanda,” kata Banaswarih kepada Raja Tiyasa, “Ananada mau menyela sebentar.”
Raja Tiyasa tidak menjawab dengan kata-kata, tetapi hanya mengangguk. Raja Tiyasa sudah bisa memastikan, pertemuan kali ini akan panas. Lebih panas dar biasanya.
“Patih Ganggayuda,” kata Banaswarih sambil memandang Ganggayuda, sebagai Putra Mahkota Kerajaan Karangtirta, aku punya hak untuk bersuara dalam pertemuan ini. Kali ini aku akan menggunakan hakku.”
Ganggayuda tidak menyahut. Hanya mengangguk-angguk, tidak berani membantah. Walau kedudukan Ganggayuda paling tinggi setelah raja, tetapi Banaswarih juga punya posisi yang tidak bisa dianggap rendah. Banaswarih adalah putra mahkota, calon pengganti Raja Tiyasa.
“Mestinya Patih Ganggayuda mengambil alih tugas yang gagal dilaksanakan Senapati Tunggulsaka,” kata Banaswarih. Banaswarih telah memegang Soka Pratanda. Walau dia sampai saat ini merahasiakan terhadap siapa pun, tetapi sejak saat memegang Soka Pratanda, dirinya berhak mengambil tindakan apa pun demi keamanan Kerajaan Karangtirta. Kalau ada punggawa Kerajaan Karangtirta yang membangkang saat dia perintah, Banaswarih akan menunjukkan simbol kekuasaan Raja Tiyasa itu.
“Patih Ganggayuda tidak berhak berbicara seenaknya terhadap Senapati Tunggulsaka di pertemuan agung seperti ini tanpa minta ijin dulu kepada Raja Tiyasa,” lanjut Banaswarih. “Walau Kerajaan Karangtirta sedang dilanda desas-desus akan adanya pemberontakan, tetapi Raja Tiyasa masih memegang tampuk kekuasaan di Kerajaan Karangtirta. Saat ini yang menjadi raja di Karangtirta itu Raja Tiyasa, bukan Ganggayuda atau pun Banaswarih. Kamu paham yang kumaksud, Patih Ganggayuda?”
Ganggayuda hanya diam sambil mengangguk. Walaupun dalam hati merutuk. Bangsat tengik si pangeran bau kencur ini! Mentang-mentang dia putra mahkota, berani bersikap kurang sopan terhadap orang yang lebih tua. Walaupun aku bukan raja, setidaknya dia menghargai bahwa aku ini patih di Kerajaan Karangtirta.
Suasana sunyi. Semua tegang dengan pikiran masing-masing.
”Paduka Raja Tiyasa,” kata Tunggulsaka sambil melakukan sembah hormat, “hamba mohon Paduka memberi petunjuk pada hamba.”
Tunggulsaka lagi-lagi tidak menghiraukan perkataan Ganggayuda. Baru saja dia merasa dibela oleh Banaswarih, sehingga lebih percaya diri. Namun Tunggulsaka merasa dirinya belum mendapat dukungan Raja Tiyasa.
”Kalau Paduka Raja tidak memberi petunjuk tentang apa yang mesti hamba lakukan selanjutnya setelah kegagalan ini, sama artinya Paduka Raja tidak percaya lagi pada hamba,” lanjut Tunggulsaka. “Apabila Paduka Raja tidak percaya lagi pada hamba, maka mulai sekarang juga hamba mohon berhenti jadi senapati. Sekaligus hamba mohon diri untuk meninggalkan Kerajaan Karangtirta...!”
Rupanya perasaan Tunggulsaka tersinggung oleh sikap Raja Tiyasa yang sejak tadi masih diam. Siap diam Raja Tiyasa dia anggap mendukung Ganggayuda. Ganggayuda yang begitu seenaknya menyalahkan Tunggulsaka atas kegagalannya membasmi Olengpati dan gerombolannya.
Tanpa menunggu jawaban Tiyasa, tunggulsaka segera menghaturkan sembah hormat, lalu berlalu meninggalkan pertemuan penting itu. Langkah kaki Tunggulsaka tegap menandakan bahwa dirinya sudah bulat dalam mengambil keputusan.
”Tunggulsaka..., tunggu!” kata Tiyasa. Namun Tunggulsaka telah jauh meninggalkan istana kerajaan.
Sebenarnya Banaswarih ingin mengejar sambil menunjukkan Soka Pratanda pada Tunggulsaka, tapi niatnya itu dia batalkan. Dia merasa belum saatnya membuka rahasia besar itu. Walau hati merasa sedih, tapi Banaswarih harus meredam rasa sedihnya demi memberi ketenangan batin pada ayahnya.
”Sudahlah, Paduka Raja, biarlah dia pergi!” hibur Ganggayuda. ”Kepergian Tunggulsaka bukan karena kesalahan kita, tetapi atas kemauannya sendiri. Kita tidak mengusir, tapi pergi dengan sendirinya. Jangan khawatir, Paduka Raja, hamba siap menjadi benteng pertahanan demi kejayaan Karangtirta. Hamba siap berkorban jiwa dan raga demi Kerajaan Karangtirta.”
Banaswarih merasa yang dikatakan Ganggayuda itu tidak tulus. Dia cermati nada suara Ganggayuda seperti orang yang pura-pura. Pura-pura tulus padahal hatinya tidak ikhlas. Pura-pura baik, padahal hatinya busuk.
Orang yang nada bicaranya dihalus-haluskan semacam Ganggayuda ini biasanya mempunyai tujuan tersembunyi. Kata-kata yang diucapkan berbeda dengan isi hatinya. Orang semacam ini pintar menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Banyak orang yang tertipu oleh manusia yang pandai berkata-kata dengan nada halus. Padahal di balik kehaluasn kata-katanya tersembunyi niat yang tidak halus.
”Terima kasih atas kesetiaanmu, Ganggayuda. Sekarang pertemuan ini kita akhiri,” kata Tiyasa. ”Mulai sekarang perketat penjagaan di seluruh wilayah Karangtirta! Kalian semua boleh meninggalkan pendapa istana!”
Pertemuan penting yang dihadiri banyak punggawa Kerajaan Karangtirta itu pun berakhir. Semua punggawa kerajaan meninggalkan istana menuju rumah masing-masing. Tinggal Banaswarih yang masih berada di istana bersama ayahandanya.
”Ayahanda, kelihatannya ada yang tidak beres di Karangtirta,” kata Banaswarih. ”Kekalahan Senapati Tunggulsaka di perbatasan membuatku heran. Mengapa senapati unggulan kita itu bisa kalah hanya melawan gerombolan perampok? Padahal Ayahanda tahu sendiri bahwa Senapati Tunggulsaka itu memiliki pengalaman perang yang panjang. Beliau juga hebat olah kanuragan dan persenjataan.”
”Aku sudah merasakan sejak beberapa bulan lalu,” Tiyasa menangapi pendapat anaknya. “Makanya aku memberikan tugas padamu disertai penyerahan Soka Pratanda itu. Kamu bisa bebas melakukan apa saja demi keamanan dan ketenangan Kerajaan Karangtirta.”
“Terima kasih atas kepercayaan Ayahanda padaku,” Banaswarih menanggapi pernyataan Raja Tiyasa. Tentang kecurigaan dari Senapati Tunggulsaka bahwa kemungkinan Olengpati dan gerombolannya punya mata-mata di kota kerajaan ini. Aku sependapat dengan Senapati Tunggulsaka. Makanya ketika prajurit Karangtirta ke sana dengan dipimpin senapati, si mata-mata memberi kabar pada Olengpati. Olengpati punya kesempatan banyak untuk mempersiapkan diri. Olengpati mempersiapkan diri untuk menghadapi, bahkan kalau bisa menghabisi pasukandari Kerajaan Karangtirta yang datang ke sana.”
Raja Tiyasa merasa miris mendengar penuturan putra mahkota. Dalam benaknya, Raja Tiyasa mengagumi Senapati Tunggulsaka dan Banaswarih. Senapati Tunggulsaka memiliki kehebatan dalam stretegi perang dan kehebatan silat. Sedangkan Banaswarih punya kecerdasan yang tidak diduga.
”Menurutmu, siapa yang patut dicurigai punya hubungan dengan Olengpati?” tanya Tiyasa.
”Pada waktu sekarang, sulit untuk menentukannya, Ayahanda. Ku ingin menyelidiki sendiri, baik secara diam-diam atau pun terang-terangan.”
”Baiklah, kalau itu kehendakmu, aku mengiyakan saja. Tapi kamu harus hati-hati! Siapa tahu Olengpati mempunyai anak buah dalam jumlah banyak di kota kerajaan ini.”
”Nasehat Ayahanda selalu kuingat.”
Banaswarih menghanturkan sembah hormat kepada ayahnya. Lalu mohon diri kembali ke bangsal kesatriyan.
Sementara itu, sepulang dari pertemuan penting dengan Raja Tiyasa, Ganggayuda tidak ke Bangsal Kapatihan, tetapi ke luar kota kerajaan dengan menggunakan kuda putihnya.
Ganggayuda memasuki Desa Kluwung. Kemudian berhenti di sebuah rumah bambu yang dilingkari pagar bambu. Dia mengetuk pintu rumah itu. Seorang wanita muda berparas cantik menyambut Ganggayuda dengan pelukan mesra dan ciuman penuh gairah.
”Kakang Gangga, kenapa sudah lama tidak kemari? Apa Nyi Patih selalu mengekangmu, Kakang?” tanya wanita yang bernama Menik Sarasti itu sambil tetap memeluk Ganggayuda.
”Akhir-akhir ini banyak tugas kerajaan yang mesti kutangani. Menik Sarasti, tolong panggilkan Jegonglopo! Kita akan merundingkan rencana baru kita!” kata Ganggayuda. Kemudian masuk ke dalam rumah Menik Sarasti. Istri simpanan Ganggayuda yang biasa dipanggil ‘Menik’ itu.
”Baiklah, Kakang..., tunggulah di sini sebentar!”
***
Menik Sarasti berlalu. Wanita muda nan cantik penggoda syahwat pria itu meninggalkan Ganggayuda di ruang tamu. Dia lenyap dari pandangan mata Ganggayuda, tetapi lekuk tubuh indahnya telah tertanam dalam di lubuk hati patih Karangtirta. Benar-benar dia cantik dan menggairahkan. Kata Ganggayuda dalam hatinya. Dia berdiri mengamati ruang tamu. Sayang sekali akhir-akhir ini aku tidak bisa menikmatinya. Situasi di Karangtirta yang makin sulit ditebak arahnya, membuatku makin sibuk saja. Ganggayuda duduk di kursi ukir. Dia mengitarkan pandangan ke seluruh ruang. Ruangan yang mewah dengan perabot mahal. Patih Karangtirta itu memang ingin memanjakan istri simpanannya. Rumah untuk Menik Sarasti terlihat sederhana kalau dilihat dari luar. Namun mewah di dalamnya. Benar-benar Ganggayuda sangat memperhatikan Menik Sarasti. “Kemewahan yang kuberikan ini sebanding dengan kecantikan Menik Sarasti,” gumam Ganggayuda. “Wanita cantik layak diberi segala kemewahan yang ada di dunia. Perhiasan, uang,
Pasir yang diinjak tiga pembokong itu tak bersuara sama sekali. Ketiga orang yang ingin menyerang dari belakang itu merasa mereka bakalan dengan mudah menghabisi Tunggulsaka. Mereka yakin sebentar lagi bekas Senapati Tunggulsaka akan terbujur kaku di atas pasir Pantai Utara. Secara serentak Jegonglopo dan dua kawannya mengayunkan golok masing-masing sekuat tenaga untuk mencincang tubuh Tunggulsaka. Jegonglopo ingin membelah kepala, dua temannya ingin memangkas bahu kanan dan bahu kiri Tunggulsaka! Wut! Wuut! Wuuut! Tiga golok tajam berkilat-kilat terayun kuat menuju sasaran. Trang!!! Pedang terpegang kuat di tangan kanan Tunggulsaka menangkis tiga golok secara bersamaan. Benturan keras terjadi. Jegonglopo dan dua anak buahnya terdorong mundur beberapa tombak sambil tetap memagang golok masing-masing yang hampir lepas dari genggaman! Ketiga pembokong terlongong. Mereka berdiri tegak dalam keadaan bengong. Mulut menganga, mata membelalak
Jegonglopo berusaha melihat walau pandangannya kabur. Pandangan Jegonglopo kabur akibat tendangan Tunggulsaka yang mengena perutnya. Sesaat setelah terkena tendangan, Jegonglopo merasakan sakit yang tak tertahankan. Dia mundur beberapa langkah, terhuyung, lalu terbungkuk-bungkuk sambil memegangi perut dengan tangan kiri. Tangan kanan masih memegang senjata saktinya.Saking menahan rasa sakit yang mendera, seluruh tubuh terasa lunglai. Mata pun berkurang keawasannya. Pandangan mata jadi kabur. Dia masih terhuyung sambil terus menjauhi musuh. Dalam kondisi seperti saat ini bila Tunggulsaka mau, bisa membunuh Jegonglopo dengan sekali tebasan keris saktinya.Tunggulsaka bukan tandinganku. Begitu kata hati Jegonglopo yang paling jujur. Mestinya yang melawan Tunggulsaka secara langsung adalah Olengpati atau Gusti Patih Ganggayuda.Tunggulsaka berdiri tegar menunggu dengan sabar dan tenang sampai lawannya siap untuk bertarung lagi. Tunggulsaka selalu
Ganggayuda dan Jegonglopo bersusah payah berusaha keluar dari seretan ombak. Ombak besar hendak menyeret tubuh dua manusia kejam itu menuju ke tengah lautan. Lautan ingin menelan mereka. Barangkali laut itu tidak suka pada dua manusia yang suka menebar kejahatan itu. Setelah bersusah payah melepaskan diri dari jeratan ombak, mereka berhasil berenang hingga sampai di tepi pantai. “Brengsek! Ajian dari Suro Joyo memang hebat dan sulit ditangkal,” kata Ganggayuda sambil menyeka air dari wajahnya. “Untung saja kita tidak terseret ombak besar. Kalau sampai terseret ombak besar, kita bisa tenggelam dan mati ditelan lautan.” “Ya, kita masih beruntung, Gusti Patih,” Jegonglopo menanggapi. “Kebanyakan musuh Suro Joyo yang terkena Ajian Rajah Cakra Geni menemui kematian. Kita sangat beruntung karena lolos dari kematian ketika kena hantaman Ajian Rajah Cakra Geni.” “Apa benar yang kamu katakan itu Jegonglopo?” “Benar, Gusti Patih. Jati Kawangwang, Riris
Mengancam dan membunuh merupakan ‘pekerjaan’ para gerombolan perampok pimpinan Olengpati. Dengan dia cara itulah mereka mencari makan. Mereka mengumpulkan harta benda dengan cara menakut-nakuti dan meneror korban. Kalau cara pertama, yakni menakut-nakuti dan meneror gagal, maka cara kedua ditempuh, membunuh. Menghilangkan nyawa orang lain untuk mendapatkan hartanya secara paksa. Pakaian warna hitam menjadi ciri khas anak buah Olengpati. Pakaian warna gelap itu memudahkan mereka untuk bersembunyi dan menyusup ke rumah calon korban. Setelah mendapatkan hasil, pakaian hitam itu memudahkan mereka bersembunyi dari kejaran prajurit atau penduduk desa yang punya nyali. Kadang-kadang di sebuah desa ada saja pendekar pemberani yang siap bertarung untuk menghabisi anak buah Olengpati. Malam ini dua anak buah Olengpati telah mengetuk pintu rumah penduduk yang ada di Kota Kerajaan Karangtirta bagian utara. Pemilik rumah membukakan pintu. Dia mengira prajurit Karangtirta yang men
Janurwasis tidak langsung menjawab pertanyaan Wening Kusuma. Dia malah membayangkan kalau dalam waktu dekat nanti bisa bermesraan lebih mendalam dengan gadis cantik itu. Tangan Janurwasis sudah gatal untuk meraba-raba lekuk liku tubuh si gadis. “Janurwasis!” panggil Wening Kusuma dengan nada agak keras. Dia amati kekasihnya itu memandang ke kejauhandengan pandangan kosong. Seperti melamunkan sesuatu. “E…, i-iya…, ya, ya…, ada apa?” Janurwasis gelagapan. “Ada apa, Wening?” “Lho…, kamu ini bagaimana? Lha wong ditanya saja belum menjawab, malah balik bertanya!” “Eh, iya, kamu tadi tanya apa?” “Aku tadi tanya, kabarmu bagaimana setelah kita lama tak jumpa?” ”Baik. Aku baik-baik saja,” jawab Janur singkat. “Selama berpisah denganmu, aku baik-baik saja. Tidak ada sesuatu pun yang buruk terjadi padaku.” Wening Kusuma tersenyum. Lalu senyum-senyum. Wening Kusuma memandangi wajah tampan di depannya dengan senyum-senyum. Senyum W
Janurwasis dan Wening Kusuma mundur beberapa langkah. Mereka menjauhi dua prajurit Karangtirta yang dengan semangatnya menyerang dengan tangan kosong. Dalam pemikiran mereka, tidak ada gunanya bertarung dengan dua prajurit itu. juga tidak ada gunanya melakukan pertarungan melawan Ganggayuda. Ada urusan lebih penting yang mesti didahulukan.“Kita kabur sekarang,” bisik Janurwasis dekat telinga sang kekasih.“Ya, aku sudah siap sekarang,” sahut Wening Kusuma juga dengan berbisik.Ganggayuda pasang kuda-kuda karena melihat gelagat mencurigakan pada Janurwasis dan Wening Kusuma. Ganggayuda curiga kedua orang itu akan meninggalkan arena pertarungan.“Hei, kalian bisik-bisik ada apa?” tanya Ganggayuda dengan nada tinggi. “Kalian mau membuat kerusuhan di Karangtirta?””Maaf, Patih Ganggayuda..., bukan bakat kami membuat kerusuhan,” kata Janurwasis tenang. “Kami ini orang baik-baik yang kebe
Tunggulsaka tersenyum sambil berkata, “Kamu berhak mewarisi tahta Kerajaan Krendobumi karena kamu putra mahkota, tetapi kamu secara halus menolak tahta itu. Dengan kata lain kamu tidak ingin menjadi raja di Kerajaan Krendobumi, padahal sebagai putra mahkota, kamu sudah sepantasnya kelak menjadi raja di Krendobumi.”“Sebaliknya,” lanjut Tunggulsaka, “Patih Ganggayuda, yang tidak berhak jadi raja di Kerajaan Karangtirta, tetapi sangat berkeinginan menjadi raja. Patih Ganggayuda sangat berambisi menjadi raja di Karangtirta. Saking nekatnya, dia ingin melakukan pemberontakan.”Suro Joyo tersenyum setelah mendengar sanjungan Tunggulsaka. Sebagai orang yang biasa memposisikan diri sebagai rakyat jelata, bukan pangeran atau putra mahkota, Suro Joyo kurang nyaman kalau disanjung. Kenapa? Karena yang dia jalani atau lakukan dia anggap sebagai sesuatu yang biasa saja. Bukan istimewa. Bukan sesuatu yang perlu disanjung.”Tunggulsak