Siang itu selesai pertemuan, Leon langsung kembali ke hotel. Masih memiliki jeda waktu satu jam lagi setelah makan siang, sebelum pertemuan keduanya, Loen ingin mengetahui apa yang sedang Luna kerjakan. Mengingat saat pergi tadi, ia yang buru-buru tidak sempat kembali ke kamar untuk memastikan istri kecilnya itu sudah bangun atau masih bergelung dibawah selimut.Sayangnya, setelah memastikan seluruh sudut kamar melalui cctv yang terhubung ponselnya, Leon tak juga menemukan keberadaan Luna."Apa dia ada di bawah?" Untuk memastikan itu, Leon segera mengambil ponselnya yang lain, dan tidak lama melakukan panggilan. Setelah dua kali berdering, panggilan terhubung. "Dimana Luna?" Leon langsung menanyakan tujuannya."Dia belum turun lagi setelah sarapan," balas Emma dari seberang sana."Kemana dia?""Aku pikir masih di kamar kalian. Karena aku rasa dia marah setelah kuberikan ponsel baru seperti perintahmu tadi."Sambil mendengarkan penjelasanya Emma, dahi Leon mengerut. Tidak mengerti kena
Kepulangan Leon yang mendadak dan mengendarai sendiri helikopter yang dilandaskan di atas atap mansion, sudah bukan hal mengejutkan bagi Pak Jang maupun Zainal. Begitu juga Emma yang tidak menganggap sesuatu yang aneh, meski itu yang pertama kali untuknya. Sejak dulu Leon memang menyukai transportasi udara, bahkan dia juga bercita-cita ingin menjadi pilot.Sudah mengenal Leon sejak usia remaja, tetapi setelah kematian nyonya Lauren, Leon memilih hidupnya sendiri dengan meninggalkan negara tempat dia dilahirkan. Ingin memulai hidup baru dan kembali merencanakan masa depan. Hanya itu yang Emma ketahui perihal alasan kepindahan Leon, alih-alih kembali ke kampung halaman sang ibu.Beberapa tahun setelah kepindahannya, tanpa disengaja Leon dipertemukan dengan pak Jang yang saat itu sedang dikeroyok kawanan gangster. Mengetahui kekalahan sudah pasti berada di pihak Pak Jang, Leon segera turun dari mobil. Sempat melawan enam pria berpakaian preman, sampai akhirnya Leon berhasil membawa Pak Ja
"Kalian butuh uang? Kerja!""Sialan! Bacot dia Bang!"Darma melangkah mundur dengan tangan menangkis tendangan yang mengarah perutnya. Dua preman berbadan besar itu menyerang Darma secara bergantian. Meski tidak sempat melawan, setidaknya Darma bisa menangkis setiap serangan."Brengsek! Kuat juga dia."Pria itu hanya tidak tahu jika Darma sedang mengatur nafas yang nyaris terhenti di kerongkongan. Bisa menangkis serangan bertubi-tubi selama sekian menit, tanpa terluka merupakan keberuntungan yang patut disyukuri.Darma hanya asal bisa melindungi diri. Ia sama sekali tidak memiliki skil beladiri. Hanya saja, ia benci dengan manusia yang diberi tubuh sehat dan gagah, tetapi dipergunakan untuk menindas orang lain. Parahnya lagi menginginkan uang tapi malas bekerja. Mengandalkan tubuh besar serta wajah sangar untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Definisi miskin yang sebenarnya.Kondisi jalan yang sepi, dan minimnya penerangan memang dijadikan peluang dua pria itu melancarkan aksinya. Bi
"Pastikan, obat apa ini?"Gerry mengerutkan alis, mengetahui Leon membanting kaplet obat yang menyisakan beberapa butir lagi, di atas meja kerjanya. Melihat kaplet obat yang belum diketahui apa namanya itu sudah banyak yang kosong, Gerry yakin obat tersebut telah dikonsumsi sejak lama oleh nyonya mudanya."Aku tidak peduli dokter spesialis mana yang kau tunjuk, aku hanya butuh informasinya siang ini juga." Leon semakin mempertegas perintahnya."Saya akan mencari tahu sekarang, Tuan."Selain tidak ingin membuat sang tuan semakin marah, Gerry juga merasa penasaran obat apa yang ada di tangannya itu. ********"Brengsek! Jadi karena ini dia yakin tidak bisa hamil!""Obat ini cukup efektif mencegah kehamilan jika dikonsumsi dengan benar, Tuan. Tapi dilihat yang tersisa tinggal warna kuning, saya ragu Nyonya Luna tidak benar-benar mengetahui bagaimana urutan minumnya.""Apa maksudmu! Jangan bertele-tele! Bicara yang benar."Kendati dunia medis bukan bidangnya, tetapi untuk mencari tahu kan
Leon menyeringai licik saat mengetahui Luna masuk perangkapnya. Suara dering ponselnya beberapa detik lalu, bukan karena ada panggilan masuk, melainkan alarm yang sengaja Leon setting di waktu yang sudah ditentukan. Dan, sesuai dugaan Luna langsung terjingkat bangun—tidak mengetahui jika Leon masih berdiri di dekat pintu.Seharusnya Luna peka dengan Leon yang memilih tetap di dalam kamar, daripada menyibukan diri di ruang kerja seperti yang selalu Leon lakukan. Selain ingin melihat sejauh mana Luna akan tetap menyimpan rahasianya, Leon juga tidak keberatan jika malam itu harus menemani sang istri terjaga sepanjang malam. "Kau mencari ini?"Luna tertegun begitu tahu apa yang Leon letakkan di atas nakas, pil kontrasepsi yang sejak tadi ia cari."Sejak kapan kau mengkonsumsinya?"Luna mendorong laci di depannya, lantas bangkit. Menatap berani Leon yang berdiri kaku di hadapannya."Sejak kau mengambil kesucianku."Sebenarnya hari itu, tepatnya dua hari sebelum malam mengenaskan itu terj
"Ya Tuhan!"Darma bergegas berlari untuk memastikan penumpang yang ada di dalam mobil tersebut. Kondisi kaca yang gelap membuat Darma harus berjongkok bahkan sampai tertelungkup di atas aspal agar bisa mengintip kondisi di dalam. Sayangnya, hal itu juga tidak cukup membantu. Darma tetap tidak bisa melihat apapun. Aroma bahan bakar semakin menyengat, Darma berpikir keras agar bisa membuka pintu mobil yang semua pintunya terkunci. Kembali berdiri, Darma mencari-cari sesuatu yang bisa digunakan untuk mencongkel pintu di samping kemudi. Sampai akhirnya, di tengah langit malam yang masih diselimuti mendung—meski sempat hujan rintik, mata tajam Darma menemukan sebuah pipa besi panjang—sebesar lingkar lengan anak-anak, tergeletak sedikit jauh dari tempatnya berdiri.Tidak ingin membuang waktu, Darma segera berlari mendekati mobil dan memukul kaca.Darma terus berpacu dengan waktu, saat melihat tetesan bahan bakar sudah berubah genangan. Khawatir akan menimbulkan percikan api, Darma semakin k
"Le! Ingat, kita harus berunding."Luna masih saja rewel mengingatkan. Belum cukup hanya menunggu, Luna bahkan sampai mengekor di belakang Leon begitu keluar dari kamar mandi.Leon seakan kembali diingatkan jika memang sudah menikahi bocah. Meski terkadang Luna bersikap keras kepala dan suka menentang. Tak jarang gadis itu juga bersikap labil bahkan kekanak-kanakan seperti sekarang. "Apa kau tidak bisa lebih tenang menunggu? Aku harus bersiap sebelum Gerry datang.""Kau bisa melakukan itu sambil kita berbicara," keukeuh Luna masih mengekor hingga Leon berhenti di depan lemari yang tingginya melebihi tinggi Luna. "Aku tidak keberatan membantumu bersiap." Luna menawarkan diri.Setidaknya itu dilakukan agar Leon tidak lupa, dengan apa yang sudah dijanjikan padanya semalam."Kau pikir aku akan ingkar janji?Sepertinya Leon juga tidak keberatan Luna terus mengekor, dan mendesaknya. Kecemasan Luna menjadi hiburan tersendiri bagi pria yang kini hampir menyentuh angka empat puluh tahun itu.
"Kau?""Apa aku mengganggu?""Tidak.""Boleh aku duduk?""Silahkan."Sebenarnya Emma sedikit kikuk saat beranjak duduk di seberang Darma. Mereka hanya terhalang meja kayu, dengan arah pandang yang sama, pantai. Beberapa menit berlalu, keduanya belum juga terlibat obrolan lagi.Darma terlalu tak acuh setelah hanya melirik Emma singkat, untuk kembali memperhatikan keadaan sekitar pantai. Pria itu memang sedang serius memantau titik yang dijangkaunya. "Hari ini pengujung tidak seramai biasanya," kata Emma berusaha memecah keheningan.Tapi tidak ada tanggapan, Darma seolah tidak mendengar apapun. Pandangannya masih belum teralihkan.Kendati tidak mendapat penolakan, tetapi dari sikap tak acuh Darma, Emma tahu pria itu tak peduli ada ataupun tidak dirinya. Emma memilih tidak bertanya lagi. Sebenarnya kejadian tempo hari membuat Emma