Share

Bab 6 Rey Pulang

Seminggu berlalu. Kehidupan Salwa berjalan sesuai apa yang sudah diprediksinya. Ia akan menerima perlakuan cuek Alisa. Perlakuan hati-hati Ratih yang kadang cukup mengintimidasi. dan juga perlakuan Dandi yang sepertinya sangat menjaga perasaan Alisa tanpa berpikir akan melukai Salwa. Sudah seminggu Salwa berada di rumah itu. Tetapi belum pernah sekalipun Dandi mengajaknya untuk bicara berdua.

Salwa masa bodo, ia menjalani peran sebagaimana yang sudah diperintahkan Meysa. "Kamu harus kuat dan terlihat kejam, Wa. Kamu harus bersikap garang agar Ratih tidak mudah meremehkan kamu," pesan-pesan Meysa menjadi boomerang bagi Salwa. Betapa sulit menjadi diri orang lain di dalam tubuh yang sudah terperangkap banyak luka. Bayang-bayang kematian mamanya adalah kelemahannya. Bayang-bayang penyiksaan Ratih, bayang-bayang perselingkuhan papanya yang ia lihat sendiri. Bayang-bayang mamanya yang berpura kuat dan mengatakan Salwa pasti berhalusinasi ketika Salwa mengadu atas apa yang ia lihat sendiri. Semua itu adalah kelemahan Salwa, tak jarang bertandang dalam ingatannya yang lengang. Dan Meysa, ia meminta Salwa agar lebih kuat dari keinginannya.

Sudah seminggu Salwa menjadi orang lain di hadapan keluarga papanya itu. Lalu menjadi dirinya sendiri kala ia memagut sepi. Di kamarnya, di kamar yang dulu mama dan papanya tinggali.

Salwa sering menghembuskan udara yang terasa berdesak-desakan di dadanya. Ia merasa bermimpi ketika kembali ke rumah itu. Namun merasa hidup ketika berada bersama siswa-siswinya yang bertingkah aneh. Ia tertawa, Ada hal yang menyenangkan juga di dunia ini, ia bicara sendiri tatkala wajah kocak Laras berceloteh di ruang kelas. Tiba-tiba saja ia mulai meyukai pekerjaannya meski dulu ia menolak Meysa memasukkannya ke perguruan tinggi negeri dengan jurusan pendidikan. "Aku lebih tertarik menjadi desainer," keluhnya. Namun Meysa sudah mempersiapkan segalanya, "Mama akan menempah kamu menjadi guru dan sudah memperhitungkan segalanya, kamu akan mengerti setelah kamu tamat nanti." Ya, Salwa mengerti sekarang mengapa ia dipersiapkan menjadi guru. Sedetail itu Meysa mempersiapkan balas dendam itu.

"Haa," Salwa mengembuskan napas untuk kesekian kali kala jengah merangkap tenangnya. Ia melihat jarum jam yang masih menunjukkan angka kalau ia belum ada jadwal masuk kelas. Iseng ia membuka-buka galeri, melihat momen-momen masa kecilnya bersama Rey sampai Rey berangkat ke Singapore. Ia cemberut saat melihat foto Rey yang menampungkan mulutnya seolah meneguk air mancur dari semburan patung Merlion. Sejenak ia ingat chat Rey seminggu lalu, di hari pertama ia bekerja. "Rey bilang akan pulang," bisiknya. Ingatannya pulang ke semarang, ke rumah yang membesarkannya. "Mungkinkah Rey sudah tiba?" ia meletakkan ponselnya lalu membaringkan kepalanya di atas meja.

***

Cuaca Kota Semarang terasa panas. Rey yang baru saja tiba di depan rumah mulai merasa gerah. Setelah menempuh berjam-jam perjalanan di pesawat terbang, rasanya setelah tiba ia ingin mendinginkan badan. Rey melangkah gagah setelah pintu pagar ternganga lebar. “Tuan Muda, Rey?" mata Handoko sebagai penjaga gerbang nyaris tak berkedip setelah melihat kehadiran anak majikannya itu. Rasanya tak percaya kalau Rey pulang tanpa memberi kabar seisi rumah. Belakangan ini, tak ada Meysa dan Johan menyebut-nyebut kalau Rey akan pulang. Seperti sebelum-sebelumnya, tiap kali Rey pulang, Meysa sibuk mempersiapkan penyambutannya. Seperti merapikan kamar, membersihkan rumah, menata ulang taman, dan mencek kondisi mobil milik Rey yang akan ia gunakan. "Kaget?" kelakar Rey kepada sosok yang banyak menemani kesendiriannya itu. "Iya, Tuan," Handoko menjawab senang. "Mari Tuan, biar saya antar bawa barangnya," seperti biasa ia selalu menwarkan diri. "Mmm, nggak usah, Pak Han di sini aja, cuma koper doang, saya bisa bawa sendiri." Rey tersenyum meninggalkan penjaga rumah yang memanggilnya dengan sebutan Tuan Muda.

Rey melangkah menuju rumah, memutar gagang pintu lalu masuk tanpa mengucap salam lebih dulu.

"Rey?" Meysa yang sedang sibuk mengganti bunga di meja tamu seolah tak percaya kalau putra kandungnya kini hadir di depan mata. "Rey?" mata sipit Meysa menyalang. "Kamu pulang tanpa memberi kabar?"

Rey tersenyum kaku seperti biasa. Untuk melukis wajah ceria di hadapan Meysa, ia begitu sulit melakukannya. "Salwa mana, Ma?" pertanyaan itu yang pertama kali meluncur dari bibirnya, tanpa lebih dulu menyapa wanita yang melahirkannya itu. Entah itu bertanya kabar, atau mendekati sang mama untuk memberi pelukan karena sudah lama tidak bertemu.

Rey masih mematung di belakang sofa yang menjadi penghalangnya dengan Meysa. Meysa menyelesaikan pekerjaannya. Lalu menghampiri Rey yang masih berdiri dengan tangan kanan memegang gagang koper.

“Kamu nggak kangen mama?" Meysa menyentuh bahu Rey, kemudian merapikan kerah baju yang sedikit berantakan.

“Apa Salwa udah kerja setelah wisuda bulan lalu? Arrrrgh, aku tidak sempat menghadiri hari bersejarahnya itu,"

Meysa tersenyum hambar mendengar celoteh Rey yang masih mengabaikan beberapa pertanyaannya. “Kamu nggak capek, baru tiba sudah mempertanyakan keberadaan Salwa? Kamu baru masuk rumah lho. Mmmmm, mama panggil Bi Mayang, ya, untuk bawa koper kamu ke kamar," Meysa mengalihkan pembicaraan.

Rey mengusuk matanya, mengisyaratkan kondisi tubuh yang lelah dan keadaan batinya yang tak pernah cerah. Ia menatap wajah wanita yang sudah sangat ia hafal karakternya. "Mama yang egois" begitu ia melabeli wanita yang sudah mempertaruhkan nyawa untuk melahirkannya itu ke dunia.

“Nggak perlu, Ma, penolakannya halus. Namun tetap saja menimbulkan kekesalan bagi Meysa.

“Biar Rey aja yang bawa. Salwaaaa, kamu di manaaaa?” teriakannya menggema di setiap ruangan. Mayang yang sudah hafal suara itu langsung menyembur dari belakang. "Mas Rey pulang?" tanyanya antusias kepada Meysa.

"Mmm," Meysa mengangguk malas. "Rapikan kamarnya! Jangan sampai ia teriak karena menemukan debu di tempat tidurnya,"

Mayang yang sudah bekerja selama sepuluh tahun di rumah itu langsung berlari ke kamar Rey. Ia hafal betul bagaimana kebiasaan Rey. Manusia paling rapi dan bersih itu tidak pernah berhenti protes dalam sehari. Ada saja yang salah di matanya. Letak vas bunga yang mereng, atau gelas yang terletak di meja tamu sedang orang yang duduk di situ tidak ada.

[Wa, aku udah di rumah, kamu di mana?] chat pertama Rey setelah ia merebahkan tubuh di tempat tidurnya terkirim ke Salwa.

[Apa kamu udah kerja? Dari kemarin pesanku nggak kamu balas. Kamu marah atau terlalu sibuk?] Pesan kedua terkirim lagi tapi masih belum dibaca.

“Apa aku telpon aja, ya?” Rey bergumam sendiri. Selama hidup bersama Salwa, ia tak pernah diabaikan oleh saudara angkatnya itu. Bahkan ketika Rey tidak bisa hadir di acara wisudanya sebulan lalu, Salwa bisa memahami kesibukan Rey yang bekerja di salah satu rumah sakit di Singapore. "Aku telpon aja deh," ucapnya lagi. Rey mulai menyentuh simbol hijau di layar ponselnya untuk menghubungi Salwa. Berjarak kurang lebih 446 kilometer Semarang-Jakarta, kecanggihan ponsel yang dirakit manusia itu tidak membutuhkan waktu lama untuk menyampaikan pesan pemiliknya kepada orang yang dituju. Tuuuuuutt, telepon tersambung, tapi belum diangkat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status