Share

Bab 3 Guru Baru

"Sudah tahu jadwal mengajarnya, Bu?" Seseorang bertanya kepada Salwa saat matanya fokus pada chat yang bertubi-tubi masuk ke kota masuk WA. Banyak sekali pesan yang datang. Dari teman kampus, dari komunitas, juga dari Johan, papanya. Dari sekian banyak pesan yang memenuhi kotak masuk tersebut, matanya terfokus pada pesan terakhir yang ia baca.

[Wa, aku mau pulang, jangan beri tahu mama,] pesan yang satu ini membuat matanya terbelalak.

"Bu Salwa, sudah tahu jadwal mengajar?" pertanyaan kedua menghampiri.

"Mmmm, ya. Setelah jam istirahat ini tiba," Salwa tergagap, ia mengalihkan pandangannya kepada yang bertanya. "Ekh, Anda yang tadi jumpa di depan, bukan?" Ia mengamati wajah yang ada di sampingnya. Lelaki itu mengembangkan senyum. Ia mengulurkan tangan, "Andra Lestari Pratama," ujarnya mengenalkan diri. Salwa tersenyum geli, "Lestari?" tanyanya dengan senyum canda seolah sudah akrab saja. Ia menyambut uluran tangan Andra. "Ya," Andra membalas tersenyum bangga. "Agar aku panjang umur, doa orangtua," sambungnya. Salwa terkekeh.

"Orang-orang selalu tertawa ketika aku memperkenalkan diri, kamu juga ternyata," lanjutnya pula.

"Beberapa orang menyematkan nama Lestari pada wanita, karena kamu seorang lelaki aku merasa ini sedikit aneh, maaf, jika kamu tersinggung,"

"Aku tidak tersinggung Bu Salwa, selamat bergabung di sekolah ini, semoga betah," kemudian Andra melepaskan genggaman tangannya.

"Ya," Salwa membalas singkat kemudian melanjutkan aktivitasnya. Membalas pesan satu persatu, tapi tidak dengan pesan terakhir. Ia hanya membacanya saja.

Bel masuk setelah istirahat berbunyi. Siswa-siswi berlarian menuju kelas untuk melanjutkan pelajaran. Salwa melihat roster yang sudah ia tempelkan di mejanya. "XI IPS-1," ujarnya setengah berbisik. "Lantai 3 paling ujung sebelah kanan setelah naik tangga," Andra menjelaskan tanpa diminta. "Oke, terima kasih," Salwa mengembangkan senyum. Ia melangkah cepat menuju kelas pertamanya.

Suara ketukan sepatu mendekati pintu kelas. Tiga puluh siswa penghuni ruangan itu mulai mengatur posisi duduk dengan tenang. Meski tidak terkenal bandel, namun ada beberapa orang yang bernyali membuat keributan.

"Sssssttttttt, jangan ribut, guru baru akan masuk menggantikan Bu Felli," suara Bagas selaku ketua kelas mengisyaratkan agar teman-temannya itu kembali tenang.

"Assalamualaikum, selamat pagi menjelang siang," ketukan sepatu dan suara nyaring Salwa beriringan masuk menuju meja guru.

"Waalaikumsalam wr.wb," jawaban salam bergemuruh dari siswa-siswi yang terkenal dengan pemilik wajah-wajah tampan itu. Mereka berjumlah tiga puluh didominasi lebih banyak oleh siswa laki-laki. Salwa menebar senyum, bermaksud ingin memperkenalkan diri.

"Cantik," bisik Bagas kepada Farel.

"Masih muda," ucap Shinta kepada Jenny.

"Fresh graduation," ujar Lily.

Mereka sibuk berbisik-bisik. Postur tubuh ideal Salwa membuat mereka terpukau, sekalipun di sekolah itu banyak juga guru-guru muda. Namun yang berdiri di hadapan mereka saat ini lebih menarik dari sosok yang biasa mereka lihat di sekolah itu. Akh, mungkin hanya karena guru baru.

"Perkenalkan ananda sekalian, saya guru...,"

"Guru baru yang akan menggantikan Bu Felli," Salah satu siswa memotong ucapan Salwa.

"Saya guru baru yang akan menggantikan Bu Felli, perkenalkan, nama saya..." Salwa berjalan menuju papan tulis, menulis namanya dengan huruf kapital menunjukkan rasa percaya diri yang sangat tinggi. "Salwa Arunika Hermawan, M. Pd,"

"M. Pd?" Seisi kelas berbisik-bisik, mereka mengira Salwa hanyalah lulusan S-1 yang baru saja selesai wisuda. Perkiraan itu muncul karena melihat perawakannya yang terlihat masih sangat muda.

"Kamu benar, Ly, fresh graduation S-2," cibir Jenny pada Lily.

Untuk kedua kali mereka terpukau, bukan hanya karena gelar S-2 nya, tetapi juga respon tak pedulinya kepada Arga yang menyela ucapannya.

Di saat Salwa memperkenalkan diri, justru di sudut kelas ada gadis remaja yang sedang menekur dengan wajah memerah. Sungguh ia tidak menyangka jika Salwa wanita yang baru saja dibencinya akan bertemu dengannya di kelas itu.

Salwa menatap seisi kelas. Ia mengedarkan pandangan mencari tahu posisi duduk Alisa. Ia tersenyum menemukan gadis itu.

"Yang di belakang paling sudut, angkat kepalamu!" Salwa menyentakkan rasa tidak acuh Alisa. Sigap ia menampakkan wajah senang. Sebagai pemegang peringkat 1 di kelas itu, dan menjabat sebagai sekretaris OSIS membuatnya harus tampak tenang dan tidak ingin menimbulkan kecurigaan.

"Maaf, Bu," dengan terbata ia menyampaikan kalimat itu.

Salwa tersenyum, satu kemenangan ia hitung di hatinya. "Kamu akan kalah, Al," bisiknya. Ia melanjutkan perkenalan dirinya. Menceritakan pengalaman pendidikan dan tempat asalnya.

"Kalian kakak adik?" Laras siswa terkocak di kelas itu menoleh kepada Alisa, sontak Alisa menoyor kepalanya.

"Jangan sembarangan bicara," mata Alisa menyipit melayangkan protes.

"Salwa Arunika Hermawan. Alisa Jingga Hermawan. Ayah kalian Dandi Hermawan,"

Alisa menendang kaki kursi Laras. "Larasati Pratama juga tidak kakak beradik dengan Andra Lestari Pratama," ujarnya membela diri.

"Hehee," Laras jadi cengengesan. "Benar juga," lanjutnya saat sadar kalau namanya pun mirip dengan salah satu guru di sekolah itu.

Salwa melanjutkan perkenalan dirinya. Hari ini, di kelas pertamanya, Salwa menghabiskan waktu 90 menit hanya untuk bercerita panjang lebar tentang dirinya, prinsip-prinsip yang ia pegang, motivasinya menjalani hidup. Di sela cerita panjangnya, seseorang bertanya. "Motivasi ibu mengajar di sekolah ini apa? Bukankah peluang jadi dosen lebih bagus mengingat ibu yang baru saja menyelesaikan S-2?" Tahu siapa yang bertanya? Alisa Jingga Hermawan.

Salwa tersenyum mendengar pertanyaan yang memang sudah ia siapkan jawabannya. Namun jawaban yang ia berikan tergantung siapa yang bertanya. "Karena di sekolah ini ada kamu," ucapnya santai. Kemudian ia menatap lama wajah Alisa yang menantang di kursi belakang.

"Ciiiiiieeee," spontan seisi kelas meledek Alisa.

"Kebohongan macam apa itu?" lirih Alisa. Ia sama sekali tak menggubris ledekan teman-temannya.

Laras menoleh kembali padanya. "Hal demikian tidak perlu ditanyakan," bisik Laras.

Alisa tak berkomentar, dalam hatinya sumpah serapah sedang bergejolak.

"Tapi jadi pertanyaan juga sih, kenapa Bu Salwa milih sekolah ini? Bukannya milih jadi dosen," kilah Jenny yang mendengar percakapan Laras dan Alisa.

"Apa jangan-jangan beliau tidak punya nyali untuk berhadapan dengan mahasiswa?" celetuk Laras lagi.

"Bisa jadi," ujar Jenny.

Mereka lanjut mendengarkan cerita Salwa. "Apa motivasi Ibu mengajar di sekolah ini?" Bagas ikut bertanya-tanya, namun jawaban candaan yang keluar dari bibir Salwa membuatnya urung menyampaikan pertanyaan. Jawaban candaan? Tidak! Jawaban yang diberikan Salwa adalah jawaban yang sebenarnya. Tapi sungguh, seisi kelas menganggap Salwa sedang bergurau. Untuk sebuah pertanyaan demikian, tentu saja jawaban sebenarnya adalah karena merasa terpanggil untuk menjadi seorang guru, atau karena sekolah itu memang sedang butuh sehingga kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Salwa.

Waktu bergulir begitu cepat. Salwa keluar dari kelas usai jam masuknya selesai. Menyadari hal itu, Alisa menghela napas lega setelah Salwa menghilang dari balik pintu.

"Hebat!" Tepuk tangan Bagas dan Arga bergema. "Dua jam pelajaran, kita hanya mendengarkan pengalamannya. Lihat gaya bicaranya, sombong sekali. Seolah ia yang paling pintar di dunia ini." ujar Arga yang merasa kesal karena respon Salwa menganggapnya tak ada ketika ia menyela kalimat Salwa tadi.

"Ha, dia berkharisma," ucap Bagas sambil menepuk pundak Arga.

"Kamu mengaguminya?" selidik Arga.

"Sepertinya begitu," pungkasnya.

Arga manggut-manggut. Padahal isi kepalanya menggeleng melihat tutur bahasa Salwa, gerak-geriknya dan cara berjalannya. Semuanya seolah sudah ditata, diatur seapik mungkin agar terlihat sempurna.

"Percayalah, ia palsu," ucap Arga asal bicara.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Andriani Keumala
Bikin penasaran terus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status