Share

Pembalasan Dendam Wanita Terbuang
Pembalasan Dendam Wanita Terbuang
Penulis: R. Y. Ita

Bab 1 Pertemuan Pertama

Di meja makan pagi ini, mata Alisa terpaut pada tatapan Salwa. Meja makan sebagai penghalang mereka ia tekan dengan kuat. Tangannya belum menyentuh selembar roti yang sudah disiapkan Ratih untuknya. Mata Alisa nyalang, menyiratkan rasa tidak suka terhadap wanita yang berada tepat di hadapannya. Sedangkan Salwa tampak tenang. Ia membalas tatapan Alisa tanpa rasa bersalah, mengunyah roti, lalu meneguk segelas susu hangat yang juga dituang oleh Ratih untuknya.

Alisa masih menatap marah, perasaan tidak senangnya ia tunjukkan dengan melukis raut wajah masam. Dandi yang menyaksikan pemandangan tidak enak ini mulai mengusuk kening, berdehem menatap Alisa, memberi isyarat agar Alisa tidak bertingkah demikian.

Alisa mulai mengalihkan pandangan, merobek roti yang berada di piringnya, lalu memasukkan ke dalam mulut, mengunyah dengan geram. Ratih hanya menggeleng. Tingkah putrinya yang sudah remaja itu memang sedikit keterlaluan, tapi ia tidak bisa juga menyalahkan. Alisa tentu sangat syok dengan kehadiran Salwa. Apalagi pagi ini adalah pagi pertama mereka duduk sarapan bersama di meja makan. Di rumah tempat Alisa dibesarkan, yang selama 17 tahun usianya ia hanya seorang putri yang dibesarkan tanpa ada putri yang lain. Tetapi sejak kemarin, ada wanita berusia 25 tahun datang ke rumah, yang dikenalkan sebagai kakak untuknya. Tentu saja gadis remaja itu tidak terima.

"Dia kakakmu," kemarin, Ratih mencoba menjelaskan dengan tenang, begitu juga dengan Dandi. Mereka berusaha menenangkan Alisa agar bisa menerima Salwa. Alisa bergeming, ia menatap dengan tatapan tidak senang, menghela napas dan memerengkan bibir berulang-ulang. Beribu pertanyaan mulai menyergap kepalanya.

Dandi sebagai pemimpin rumah juga bingung harus bagaimana menjelaskan. Kedatangan Salwa yang tiba-tiba dan langsung meminta untuk menetap di rumahnya tentu membuatnya kaget juga, ia belum mempersiapkan alasan untuk menjelaskan kehadiran Salwa. Bukankah sepanjang usia Alisa, ia dan Ratih tidak pernah menceritakan perihal Salwa? Dan ia juga tidak punya alasan untuk menolak kedatangan putri sulungnya.

"Alisa, dengar sayang," Dandi mencoba menyampaikan dengan lembut agar mudah dipahami oleh Alisa, "Salwa adalah kakakmu, dia anak papa," Dandi menghela napas, memberi jeda sebelum menjelaskan selanjutnya.

"Kakak? Anak selingkuhan papa?" Pertanyaan kurang ajarnya langsung menyerang lelaki yang sudah membesarkannya itu.

"Jaga ucapan kamu, Lisa!" Ratih menyela ucapan Alisa sambil melirik Salwa agar tidak tersinggung dengan kekanak-kanakan Alisa.

"Lalu? Anak adopsi mama?" lanjutnya dengan nada ketus.

"Lisaa!" Suara Dandi sedikit keras. Sedang Salwa tampak tenang, ia menatap perseteruan tiga beranak yang sedang kompromi untuk menerima kehadirannya.

"Dia anak kandung papa, Lisa, anak kandung," Dandi menekankan suaranya pada kalimat terakhir.

"Tapi tidak terlahir dari rahim Tante Ratih," Salwa buka suara. Ratih langsung mengalihkan pandangan, dadanya berdebar. Dandi pun sama, ia menatap Salwa memberi isyarat agar tak memperkeruh suasana.

"Aku terlahir dari rahim mama Salma, istri pertama papa," wajah Salwa menatap tenang orang-orang sekelilingnya. Terutama Ratih. Wajah wanita itu berubah kusut. Alisa mengernyitkan dahi.

"Papa punya istri selain mama?" tanyanya penuh heran. Salwa mengangguk.

"Tapi sudah meninggal, lalu papa menikah dengan mama kamu, Tante Ratih" lagi, Salwa mengatur wajah tenang yang membuat Ratih semakin gelisah tak karuan.

"Aku anak nakal waktu itu, tidak menerima kehadiran Tante Ratih, lalu Om Johan dan Tante Meysa membawaku pergi dan tinggal dengan mereka,"

Jantung Ratih dan Dandi hampir saja lepas, namun penjelasan Salwa barusan membuat mereka sedikit tenang.

Alisa menatap mama dan papanya. "Kalian merahasiakan ini dariku?" keluhnya. "Om Johan? Tante Meysa? Siapa lagi mereka?" Raut wajahnya berubah kecewa.

"Mereka teman mamaku, teman dekat yang membesarkanku tanpa pamrih," Salwa menjawab santai dengan tatapan menembak jitu jantung Dandi. Lelaki itu menelan ludah.

"Kamu dibuang papa?" Alisa bertanya dengan nada mencibir.

"Tidak ada yang membuang," Dandi menjawab spontan pertanyaan Alisa meski pertanyaan itu tidak ditujukan untuknya.

Salwa tertawa renyah, "Aku yang tidak menerima kehadiran Tante Ratih, aku setiap hari berulah. Ya, tentu saja mereka kewalahan di rumah ini, mengurusku butuh kesabaran ekstra, sampai Tante Ratih angkat tangan. Dan aku yang memilih pergi dari sini."

"Jawaban yang sulit dipercaya," Alisa menanggapi dengan ketus.

"Sudahlah, tidak perlu penjelasan tentang masa laluku. Begitu kan, Pa?" Salwa menyerang papanya sendiri. Sementara itu, Ratih bungkam tidak ingin memperkeruh suasana. "Anak ini, hari pertama hadir di sini langsung mengusik ketenangan selama 18 tahun ini," keluhnya dalam hati.

"Ya, yang penting sekarang kamu sudah berada di sini lagi, papa harap kamu dan Alisa akur. Iya, kan, Ma?" Ratih mengangguk merespon kalimat suaminya.

"Harusnya kalian memberitahuku dari dulu, bukan memberi kejutan menyakitkan seperti ini," Alisa murka, ia meninggalkan mereka menuju kamar sambil membanting pintu dengan sangar.

Kejadian tempo hari membuat udara sejuk pagi ini jadi berhembus gerah di hati Alisa. Ia masih menatap Salwa tetap dengan raut wajah tidak suka. Namun wanita berusia 25 tahun itu tetap terlihat tenang. Justru ia merasa harusnya dialah yang tidak bisa menerima kehadiran Alisa. Terutama Ratih, wanita yang melahirkan remaja yang sedang merengut di hadapannya.

"Sarapan yang benar, Sa," Ratih mulai membujuk. Rasa khwatir di hatinya makin menjadi. Semalaman ia tak bisa tidur memikirkan penerimaan Salwa. Dandi pun sama, keringat di keningnya terbit meski cuaca cukup sejuk.

Dengan sedikit malas, Alisa berangsur-angsur menghabiskan sarapannya. Tanpa menoleh kiri dan kanan. Salwa tertawa dalam hati. "Ayolah, Salwa, keep calm, Alisa hanyalah gadis remaja yang mentalnya masih plin plan. Bujuk ia dengan caramu sendiri," Salwa membatin menyemangati diri sambil menikmati sarapannya.

Alisa meneguk susu terakhirnya. Ia meninggalkan meja makan tanpa pamit pada Ratih. Melihat Alisa beranjak pergi, Dandi pun mengikuti untuk mengantarnya ke sekolah. Salwa dan Ratih menatap kepergian mereka.

"Aku juga pamit, Tan,"

"Apa kamu tidak bisa memanggilku mama?" Ratih menyela ucapan Salwa tanpa mengiyakan kata pamitnya.

Salwa mematung. Menghela napas berat. "Mama Salma tidak akan pernah tergantikan," ucapnya.

"Aku berusaha menjadi mama yang baik untukmu setelah Salma meninggal,"

"Ha," Salwa tertawa garing. "Jangan menyebut nama mama, Tan, dan jangan mengingatnya lagi."

"Aku berusaha menjadi mama yang baik untukmu tapi kamu sulit menerimaku,"

"Oke, aku juga harus pergi." Ia melirik pergelangan tangannya tanpa merespon pernyataan Ratih yang kedua kali.

"Kenapa harus sekolah Alisa?" Suara Ratih terdengar tajam, matanya menyipit penuh selidik.

Untuk ketiga kali, Salwa tak merespon. Ia berdiri melangkah pergi.

"Jika membenciku, tolong jangan sakiti Alisa," kali ini suara Ratih terdengar tegas namun sedikit memelas. Tanpa membalikkan badan Salwa tersenyum meninggalkan ruang makan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Andriani Keumala
Keren kak ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status