Share

Bab 5 Kenangan Baik Bersama Mama

Pertemuan di meja makan untuk kedua kali membuat Alisa semakin enggan menampakkan diri. Sejak pulang sekolah tadi ia mengurung diri di kamar.

“Panggil Alisa, Bi," titah Dandi pada Narti. Narti langsung bergerak menuju lantai atas. Dandi sedikit pusing mencari cara agar Alisa bisa menerima keberadaan Salwa. Ratih yang masih diam menarik napas pelan-pelan, hal yang justru dikhawatirkannya bukanlah penerimaan Salwa di rumah itu. Bukan pula penerimaan Alisa akan kehadiran Salwa sebagai kakaknya. Hal yang mengganggu isi kepalanya adalah bagaimana jika kehadiran Salwa justru ingin membalas dendam kepadanya dengan menjadikan Alisa sebagai tumbal.

“Gimana tadi di sekolah?" Ratih ikut membuka percakapan dengan nada yang tenang. Ia ingin terlihat baik dan perhatian di hadapan Salwa. Karena hanya itu cara yang bisa ia lakukan agar hal-hal buruk yang ada di kepalanya bisa terjeda.

"Baik, sangat baik," Salwa menjawab datar. Ia menatap satu persatu menu yang terhidang di atas meja.

"Kamu suka?" Ratih mencoba mengganggu konsentrasi Salwa yang sedang tertuju pada ikan nila bumbu kuning.

Salwa menjatuhkan tangannya di pangkuan. Getar dadanya bergemuruh lebih cepat. Ia menatap Ratih dengan tajam. Lalu tersenyum mencoba menenangkan pikiran. Ia pura-pura tidak ingat jika ikan nila bumbu kuning itu adalah menu favorit mamanya. Karena itu tadi, ia terfokus kepada menu yang satu itu.

“Sial, Tante Ratih pasti sengaja memasak menu ini agar ingatanku pulang pada kenangan baik bersama mama," batinnya.

"Tentu saja," ia menjawab pendek. Dandi menatap Ratih kemudian menyadari apa yang baru saja terjadi.

"Alisa lama sekali," Dandi mengalihkan pembicaraan. Mencoba tidak ikut mengusik ketenangan Salwa akan kenangan manis itu. Tentu saja, di ruang makan yang sama meski dengan beberapa perabotan yang sudah berbeda ia ikut merasakan kenangan manis itu. Duduk bertiga dengan posisi duduknya saat ini, dan posisi duduk Salwa juga tepat berada di sisi kanan meja, di sisi kirinya adalah Salma. Ia ingat betul, bagaimana Salma menghidangkan nasi di piringnya, mengambilkan satu persatu menu yang disaksikan oleh Salwa dengan tertawa.

“Apa kita harus menunggu Alisa dulu baru makan?" pertanyaan tidak sopan ini mengalun dari bibir Salwa tanpa memikirkan posisinya di rumah itu. "Kalau dia lapar pasti turunnya cepat," lanjutnya pula.

“Kalau kamu sudah tidak sabar, kamu boleh duluan," Ratih menjawab sedikit kesal.

Salwa tersenyum kecut. "Itu dia datang," ujar Salwa melihat Alisa yang berjalan seolah malas.

Alisa duduk di samping Ratih. Tak banyak bicara ia langsung mengambil nasi. Ratih menatap heran.

"Sa," tegur Ratih karena Dandi belum mengisi piringnya.

"Ayo makan, ?" ajak Alisa tanpa menoleh kepada siapa pun.

Dandi mengisi piring, diikuti oleh Ratih, kemudian Salwa. Salwa menatap Dandi yang mengambil makanannya sendiri. Ia beralih pandang kepada Ratih, sepanjang ingatannya, saat ia kecil dulu, tak pernah ia melihat Dandi mengambil sendiri nasi dan hidangan lainnya. Semuanya dipersiapkan oleh Salma, Salma yang mengisikan piring Dandi, begitu perhatian yang diberikan Salma sebagai wujud cinta kasih kepada suami.

Salwa menelan ludah lalu mulai menikmati makanannya. Ia tak menoleh kepada Alisa, Alisa pun sama, ia tidak mempedulikan Salwa, matanya hanya fokus pada apa yang hendak disantapnya. Hening tercipta saat mereka menikmati makan malam itu. Ratih dan Dandi ikut terbawa suasana. Namun setelah selesai makan, baru saja Dandi ingin beranjak pergi, Alisa angkat bicara.

"Kenapa harus ke sekolahku?" ia menatap Salwa dengan tatapan menyidik. Dandi yang sudah berdiri terpaksa duduk lagi.

“Karena sekolah itu butuh guru sepertiku," Salwa menjawab ketus.

“Justru semakin bagus bukan, jika Salwa mengajar di sekolah kamu, Sa?" Dandi menimpali. Alisa menatap Dandi dengan menunjukkan rasa tidak suka karena membela Salwa.

“Bukankah tadi di kelasmu aku sudah menjawab pertanyaan ini?" Salwa melanjutkan kalimatnya.

Mata Ratih menyalang, "Kamu masuk ke kelas Alisa juga?"

“Mmmm, aku mengajar di sekolahnya tentu saja masuk ke kelasnya juga," Salwa mengembangkan senyum seolah mengintimidasi.

Ratih mengepalkan tinjunya karena geram. "Apa Salwa merencanakan sesuatu untuk melukai Alisa?" ia berbisik dalam hati, rasa khawatirnya kian menjadi-jadi. Ingin sekali ia memaki Salwa dan mengancam jangan pernah menyentuh Alisa jika ingin membalaskan sakit hati kepadanya.

“Aku akan bekerja dengan baik, tidak ada yang perlu dikhawatirkan," Salwa menatap Ratih dan ia tahu apa yang ada di dalam pikiran ibu tirinya itu. Mungkin jika hanya mereka berdua yang ada di situ, Ratih pasti sudah menyiksanya seperti delapan belas tahun lalu. Seperti saat ia tak sengaja menjatuhkan vas bunga meski vas bunga itu kesayangan mamanya bukan kesayangan Ratih. Lalu apa yang dilakukan Ratih? Memakinya karena ia kaget dengan dentingan kaca yang jatuh berderai ke lantai. Ketika Salwa membela diri dengan mengatakan tidak sengaja, tahu apa yang dilakukan Ratih? Menorehkan pecahan kaca itu di lengan Salwa. Bahkan sampai saat ini, torehan itu masih membekas dan terus menerus menjadi ingatan buruk ketika Salwa melihatnya.

"Ha," Alisa tertawa sumbang mendengar kalimat Salwa barusan. "Apa kamu punya tujuan terselubung ke rumah ini? Setelah delapan belas tahun menghilang kenapa baru muncul sekarang? Kamu ingin merusak kebahagiaanku?” Hal yang sejak kemarin berputar-putar di kepala Ratih justru diungkapkan oleh putrinya. Ikatan telepati ibu dan anak itu sungguh luar biasa.

“Ha, haahaaa," Salwa refleks bertepuk tangan, tertawa girang namun bernada cemooh. "Apa pikiranmu demikian Alisa? Coba tanya mamamu dan papa, mungkin mereka tahu jawabannya,"

“Jangan mengacaukan pikiran Alisa, Salwa. Jangan menimbulkan praduga seolah aku dan papamu sangat bersalah." Ratih mencoba membela diri. "Dengar sayang,” Ratih menggenggam jemari Alisa. “Mama dan papa nggak pernah bermaksud membohongi kamu. Mama dan papa sudah berencana memberi tahu, tetapi Salwa justru datang lebih cepat dari yang kami duga,”

"Lebih cepat?" Salwa menyela tuduhan Ratih yang menyalahkannya. "Katakan saja pada Alisa kalau kalian memang tidak ingin mengenalkanku padanya," Salwa menyudahi ucapannya. Tak ingin banyak berdebat, ia meninggalkan meja berjalan cepat menuju kamar. Ada rasa gemetar di kakinya dan pedih yang menyesak ulu hati. Ia kesal, karena Dandi hanya diam dan membiarkannya melawan Ratih dan Alisa seorang diri.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status