Share

Pembalasan Dendam Istri Lugu
Pembalasan Dendam Istri Lugu
Author: Wini Latte

BAB 1| DONGENG YANG PUDAR

“Ini aku sedang bersiap-siap pulang, Flo. Sebentar lagi check out dari hotel.”

Ponsel yang tertempel di telinga Sakha menyalurkan suara istrinya di seberang sana. Sesekali Sakha mengangguk—meski istrinya tidak bisa melihat gerakannya, dua-tiga kali menyahut pendek.

“Hm? Tentu saja aku sudah membelikannya. Keripik belimbing dan puding nasi hitam—heuk.” Sakha tersentak kaget saat dasinya dinaikkan dengan kasar, seperti ingin mencekiknya. Dia meneguk saliva pelan, sebelum tangannya terangkat untuk mengusap rambut seseorang di depannya.

Seseorang berambut sepunggung itu memutar kedua bola matanya, lantas menyentakkan tangannya dari dasi sembari mendorong dada Sakha pelan, mengurungkan niat untuk menyelesaikan ikatan dasi. Wajahnya tertekuk, sorot matanya sarat akan kekesalan.  Situasi ini benar-benar terasa begitu menyebalkan baginya.

“Bersabarlah sebentar lagi.” Sakha berucap tanpa suara, menatap memelas pada wanita di depannya, sementara istrinya di seberang sana masih bicara tentang memastikan tidak ada barang yang tertinggal di hotel.

Wanita berambut sepunggung itu mendengus, melipat tangan di depan dada.

“Ah ....” Sakha mengusap tengkuknya, saat istrinya mengucapkan ‘I love you’, menimbang tentang bagaimana sebaiknya tanggapannya. Wanita di depannya ini jelas tidak akan senang jika Sakha membalas perkataan sayang dari istrinya.

Dua detik tidak kunjung membalas istrinya, Sakha memantapkan hati, melemparkan tatapan permohonan maaf pada wanita di depannya, sebelum membalas istrinya dengan suara pelan, “I love you too, Flo.”

Seperti yang diperkirakan, wanita itu beringsut menjauh dengan wajah masam saat Sakha menutup panggilan, menghempaskan diri di tempat tidur hotel.

“Luna ....” Sakha mendekat, duduk di sampingnya dengan ekspresi serba salah. “Aku tidak bisa tidak membalas ucapan Flora. Dia mungkin akan berpikir macam-macam.” Sakha berusaha membujuk.

“Aku benar-benar sudah muak. Sebaiknya kamu tentukan pilihan sekarang. Aku atau istrimu!” Luna menantang, melirik tajam.

Sakha menghela napas berat, mengusap wajah. Urusan ini menjadi kapiran. Dia seperti berjalan di atas tali yang membentang di antara dua jurang, tiupan angin sekecil apa pun bisa membuatnya terempas jatuh.

“Baik, aku akan menceraikan Flora,” ucap Sakha kemudian. Tangannya diam-diam mencengkeram sprai di belakangnya. “Tapi aku perlu waktu untuk mempersiapkan segalanya.”

Perlahan, senyum cerah terbit di wajah Luna. Air mukanya berubah dalam sekejap mata. Dia mengangguk senang, lantas memeluk Sakha dengan erat sebagai tanda terima kasihnya.

“Sial, kita terlambat, Luna. Bergegas masukkan baju ke koper. Pesawat kita akan berangkat sebentar lagi.”

***

“Aduh, melihatnya saja sudah terasa melelahkan.”

Flora mengesah berlebihan saat baju-baju yang berantakan pertama kali menyambutnya setelah membuka koper Sakha, saksi perjalanan bisnisnya selama ini. Baju-baju itu seperti gumpalan-gumpalan mimpi buruk. Entah karena ada hal mendesak apa, Sakha seperti terburu-buru membereskan barang-barangnya, memasukkan secara sembarangan ke dalam koper.

Flora menyeret keranjang baju di sampingnya, memasukkan satu persatu pakaian suaminya sembari memeriksa apa ada barang yang tertinggal di saku atau noda yang menyedihkan.

Saat tangannya hendak memastikan saku jas suaminya telah bersih benda meluncur jatuh dari saku jas, berdenting mengenai lantai. Flora mengedarkan pandangannya ke lantai, menemukan sebuah benda mungil dengan setitik permata yang tampak berkilau ditimpa selarik cahaya dari sela jendela.

Sebuah cincin.

Flora memeriksa cincin itu sebentar, untuk kemudian senyum merekah di bibirnya seiring rona merah menjalar di pipinya.

“Tiga tahun menikah, di tetap saja masih romantis. Aduh ....”

Tangan Flora kembali cekatan memeriksa baju Sakha, memasukkan ke keranjang. Dan ketika Flora tengah menggerutu karena menemukan noda air kopi di kemeja putih Sakha, dia menemukan sesuatu yang membuat gerutuannya terhenti, tubuhnya membeku dalam sekejap mata. Mimpi buruk yang sebenarnya baru saja datang.

Sekitar Flora terasa menggelap, kicau burung lenyap. Hanya ada satu warna yang menjadi pusat dunianya sekarang. Merah. Melekat pada pakaian tipis yang terlihat mencolok di antara baju-baju Sakha yang berwarna gelap.

Lesakan dari perut dan dadanya seperti mencekik kerongkongan Flora seiring tangannya yang terulur gentar ke arah benda itu. Waktu seperti bergerak jauh lebih lambat. Dan ketika akhirnya ujung jari Flora menyentuhnya, hal pertama yang dia rasakan adalah kelembutan yang menawarkan luka.

Lingerie merah.

Dengan gemetar Flora meraih pakaian itu, menariknya dengan hati yang mulai runtuh. Jelas lingerie itu bukan miliknya. Aroma parfum yang menguar dari sana pun sama sekali berbeda dengannya. Segala pikiran buruk mulai berkelebat. Diamnya berubah menjadi bulir air yang mengalir membasahi pipi. Tubuh Flora luruh, tangannya terkulai.

Langit-langit ruangan terasa mencekam, dinding-dinding sekan mengimpitnya. Di tengah kelam pikirannya, Flora teringat satu hal. Dia segera merogoh saku celananya, meraih cincin yang baru saja jatuh dari jas Sakha.

Flora pandangi lekat-lekat cincin itu, untuk kemudian mencoba memasangkannya di jari manisnya. Tersendat di tengah jari, cincin itu terlalu kecil. Dengan gerakan gusar, Flora memasangkannya di jari telunjuk. Cincin itu tetap terlalu kecil. Jari tengah apalagi.

Isakan Flora menyusul air mata yang tak henti turun. Dia melemparkan cincin itu, membuat benda itu bergulir, berhenti di sudut ruangan bersamaan dengan denting pelan. Flora mengacak rambutnya frustrasi seiring ribuan sembilu yang menghunjam hatinya.

Dan di tengah tangis memilukan itu, Flora bertanya pada keheningan: inikah akhir dari dongengnya?

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status