“Ini aku sedang bersiap-siap pulang, Flo. Sebentar lagi check out dari hotel.”
Ponsel yang tertempel di telinga Sakha menyalurkan suara istrinya di seberang sana. Sesekali Sakha mengangguk—meski istrinya tidak bisa melihat gerakannya, dua-tiga kali menyahut pendek.
“Hm? Tentu saja aku sudah membelikannya. Keripik belimbing dan puding nasi hitam—heuk.” Sakha tersentak kaget saat dasinya dinaikkan dengan kasar, seperti ingin mencekiknya. Dia meneguk saliva pelan, sebelum tangannya terangkat untuk mengusap rambut seseorang di depannya.
Seseorang berambut sepunggung itu memutar kedua bola matanya, lantas menyentakkan tangannya dari dasi sembari mendorong dada Sakha pelan, mengurungkan niat untuk menyelesaikan ikatan dasi. Wajahnya tertekuk, sorot matanya sarat akan kekesalan. Situasi ini benar-benar terasa begitu menyebalkan baginya.
“Bersabarlah sebentar lagi.” Sakha berucap tanpa suara, menatap memelas pada wanita di depannya, sementara istrinya di seberang sana masih bicara tentang memastikan tidak ada barang yang tertinggal di hotel.
Wanita berambut sepunggung itu mendengus, melipat tangan di depan dada.
“Ah ....” Sakha mengusap tengkuknya, saat istrinya mengucapkan ‘I love you’, menimbang tentang bagaimana sebaiknya tanggapannya. Wanita di depannya ini jelas tidak akan senang jika Sakha membalas perkataan sayang dari istrinya.
Dua detik tidak kunjung membalas istrinya, Sakha memantapkan hati, melemparkan tatapan permohonan maaf pada wanita di depannya, sebelum membalas istrinya dengan suara pelan, “I love you too, Flo.”
Seperti yang diperkirakan, wanita itu beringsut menjauh dengan wajah masam saat Sakha menutup panggilan, menghempaskan diri di tempat tidur hotel.
“Luna ....” Sakha mendekat, duduk di sampingnya dengan ekspresi serba salah. “Aku tidak bisa tidak membalas ucapan Flora. Dia mungkin akan berpikir macam-macam.” Sakha berusaha membujuk.
“Aku benar-benar sudah muak. Sebaiknya kamu tentukan pilihan sekarang. Aku atau istrimu!” Luna menantang, melirik tajam.
Sakha menghela napas berat, mengusap wajah. Urusan ini menjadi kapiran. Dia seperti berjalan di atas tali yang membentang di antara dua jurang, tiupan angin sekecil apa pun bisa membuatnya terempas jatuh.
“Baik, aku akan menceraikan Flora,” ucap Sakha kemudian. Tangannya diam-diam mencengkeram sprai di belakangnya. “Tapi aku perlu waktu untuk mempersiapkan segalanya.”
Perlahan, senyum cerah terbit di wajah Luna. Air mukanya berubah dalam sekejap mata. Dia mengangguk senang, lantas memeluk Sakha dengan erat sebagai tanda terima kasihnya.
“Sial, kita terlambat, Luna. Bergegas masukkan baju ke koper. Pesawat kita akan berangkat sebentar lagi.”
***
“Aduh, melihatnya saja sudah terasa melelahkan.”
Flora mengesah berlebihan saat baju-baju yang berantakan pertama kali menyambutnya setelah membuka koper Sakha, saksi perjalanan bisnisnya selama ini. Baju-baju itu seperti gumpalan-gumpalan mimpi buruk. Entah karena ada hal mendesak apa, Sakha seperti terburu-buru membereskan barang-barangnya, memasukkan secara sembarangan ke dalam koper.
Flora menyeret keranjang baju di sampingnya, memasukkan satu persatu pakaian suaminya sembari memeriksa apa ada barang yang tertinggal di saku atau noda yang menyedihkan.
Saat tangannya hendak memastikan saku jas suaminya telah bersih benda meluncur jatuh dari saku jas, berdenting mengenai lantai. Flora mengedarkan pandangannya ke lantai, menemukan sebuah benda mungil dengan setitik permata yang tampak berkilau ditimpa selarik cahaya dari sela jendela.
Sebuah cincin.
Flora memeriksa cincin itu sebentar, untuk kemudian senyum merekah di bibirnya seiring rona merah menjalar di pipinya.
“Tiga tahun menikah, di tetap saja masih romantis. Aduh ....”
Tangan Flora kembali cekatan memeriksa baju Sakha, memasukkan ke keranjang. Dan ketika Flora tengah menggerutu karena menemukan noda air kopi di kemeja putih Sakha, dia menemukan sesuatu yang membuat gerutuannya terhenti, tubuhnya membeku dalam sekejap mata. Mimpi buruk yang sebenarnya baru saja datang.
Sekitar Flora terasa menggelap, kicau burung lenyap. Hanya ada satu warna yang menjadi pusat dunianya sekarang. Merah. Melekat pada pakaian tipis yang terlihat mencolok di antara baju-baju Sakha yang berwarna gelap.
Lesakan dari perut dan dadanya seperti mencekik kerongkongan Flora seiring tangannya yang terulur gentar ke arah benda itu. Waktu seperti bergerak jauh lebih lambat. Dan ketika akhirnya ujung jari Flora menyentuhnya, hal pertama yang dia rasakan adalah kelembutan yang menawarkan luka.
Lingerie merah.
Dengan gemetar Flora meraih pakaian itu, menariknya dengan hati yang mulai runtuh. Jelas lingerie itu bukan miliknya. Aroma parfum yang menguar dari sana pun sama sekali berbeda dengannya. Segala pikiran buruk mulai berkelebat. Diamnya berubah menjadi bulir air yang mengalir membasahi pipi. Tubuh Flora luruh, tangannya terkulai.
Langit-langit ruangan terasa mencekam, dinding-dinding sekan mengimpitnya. Di tengah kelam pikirannya, Flora teringat satu hal. Dia segera merogoh saku celananya, meraih cincin yang baru saja jatuh dari jas Sakha.
Flora pandangi lekat-lekat cincin itu, untuk kemudian mencoba memasangkannya di jari manisnya. Tersendat di tengah jari, cincin itu terlalu kecil. Dengan gerakan gusar, Flora memasangkannya di jari telunjuk. Cincin itu tetap terlalu kecil. Jari tengah apalagi.
Isakan Flora menyusul air mata yang tak henti turun. Dia melemparkan cincin itu, membuat benda itu bergulir, berhenti di sudut ruangan bersamaan dengan denting pelan. Flora mengacak rambutnya frustrasi seiring ribuan sembilu yang menghunjam hatinya.
Dan di tengah tangis memilukan itu, Flora bertanya pada keheningan: inikah akhir dari dongengnya?
***
Tangan Sakha meraba dinding, mencari sakelar lampu setibanya di rumah. Sedetik, ruang tamu memperlihatkan wujudnya ketika lampu besar yang menggantung di langit-langit ruangan memancarkan sinarnya. Mata Sakha menyapu ke segala penjuru, kesunyian di rumah itu memberi kesan tidak adanya tanda-tanda kehidupan di sana. Berapa kali pun dia memanggil nama istrinya, tetap tidak ada jawaban. Menyerah, menerka jika Flora sedang ada urusan di luar, Sakha dengan langkah gontai mulai menaiki anak tangga. Di lantai dua, sekali lagi Sakha menekan sakelar lampu. Byar! Ruangan terang seketika, juga Sakha yang terlonjak dari tempatnya berdiri, berseru tertahan. Lihatlah, di pojok ruangan, Flora berjongkok dengan kepala tertunduk dalam. Lengannya menopang kepalanya yang seakan tenggelam. Tidak bergerak, pun terlihat amat suram. “Flo ...? Hei, ada apa?” Perlahan Sakha mendekati istrinya, berusaha menyentuh pundaknya hingga sebuah pergerakan dari Flora membuatnya tersentak. Flora menghindari sentuhan
“Flo, ayo makan lebih banyak. Wajahmu pucat sekali.” Sakha menghela napas, menatap Flora khawatir. “Sudah seminggu kamu seperti ini. Sebenarnya bibimu mengatakan apa hingga membuatmu begini, Flo?” Pertanyaan Sakha sama sekali tidak mengalihkan pandangan Flora dari bubur ayam yang sejak tadi terus diaduknya tanpa minat. Sorot mata, raut wajah, semuanya terlihat hampa. Setengah nyawa Flora seperti dicerabut dengan paksa. “Apa ... eh, apa bibimu mengatakan yang tidak-tidak mengenai ayahmu? Atau ibumu?” Hati-hati Sakha melontarkan pertanyaan sensitif itu, khawatir menyinggung perasaan istrinya. Flora mengangkat wajahnya sedikit, menatap Sakha tanpa ekspresi, lantas berucap, “Bukan apa-apa. Aku hanya sedikit kurang enak badan.” Selain seperti kehilangan semangat, yang membuat Sakha semakin khawatir adalah perubahan sikap Flora yang menjadi dingin terhadapnya. “Ayo kita ke dokter kalau begitu.” “Kamu mau membawaku ke dokter terbaik?” Flora melemparkan pertanyaan disertai seringan tipis.
“Ikuti mobil itu, Pak.” Flora berucap pelan pada supir taksi ketika melihat mobil Sakha melintasi jalan keluar restoran. Sejak keluar dari rumah sakit setengah jam yang lalu, Flora langsung menghubungi sekretaris Sakha, Briana, untuk menanyakan keberadaan suaminya. Briana mengatakan Sakha sedang makan di sebuah restoran setelah seharian berkutat dengan dokumen dan berkas. Dan kini Flora yang telah sampai di restoran yang dimaksud Briana, melihat mobil Sakha yang tidak menuju kembali ke perusahaannya, melainkan berbelok ke arah yang berlawanan. “Jangan sampai kehilangan jejak, Pak. Saya akan bayar lebih.” “Siap, Mbak!” Supir taksi berseru bersemangat, semakin dalam menekan gas mobilnya. Meskipun terpaut tiga mobil dari mobil Sakha, ditambah jalanan yang merayap, supir taksi itu benar-benar bisa diandalkan. Lima puluh menit yang mendebarkan bagi Flora, mobil Sakha terlihat berbelok ke sebuah taman hiburan. Supir taksi ikut berbelok beberapa saat setelahnya, mencoba mengambil jarak a
“Flora! Astaga, aku menghubungimu puluhan kali.” Raut cemas Sakha menjadi pemandangan pertama Flora ketika pria itu menginjakkan kaki di rumah, masih dengan pakaian kerja. Dia buru-buru berjalan mendekat hingga tampak jelas wajah kusutnya. Flora menyunggingkan senyum tipis, sebelum berucap, “Maaf membuatmu khawatir. Aku tadi kurang enak badan sehingga pergi ke klinik terdekat.” “Eh, sekarang bagaimana? Masih sakit?” “Tidak, aku tidak apa-apa sekarang.” Flora menutup mulutnya dengan punggung tangan. Dia tiba-tiba merasa mual. Tingkah Sakha, wajahnya, pun aroma parfumnya membuat Flora muak setengah mati. “Kamu kelihatan lelah, Mas. Ayo biar aku buatkan kopi.” “Ide bagus!” Melangkah menuju dapur, Flora menyembunyikan tangannya yang bergetar. Begitu pun saat dia mengambil gelas, menuangkan kopi, Flora mati-matian menjaga agar tangannya terlihat stabil sembari melemparkan pertanyaan, “Ah, Ayah bagaimana?” “Tidak parah. Dokter bilang dua-tiga hari lagi sudah boleh pulang.” Sakha memej
Angin berembus lembut saat Flora berjalan melewati jendela-jendela yang dibiarkan terbuka, memberikan secuil kesejukan dalam tempat itu. Heels-nya yang beradu dengan lantai menimbulkan bunyi ketukan yang seirama. Sesekali Flora tersenyum sopan dan sedikit menundukkan kepalanya ketika berpapasan dengan orang lain. Matanya menjelahi setiap kesibukan di sana, lantas senyum tipis terbit di wajahnya yang terlihat berseri pagi ini. Resmi sudah Flora diterima sebagai sekretaris di Gane Brown Corporation. Sebulan lebih dia mencari cara untuk masuk ke perusahaan ini, bahkan sempat berniat untuk melamar sebagai petugas kebersihan. Namun akhirnya kesempatan emas itu datang, posisi untuk sekretaris CEO kosong. Hanya karena Flora memiliki pengalaman sebagai sekretaris eksekutif di perusahaan lamanya, tidak lantas membuatnya langsung diterima. Ada serangkaian tes yang terasa amat panjang, Flora harus bersaing dengan ribuan pelamar. Keinginan balas dendam yang membara, membuat Flora berhasil memunc
“Bagaimana, Flo? Kamu suka pekerjaan baru kamu?”Gerakan tangan Flora yang hendak menuangkan air putih ke gelas sedikit tersendat karena pertanyaan Sakha. Bayangan tentang pekerjaannya hari ini kembali hinggap di pikirannya, membawanya kembali mengumpat dalam hati kepada Abraham yang telah membuat peraturan konyol tidak berperikemanusiaan itu. Tidak ada yang menarik di perusahaan selain fasilitas mewah dan tentu saja raut pucat Luna ketika Flora sengaja mempermainkannya.“Suka sekali, Mas. Aku menemukan kesenangan baru di sana.” Tidak ada gunanya bagi Flora untuk berkata jujur. Susah payah dia mendapatkan izin dari Sakha untuk kembali bekerja setelah hampir tiga tahun mengabdikan diri sebagai ibu rumah tangga secara penuh.“Syukurlah ....” Air muka Sakha tampak sedikit berubah ketika meraih cangkir kopinya. Dia mencuri pandang Flora beberapa kali sebelum bertanya dengan suara sedikit serak, “CEO di sana ... bagaimana? Apa dia memang sehebat yang dibicarakan orang-orang?”Sejenak, Flor
“Hentikan helaan napasmu itu, Flora. Kamu menganggu makan siang saya.”Suara yang lebih terdengar seperti menghardik itu membuat Flora melipat bibirnya seketika. Ia diam-diam melirik sinis Abraham yang tengah menikmati steiknya. Ah, lihat itu. Setelah mempermalukannya, bisa-bisanya Abraham makan dengan damai, sementara Flora harus merasa khawatir tentang masa depannya.Bertepatan dengan pelayan yang selesai menyajikan dessert, Flora meletakkan sendoknya. Bulat sudah tekadnya untuk meminta pertanggungjawaban Abraham. Dia sudah terlanjur terjerembab ke kubangan lumpur, maka Flora memutuskan sekalian mandi di sana.“Maaf jika saya lancang mengatakan ini, Pak. Tapi untuk selanjutnya, mohon sekali Bapak memberikan instruksi yang jelas dan lengkap sehingga kejadian seperti hari ini tidak terjadi di masa depan.” Flora mencoba menekan kekesalan yang sudah mengendap di hatinya sejak hari pertama menjadi sekretaris Abraham, sehingga suaranya menjadi sedikit bergetar. Kalau menuruti kata hatinya
Akhir pekan. Terasa seperti surga bagi Flora setelah hari-harinya dipenuhi dengan omelan dan tingkah semena-mena Abraham. Malam ini, keriuhan memenuhi telinga Flora, banyak orang berpakaian formal hilir-mudik, musik romantis mengalun sejak acara dimulai. Sembari memeluk lengan suaminya, Flora banyak tertawa, mengobrol ringan dengan kenalan. Mereka kini tengah menghadiri pesta pernikahan sahabat baik Sakha, bergabung dengan para tamu undangan. “Akhir-akhir ini Flora tampak cantik sekali, bukan? Badannya semakin bagus. Kamu melakukan diet, Flo?” Salah satu teman Sakha, Arina, bertanya ringan. Flora membalasnya dengan tawa kecil yang sedikit hambar. Ya, berat badannya memang sedikit turun, namun bukan karena melakukan diet, olahraga, atau semacamnya. Pengkhianatan, kehilangan, dendam kesumat, membuatnya kehilangan selera untuk menyantap makanan. Ditambah seminggu terakhir, menjadi sekretaris Abraham benar-benar menguras tenaganya dan pikirannya penuh dengan segala hal yang membuat stres