Share

BAB 8| BOS KERABAT IBLIS

“Hentikan helaan napasmu itu, Flora. Kamu menganggu makan siang saya.”

Suara yang lebih terdengar seperti menghardik itu membuat Flora melipat bibirnya seketika. Ia diam-diam melirik sinis Abraham yang tengah menikmati steiknya. Ah, lihat itu. Setelah mempermalukannya, bisa-bisanya Abraham makan dengan damai, sementara Flora harus merasa khawatir tentang masa depannya.

Bertepatan dengan pelayan yang selesai menyajikan dessert, Flora meletakkan sendoknya. Bulat sudah tekadnya untuk meminta pertanggungjawaban Abraham. Dia sudah terlanjur terjerembab ke kubangan lumpur, maka Flora memutuskan sekalian mandi di sana.

“Maaf jika saya lancang mengatakan ini, Pak. Tapi untuk selanjutnya, mohon sekali Bapak memberikan instruksi yang jelas dan lengkap sehingga kejadian seperti hari ini tidak terjadi di masa depan.” Flora mencoba menekan kekesalan yang sudah mengendap di hatinya sejak hari pertama menjadi sekretaris Abraham, sehingga suaranya menjadi sedikit bergetar. Kalau menuruti kata hatinya, sudah pasti Flora akan meraih gelas berisi jus alpukat di depannya, lantas melemparkannya kepada bosnya.

Abraham mengangkat wajahnya, menatap lurus ke manik mata Flora. “Sebagai sekretaris CEO, bukankah seharusnya insting kamu lebih tajam, Flora? Semestinya kamu sudah harus bisa memperhitungkan mana kolega yang sebatas hubungan kerja dan kolega yang dekat layaknya keluarga. Jadi itu salah kamu sendiri, jangan coba-coba mengalihkan kesalahan pada saya.”

Tidak perlu dijelaskan lagi kalau sekarang Flora sedang memaki-maki Abraham dalam hati. Enak sekali menjadi atasan, bisa mencari-cari argumen untuk melimpahkan segala kesalahan pada bawahan.

Mereka sedang membicarakan tentang insiden di perusahaan Djaya beberapa saat yang lalu, di mana Flora dengan gagah berani menghalangi Stella yang mencoba menggapai lengan Abraham. Flora sudah percaya diri sekali jika tindakannya benar, hingga saat Stella menyingkirkannya dengan kasar dan langsung memeluk lengan Abraham, Flora tahu jika dia telah membuat kesalahan.

Yang membuat Flora melongo, Abraham seperti tidak merasa keberatan Stella menyentuh setiap jengkal lengannya, seakan sosok Abraham Ganendra yang alergi terhadap sentuhan manusia itu tidak pernah ada. Baru kemudian Flora tahu, mereka masih kerabat, bisa dikatakan Stella adalah sepupu jauh Abraham.

Itu masih belum apa-apa dibandingkan saat Stella membisikkan kata-kata horor sebelum Flora keluar dari ruangan.

“Jangan harap bisa hidup dengan tenang setelah ini.” Begitu kata Stella, dan jantung Flora seperti langsung melebur begitu melihat ulah gila Stella yang dimuat di beberapa surat kabar online. Penyerangan fisik hingga membuat patah hidung korban, tekanan mental yang membuat korban depresi, dan dari sekian banyak kasus yang ditimbulkan, Stella sama sekali tidak menunjukkan penyesalan. Bagaimana Flora tidak cemas luar biasa?

“Bapak tidak akan tinggal diam jika Nona Stella melakukan sesuatu yang buruk terhadap saya, bukan?” Meski kecil kemungkinannya, Flora mencoba peruntungannya. Siapa tahu masih ada setitik nurani dalam hati Abraham.

“Tidak. Pekerjaan saya banyak, mana sempat saya mengurus kamu, Flora. Nanti bisa-bisa semua karyawan akan meminta bantuan saya jika sedang kesusahan.”

Apa kata yang lebih buruk dibanding sialan, berengsek, dan keparat? Flora bersumpah akan menggunakan kata-kata itu untuk mengumpat pada Abraham.

“Ah, buat informasi saja, tahun lalu Stella hampir tidak bisa diselamatkan setelah memukul kepala salah satu musuhnya dengan botol bir, membuatnya gegar otak.” Dengan santai Abraham mengatakan hal itu sembari memasukkan potongan steik ke mulutnya.

Flora jadi bertanya-tanya, kiranya dia menyambit Abraham sekarang, pasal apa yang telah menunggunya.

Yang tidak Flora dan Abraham sadari, terpaut lima meja dari meja mereka, Luna tengah mengepalkan tangan melihat pemandangan yang membuat dadanya bergemuruh hebat. Bukan saja karena Abraham yang terlihat nyaman berbincang dengan sekretarisnya, melainkan juga karena wanita itu adalah Flora. Perasaan jemawa telah merebut Sakha bisa menjadi tolak ukur dirinya lebih baik dari Flora, namun kejadian ini benar-benar menghantam kepalanya dengan keras.

Setahun sudah dia melakukan segala cara untuk menarik perhatian Abraham. Berpenampilan cantik, membangun citra sempurna, pun sekuat tenaga melakukan pekerjaan dengan baik dan tepat. Semuanya percuma. Jangankan menaruh perhatian, Abraham bahkan sama sekali tidak meliriknya.

Luna mendengus keras, menggumamkan sumpah serapah dan tekad untuk menghancurkan hidup Flora lebih dahsyat lagi.

***

Ketukan heels yang terdengar semakin dekat membuat Flora menoleh, menemukan Luna yang melangkah dengan anggun ke mejanya. Sejenak Flora mengamati penampilan wanita itu yang terlihat berbeda dari biasanya. Riasannya terlihat lebih wah, dan kemeja yang dipadu rok pendek memperlihatkan bentuk tubuhnya yang sempurna.

“Siang, Flora. Saya mau bertemu dengan Pak Abraham untuk menyerahkan laporan. Beliau ada di ruangannya, bukan?” Sambil bertanya pada Flora, kepala Luna melongok ke arah ruangan Abraham yang terlihat sedikit melalui kaca yang tidak tertutup. Ia tersenyum senang kala melihat pria itu berada dalam ruangannya, sibuk dengan berkas-berkas di meja.

“Serahkan saja kepada saya, Luna. Nanti akan saya sampaikan.”

“Tidak, harus saya serahkan sendiri sekalian membahas sesuatu dengan Pak Abra.”

Tanpa perlu bertanya, Flora tahu maksud Luna, bisa menebak tujuan dari penampilan yang berbeda itu. Luna jelas ingin menggoda Abraham, menarik perhatian pria itu sebanyak mungkin.

“Baik, biar saya tanyakan dulu.” Flora menekan tombol interkom yang langsung terhubung dengan ruangan Abraham. “Selamat siang, Pak. Luna dari Departemen Marketing ingin menemui Bapak untuk menyerahkan laporan dan membahas masalah pekerjaan.”

Tidak langsung ada jawaban dari Abraham. Pria itu sejenak mengalihkan pandangannya dari berkas-berkas ke arah meja Flora, melihat Luna yang berdiri di sana.

“Biarkan dia masuk, Flora.”

Dapat Flora lihat wajah Luna yang bersemu senang setelah mendengar ucapan singkat Abraham.

“Silakan masuk.”

“Terima kasih.”

Tepat di ujung kalimatnya, Luna berlalu. Ketukan hak sepatu kembali terdengar. Dia mendorong pintu ruangan Abraham dengan senyum merekah dan tentu saja sikap anggun yang setia menempel untuk menaikkan citranya. Kalau saja Flora tidak mengenal Luna sebelumnya, dia juga pasti akan tertipu dengan keanggunan yang tampak alami itu.

Mata Flora tidak lepas mengamati segala pergerakan Luna melalui kaca. Wanita itu berdiri di depan meja Abraham setelah menyerahkan laporan. Meski hanya bisa melihat dari belakang, Flora tahu Luna tengah tersenyum lebar sembari mengatakan sesuatu terkait pekerjaan atau apalah, karena atensi Abraham tengah tertuju padanya. Ah, dan lihat itu. Luna sengaja menelusupkan anak rambut ke belakang telinga dengan gerakan sensual. Flora menjadi tidak tenang, khawatir Abraham benar-benar akan jatuh ke pesona Luna, dan semua rencananya akan hancur.

Tiga menit berlalu, kekhawatiran Flora menemukan jawabannya. Abraham keluar terlebih dahulu dari ruangannya dengan wajah sedatar papan, Luna mengikuti di belakangnya dengan raut tertekuk. Gagal rupanya.

“Umumkan jadwal rapat dengan Departemen Humas diajukan tiga puluh menit, Flora. Ayo kita makan siang dulu sebelum itu.” Abraham berhenti sejenak di depan meja Flora, berucap datar.

“Baik, Pak.”

Dan ketika Flora hendak melangkah keluar dari mejanya, Luna yang kesal melakukan hal tak terduga. Dia sengaja menyandung kakinya sendiri hingga membuatnya kehilangan keseimbangan dan mengarahkan badannya kepada Abraham.

“Eh ... akh!”

Dapat Flora lihat dengan jelas ketika badan Luna yang limbung terarah pada Abraham. Jika refleks Abraham bagus, dia pasti akan menangkap Luna atau dirinya akan berakhir tertubruk dengan keras. Yang tidak pernah Flora duga, sepersekian detik sebelum Luna mengenai Abraham, pria itu menggeser badannya ke samping kiri, membuat Luna mengenai udara kosong, jatuh berdebum ke lantai dengan bunyi retakan renyah.

Flora tercengang di tempat, menatap Luna yang terkapar di lantai, untuk kemudian mengalihkan pandangannya pada Abraham dengan raut tidak percaya.

“Ah ... lain kali kamu harus lebih berhati-hati. Bagaimana saya bisa menyerahkan pekerjaan jika berjalan saja tidak bisa kamu lakukan dengan benar?” Tanpa belas kasih seujung kuku pun, Abraham mengeluarkan kata-kata tajamnya, menatap sambil lalu Luna yang teronggok tidak berdaya.

Rahang Flora seperti ingin menggelinding. Ia jadi amat yakin jika Abraham masih berkerabat dekat dengan iblis.

“Dan kamu, Flora.” Ucapan itu membuat Flora tersentak, langsung memusatkan perhatian pada Abraham. “Apa yang kamu lakukan, heh? Ada seseorang yang mau menyentuh saya, tapi kamu hanya diam berdiri di sana? Hari ini jam kerja kamu bertambah satu jam!”

Dasar bos sialan!

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yanti Keke
wkwkwkwk.... br x ini baca ... brkerabat dg iblis..... smngat Flo....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status