Share

Bab 3

Dengan kasar, Arni menghapus air matanya. Lalu segera berdiri dan berjalan dengan cepat. Ia tak mau anak-anaknya harus menunggu terlalu lama.

Selama berjalan menuju ke sekolah, Arni terus berpikir, siapa perempuan itu. Ia merasa familiar tapi tidak bisa mengingat dengan jelas wajah yang hanya di lihatnya dengan sekilas.

Ia juga terus merutuki dirinya sendiri yang tidak memiliki ponsel. Karena dulu lebih memilih menjualnya untuk mendaftarkan sekolah anaknya.

***

Usai menjemput anak-anaknya, Arni mengajak mereka mampir sebentar ke pertokoan untuk membeli ponsel seperti rencananya tadi. Meskipun sayang uangnya, tapi Arni berpikir bahwa ia harus memilikinya. Siapa tahu, ia akan mendapatkan bukti lain tentang perselingkuhan suaminya.

"Nggak ada yang lebih murah lagi mas? Tapi kualitasnya sama seperti yang putih ini," tanya Arni pada penjaga toko ponsel itu.

"Ada sih mbak. Tapi bekas, masih bagus dan mulus kok!" jawab penjaga toko sambil mengeluarkan sebuah ponsel berwarna hitam untuk di tunjukkan kepada Arni. Ia menerimanya dan melihat-lihat ponsel hitam yang baru dinyalakan oleh penjaga toko ponsel itu.

"Yang ini harganya boleh kurang kan Mas?" tanya Arni setelah puas melihat-lihat spesifikasi ponsel itu.

"Aduh Mbak, itu sudah pas. Gini deh! Harganya pas segitu, terus nanti saya kasih gratis kartu simnya. Sama saja Mbak dapat diskon kan kalau begitu?" tawar sang penjaga toko. Membuat Arni tersenyum penuh arti, sementara kedua anaknya hanya diam memperhatikan tawar menawar antara ibu mereka dengan penjaga toko.

"Baik Mas! Saya setuju!" ujar Arni dengan mantap.

Setelah Arni menyelesaikan pembayaran ponsel beserta kartu simnya, ia juga menanyakan sesuatu dengan suara yang lirih. "Mas, tahu nggak gimana caranya kita membuka ponsel yang dikunci menggunakan kata sandi?"

"Ponsel siapa Mbak? Bukan barang curian kan?" penjaga toko itu balik bertanya. Membuat Arni tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya.

"E, itu Mas, sebenarnya ponsel suami saya. Tapi dikunci menggunakan kata sandi. Jadi saya tidak bisa membukanya." jelas Arni.

"Ya sebenarnya bisa sih Mbak, nanti kita atur ulang ponselnya ke pengaturan awal." jawab penjaga toko itu. Namun bukan jawaban seperti itu yang Arni inginkan. Ia ingin mendapatkan jawaban yang dapat memuaskannya. Misalnya, meretas dan membobol keamanan ponsel suaminya. Namun Arni urung mengatakannya. "Oh gitu ya Mas? Ya sudah, terima kasih banyak. Nanti kalau ada waktu biar saya bawa ponselnya kemari." ujar Arni menyudahinya. Lalu keluar dari toko itu bersama kedua anaknya.

Uang tabungannya masih sisa lebih dari separuhnya. Jadi dia memutuskan untuk membeli sesuatu lagi untuk dirinya serta kedua anaknya.

Arni membawa anak-anaknya masuk ke sebuah mini market, ia memilih beberapa kosmetik untuk dirinya. "Nah, kalian berdua boleh mengambil beberapa jajanan!" ujar Arni membuat anak-anaknya bersorak senang.

"Terima kasih bu!" kata kedua anaknya sambil berhamburan memeluk dirinya. Sudut mata Arni terasa basah, melihat hal sekecil ini yang selama ini tak pernah ia lakukan untuk anak-anak ternyata bisa membuat mereka sangat senang.

"Nah, sekarang ayo kita pergi makan!" seru Arni setelah keluar dari mini market. Kedua anaknya saling berpandangan. "Makan dimana bu?" tanya Rafa, anak bungsunya.

Pertanyaan sederhana itu membuat Arni tersenyum, "kita makan di sana!" jawab Arni sambil menunjuk sebuah restoran ayam goreng terkenal di seberang jalan. Rafa dan Natasha saling berpandangan, lalu dengan kompak menatap ibunya.

"Bu, ibu sedang punya banyak uang ya? Tumben sekali ibu mengajak kita makan diluar. Biasanya ibu akan menyuruh kita untuk berhemat." ucap Natasha dengan polosnya. Membuat hati Arni mencelos mendengar kalimat yang terlalu dewasa untuk diucapkan oleh seorang anak TK. Arni berlutut di trotoar, berusaha menyamakan tinggi badannya dengan kedua anaknya. Lalu ia memeluk mereka sambil berusaha bertahan agar tidak menangis.

"Natasha, uang ibu tidak banyak kok! Tapi sesekali ibu ingin mengajak kalian makan diluar seperti ini. Ibu yakin, teman-teman kalian pasti pernah bercerita kalau mereka sesekali diajak makan diluar kan sama orang tua mereka?"

Anak-anak Arni mengangguk bersamaan. Membuatnya semakin merasa bersalah karena selama ini terlalu berhemat untuk anak-anak. Pada hal mereka masih terlalu kecil, dan sesekali mereka membutuhkan saat-saat seperti ini untuk dijadikan sebagai kenangan.

"Ya sudah, ayo kita makan di sana!" ajak Arni sambil menuntun Rafa dan Natasha di kanan kirinya.

"Bu! Bu! Aku mau itu!" rengek Rafa sambil menunjuk gambar paha ayam goreng dengan nasi serta es krim. Arni tersenyum sambil mengangguk, lalu memesan menu yang Rafa inginkan untuk Natasha juga. Sementara dirinya hanya memesan teh botol dingin. Nafsu makan Arni hilang mengingat pemandangan pedih yang tadi ia lihat di sebuah tempat makan dengan jendela besar itu.

"Bu, kenapa ibu hanya minum? Kenapa ibu tidak makan? Ibu mau disuapi sama Natasha?" sekali lagi, kalimat Natasha berhasil membuat Arni nyaris menangis. Tak seharusnya, anak seusia Natasha bersikap dewasa seperti ini. Arni tak ingin, Natasha tumbuh dewasa terlalu cepat hingga ia tak menikmati masa kanak-kanaknya.

"Tidak kak, terima kasih. Ibu sudah kenyang hanya dengan melihat kalian makan lahap seperti itu. Habiskan makanannya ya! Kalau kurang, kalian boleh pesan lagi."t mereka kembali bersorak mendengar ucapan Arni. Namun pada akhirnya, mereka berdua kekenyangan dan tidak jadi menambah pesanan.

"Nah, sekarang kita pulang ya?"

Anak-anak mengangguk dengan lesu. Sepertinya karena kekenyangan, mereka berdua jadi lelah dan mengantuk. Jadi Arni menggendong Rafa di punggungnya, sementara Natasha dituntunnya. "Kak, kamu masih kuat jalan kan? Belum terlalu mengantuk kan?" tanya Arni dengan suara yang terdengar khawatir. Toh, ia tidak akan bisa menggendong mereka berdua sekaligus. Kalau mau naik ojek sampai rumah, tanggung. Karena jarak dari pertokoan dengan tempat tinggal mereka hanya sekitar sepuluh menit jalan kaki.

"Aku masih kuat jalan sampai rumah kok bu!" kata Natasha lemah, lalu menguap. Namun jelas sekali ia terlihat tengah menahan kantuk luar biasa yang menyerangnya. Hal itu terlihat menggemaskan untuk Arni, tapi ia juga merasa kasihan. Karena ditengah kantuk luar biasa hebat yang menyerangnya, Natasha masih harus menahannya agar bisa berjalan sampai rumah.

Arni agak mempercepat jalannya. Meskipun Natasha terlihat kesulitan untuk menyamai langkah ibunya, namun ia berusaha melakukannya. Natasha tahu, ibunya pasti merasa berat karena harus menggendong Rafa yang sudah mulai tidur dipunggung ibunya. Ia melakukannya tanpa mengeluh, tanpa protes sama sekali kepada ibunya.

Sesampainya di halaman rumah, Arni berhenti. Natasha heran, kenapa ibunya tidak langsung masuk ke dalam rumah. "Ibu kenapa tidak langsung masuk? Ibu pasti keberatan karena harus menggendong Rafa," ujar Natasha. Mendengar pertanyaan dari anak sulungnya, Arni menoleh. Lalu menunjuk ke ujung halaman, motor metik Ardan sudah terparkir di sana. Pada hal ini baru jam sebelas siang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status