Keheningan malam terpecah oleh suara gemuruh di sekitar villa yang terpencil. Tentara-tentara setia menjaga pos mereka dengan teliti, meraba setiap bayangan yang melintas di bawah sinar bulan. Namun, kehadiran yang tak diundang telah menyusup, mengubah ketenangan menjadi kekacauan.Tiba-tiba, suara keras membelah udara. "Ada penyusup!" teriak salah satu tentara yang berjaga, memecah kesunyian malam. Serentak, rekan-rekannya bersiap, senjata teracung, siap menghadapi ancaman yang tak terlihat.Namun, di sisi lain bangunan villa, Jenderal Kaisar merasa jantungnya berdegup kencang. Ia bersembunyi di balik tembok batu, menatap kegelapan dengan mata tajamnya. Pikirannya berputar, mencari cara terbaik untuk melindungi diri terlebih dahulu karena ada sebuah rencana yang akan dia lakukan untuk Jenderal Paul.Sementara itu, Damian merasakan getaran tegang melintas di udara. Bersama pasukannya, ia merapatkan barisan, menunggu tanda untuk bertindak. Mereka telah menunggu saat ini dengan sabar, d
Bandara International New Taraka. Suasana di sebuah bandara tampak sangat sibuk. Pasukan berseragam tampak sedang mengosongkan area dalam bandara. Sementara area luar bandara tampak sudah dijaga ketat oleh pasukan militer, dengan persenjataan lengkap. Semua penerbangan dibatalkan, tidak ada satu pun warga sipil yang boleh berada di dalam sana, bahkan walikota sendiri tidak diperbolehkan masuk. Semua pasukan militer tampak tegang, beberapa helikopter terbang di udara, belasan mobil limosin berbaris di dalam area bandara. Dan sebuah pesawat dengan lambang kehormatan negara New Taraka akhirnya tiba. Seluruh pasukan kemiliteran yang tengah berbaris dengan rapi, tampak begitu tegang. Keringat mengucur di dahi mereka. “Selamat datang di New Taraka, Jenderal.” Salah seorang tentara dengan pangkat tinggi membungkukkan badannya ketika menyambut seseorang yang baru saja turun dari dalam pesawat. Dia adalah Kaisar, seorang panglima perang tertinggi yang masih sangat muda. Sejak remaja, i
Pengemudi mobil sport itu turun dari mobilnya lalu berjalan mendekati Kaisar dengan tatapan kebenciannya. Dia adalah Bastian keponakan Abraham, anak dari adik pertama Abraham bernama Lionel.“Kamu pasti kesini karena tau ada pembacaan surat wasiat, kan? Kamu nggak akan dapat sepeserpun, jangan mimpi. Kamu hanya anak pungut dan sudah dibuang oleh pamanku.”Kaisar hanya diam dan tidak membalas penghinaan itu. Dia tidak ingin mencari keributan disaat suasana duka seperti itu.“Aku sarankan kau pergi dari sini! Dan jangan pernah kembali lagi! Paman sudah mati dan tidak ada lagi yang bisa menerima kehadiranmu di sini sebelum kau diusir paksa oleh ayahku, paman dan bibiku yang lainnya.”Bastian lalu meninggalkan Kaisar yang masih tidak membalas satupun perkataannya. Lelaki yang seumuran dengannya itu kembali menaiki mobil sportnya lalu melajukannya dengan kencang memasuki gerbang utama kediaman mendiang sang paman.Kaisar hanya menatap dingin kepergian Bastian.Tak lama, sebuah mobil mewah
Kaisar sedari tadi diam saja. Dia memperhatikan tingkah laku keluarga ayah angkatnya. Dia mencoba mencari petunjuk apakah diantara semua keluarga yang datang itu, kecuali Elena, ada yang paling mencurigakan dan mungkin, adalah penyebab kematian ayah angkatnya. Namun, sejauh ini, Kaisar belum menemukan petunjuk apa pun. Satu hal yang kini disadari oleh Kaisar, bahwa Elena benar-benar terancam bahaya karena berada di lingkungan keluarga yang haus akan harta. Mereka hanya berkedok keluarga saja. Kaisar memperhatikan Elena yang tampak gusar. Kaisar mengerti apa yang dirasakan gadis itu saat ini. Sementara Elena yang mendengar itu sudah tidak terkejut lagi. Sebelum surat wasiat itu dibacakan, dia juga sudah mendapatkan surat wasiat dari ayahnya. Bersamaan dengan yang diterima Kaisar. Surat wasiat yang mengatakan bahwa dia bukan anak kandung Abraham. Itulah yang membuatnya diam sejak tadi. Dia masih tidak percaya akan itu semua, tapi dia percaya dengan ayahnya karena selama ini ayahnya
Elena menatap bibinya Lili seraya mengulas senyum kecil. “Lagipula, kekayaan Kaisar akan menjadi milikku juga setelah kami menikah, bukan?” “Jangan gila kamu, Elena!” teriak Lionel. Salah seorang sepupu perempuannya bernama Rose anak dari bibinya Lili melihat Elena dengan tatapan tidak percaya. “Kamu bersedia untuk menikah dengan dia?” Elena melihat satu persatu anggota keluarganya, dan tersenyum simpul. “Kenapa tidak?” Elena berjalan melewati semua orang, dan menarik lengan Kaisar untuk mengikutinya. Semua orang menatap kepergian keduanya dengan rasa syok. Begitu keluar dari sana, Kaisar membawa Elena ke sebuah ruangan yang tidak asing. Ruang kerja ayah angkatnya. Di dalam sana, ekspresi Elena berubah. Ada kemarahan yang tidak diperlihatkan Elena ketika ia berada di dalam sana. Kemarahan terbesar yang disuarakannya kepada Kaisar adalah mengenai surat yang dikirimkan ayahnya, surat yang membuatnya terguncang. Kematian sang ayah dan fakta yang diungkapkan jika dirinya bukanlah an
Setelah membaca pesan itu, Kaisar melangkah pergi menuju kamarnya. Saat dia melewati ruang tengah, Kaisar terkejut melihat kedua pamannya dan bibinya sudah duduk di sana seperti menunggunya. Paman Lionel, Paman Mason dan Bibi Lili berdiri sembari menatap Kaisar dengan tatapan yang memiliki banyak arti. Tatapan yang menyimpan rasa benci yang begitu besar kepadanya. Kaisar tahu mereka masih berusaha mencari cara agar bisa mendapatkan bagian dari semua harta kekayaan ayah angkatnya dengan bernegosiasi dengannya. “Bisa bicara sebentar,” pinta Lionel. Kaisar mengangguk, dan bergabung dengan mereka. “Ada apa, Paman?” tanya Kaisar. “Mengenai perusahaan Abraham Grup…” “Aku akan mengurusnya setelah pernikahanku dengan Elena selesai digelar,” sela Kaisar. “Kau tidak akan menggantikan posisiku yang kini menjadi CEO di sana, kan? Karena bagaimana pun akulah yang ditunjuk ayahmu untuk mengurus perusahaannya selama ini. Ayahmu hanya mengawasi saja dan akulah yang turut andil memajukan perus
“Kenapa Pak Menteri terlihat buru-buru sekali?” tanya salah satu tamu undangan pada temannya sambil menatap Sang Menteri yang sedang dikawal oleh Pengawalnya untuk keluar dari area resepsi pernikahan itu. Dia heran, padahal Sang Menteri baru saja datang dan harus pergi lagi. “Entahlah,” jawab temannya. “Apa mungkin karena ada hal mendesak yang harus ia lakukan?” “Bagaimana pun dia seorang abdi negara. Tugas negara mungkin lebih penting daripada menghadiri resepsi pernikahan ini.” “Tapi, hebat sekali Elena. Tamu-tamu yang datang berkelas semua.” “Siapa dulu mendiang ayahnya.” “Tapi sayang Elena harus menikah dengan…” Mereka menatap ke arah Kaisar dengan pandangan meremehkan. Yang tidak diketahui oleh siapapun adalah, Menteri Pertahanan terburu-buru meninggalkan lokasi karena Kaisar yang memerintahkannya demikian. Semua orang yang mengenal Kaisar tahu kalau perintahnya seperti sebuah ultimatum. Keras, tegas, dan tidak bisa dibantah. Elena yang sibuk didatangi oleh para tamu und
“Saranku, berhenti bersikap sok tau, Kaisar. Kamu mempermalukan dirimu sendiri.” Kembali, ejekan-ejekan itu dilontarkan untuk Kaisar. Kaisar tidak membalasnya, dan hanya tersenyum tipis. Terlihat tidak terpengaruh dengan apapun yang terjadi. Kaisar pun meninggalkan mereka untuk keluar dari area gedung itu. “Dia pergi karena malu,” ucap Bastian pada teman-temannya. Kedua teman-temannya tertawa. Kaisar kembali tidak menggubris ejekan mereka. Dia ingin memastikan apakah Menteri Pertahanan benar-benar sudah pergi dari sana atau malah dicegat oleh tamu yang lain di luar sana. Elena yang masih menyambut tamu tampak heran melihat Kaisar keluar. Dia menduga Kaisar sedang mencari tamu undangannya. “Mau kemana suamimu?” tanya salah satu tamu yang kini berada di hadapannya. “Mungkin dia ingin menemui tamu udangannya,” jawab Elena. “Perasaan yang datang semuanya tamu darimu,” ucap tamu itu heran. “Aku mengenal semua yang datang dan aku tahu mereka semua berkelas. Tidak mungkin diantara se