Share

BAB-2

"Mas, aku mau bicara. Boleh?" Ucap Embun dengan suara lirihnya tepat ketika Toro baru saja memasuki kamar dan merebahkan diri di kasur usai menemui tamu yang datang.

Tamu tersebut adalah keluarga besar Toro yang baru datang menjelang tengah malam.

Embun menghela nafas panjang lalu berbalik menghadap ke arah Toro yang sedang menatapnya. Embun memberikan balasan tatapan dengan kepala yang miring menyesuaikan pandangan Toro yang berbaring di kasur.

"Boleh dong, kenapa pelan-pelan sekali bicaranya?" Toro dengan segera bangun dan duduk tepat berada di depan Embun.

"Ini akan membuat kamu kaget mungkin Mas, tapi kita kan sudah janji dari awal pernikahan, bahwa tidak boleh ada yang dirahasiakan. Benar kan Mas?" ucap Embun dengan menatap tajam ke arah Toro.

"Iya, benar. Ya sudah mau bicara apa?" Jawab Toro yang penasaran dengan cerita Embun.

Kemudian, Embun menceritakan kejadian tadi—komentar pedas dari orang tua angkat Toro perihal pakaiannya. Wanita itu bercerita dengan waspada, dengan sesekali melihat ke arah pintu.

"Iya terus, kamu kenapa melihat ke arah pintu, tidak akan ada yang dengar suara kamu. Lanjutkan ceritamu!"

Kembali, Embun melanjutkan cerita. Kali ini, ia mencoba lebih tenang. Semua ia ceritakan sama seperti apa yang dialaminya, tanpa dilebih-lebihkan.

Selesai itu, wanita yang kembali menangis karena teringat akan kata-kata tajam mertuanya itu pun mengerjap, menunggu respons sang suami yang masih bergeming. “Lalu tanggapan kamu bagaimana Mas?”

Sebagai seorang suami, tentu Embun berharap banyak dari Toro. Minimal, suaminya itu bisa jadi perisainya, pelindungnya dari kata-kata jahat atau menjadi obat dari luka yang telah ditorehkan oleh ibu angkatnya.

Namun, bukannya pembelaan yang Embun dapatkan, justru jawaban tak acuhlah yang ia dengar dari sang suami.

"Ya terus aku suruh gimana? Sudahlah tidak usah dibahas, kita tidur saja. Besok kan kita masih ada acara seharian." Toro langsung berbaring kembali di tempat tidur.

Hati yang makin terasa pedih melihat reaksi suaminya yang terkesan biasa saja melihat Embun yang bercerita dengan air mata yang berderai. Ternyata Toro lebih memihak kepada ibu angkatnya dibandingkan membela istrinya.

"Kamu bagaimana sih Mas, baru seminggu kamu menjabat tangan ayahku mengucapkan ijab qobul, berjanji akan melindungiku di dunia dan diakhirat, tapi sepertinya kamu biasa saja ketika istrimu terluka dan dilukai orang lain.” Embun menyuarakan kekecewaannya. “Maaf Mas, aku malam ini tidur sama Kak Esta dan bermalam dengan keluargaku yang selalu tidak berubah untuk melindungiku," ucap Embun dengan memutar badannya, memakai jilbab kembali.

Dengan langkah cepat, Embun keluar dari kamar. Sesekali ia membungkuk saat bertemu dengan seseorang yang dilewatinya. Kumpulan air mata di matanya membuat malam yang sudah gelap semakin gelap. Lelehan air mata yang terus menetes menemaninya melangkah itu kemudian ia hapus dengan jilbab yang ia kenakan saat telah mendekati kamar keluarga dan tetangganya.

Di sana, Esta, kakak Embun masih duduk seolah tengah menunggu kehadiran adiknya. Dengan tangan yang menepuk-nepuk lantai mengkode agar Embun duduk segera mendekatinya. "Gimana dik? apa yang terjadi di sana? Ibu angakatnya Toro membuat ulah lagi?"

Embun menggelengkan kepalanya.

"Terus kenapa kamu malah tambah menangis seperti ini?" Ucap Esta mengerutkan dahinya.

"Jangan berisik Kak, kita tidur saja, ini sudah malam. Nanti semua orang bisa terbangun kalau kita berisik." Jawab Embun dengan telunjuk berada di tengah bibirnya menandakan agar obrolannya harus lebih dikecilkan.

"Ya sudah kalau begitu, kamu cepat cerita. Siapa yang membuat kamu belum-belum sudah menangis seperti ini. Toro?" Ucap Esta mendekati telinga Embun.

Embun kembali menganggukkan kepalanya.

"Kenapa dia? Ayo, cerita!" Ucap Esta dengan menjauhi telinga Embun dengan suara yang bertambah volumenya.

"Sssttt, jangan berisik kak, nanti semua orang bangun." Ucap Embun dengan alis mengerut dan telunjuk yang berada di tengah bibirnya.

"Makanya cerita!" Jawab santai Esta.

"Aku tadi berniat cerita sama Mas Toro, ta-tapi Mas Toro sikapnya diluar dugaanku. Ternyata Mas Toro malah membela sikap ibu angkatnya yang membuat hatiku makin sesak rasanya."

Esta mengelus punggung Embun yang kembali menangis. "Toro tidak bijak. Belum-belum dia tidak bisa melindungi kamu. Sudah jangan menangis terus, mata kamu sudah bengkak sekali. Pasti paginya semakin bengkak itu mata kamu."

Bukannya makin reda, namun kelembutan sikap Esta membuat Embun justru semakin berderai air mata.

"Eh, kok malah makin kencang nangisnya?" Ucap Esta menenangkan adiknya.

"Assalamu'alaikum." Suara perempuan dari pintu belakang.

Dengan bersamaan Embun dan Esta menengok ke arah pintu tersebut. Ternyata yang datang adalah Tuti, adik ipar Embun. Karena mata Embun bengkak, ia meminta Esta untuk menemui adik iparnya itu.

Esta kemudian meminta Embun untuk berbaring saja dan tidur, karena Embun juga sudah terlihat lelah. Dengan kaki yang perlahan berjalan ke arah pintu belakang, Esta menemui Tuti.

"Adiknya Toro ya?" Tanya Esta dengan menyalami Tuti.

"Iya Mbak, mau ngasih tau kalau Mas Toro sekarang pingsan." Ucap Tuti.

"Pingsan? Loh kenapa? Tapi saya nggak bisa bangunin Embun, dia sudah tidur. Saya Esta kakaknya Embun.” Esta mencoba memainkan sandiwaranya. “Embun juga kayaknya kelelahan makanya sudah tidur, tapi dia tidak sampai pingsan. Memangnya belum panggil dokter?”

“Ah, anu—sudah, Mbak. Sudah dipanggilkan dokter.”

"Nah, kan itu sudah ada dokter. Berati sudah ada yang merawatnya ya. Jangan khawatir, malah yang merawat lebih ahli di bidangnya. Soalnya Embun benar-benar kelelahan Tut. Bayangkan, kakak kamu yang laki-laki saja sampai pingsan, apalagi Embun yang perempuan. Kalau besok dia pingsan dan sakit, lalu acara besok bagaimana?" Ucap Esta.

"Oh, ya sudah kalau gitu Mbak, saya pergi dulu." Jawab Tuti dengan wajah polosnya.

Tanpa rasa curiga dengan Tuti, Esta dengan percaya bahwa adik ipar Embun tidak akan mungkin berbuat yang melampaui batas. Esta kemudian menghampiri Embun dan menceritakan bahwa Toro sedang pingsan.

"Toro katanya pingsan tuh." Ucap Esta.

"Pingsan kenapa? kelelahan? bukannya seharusnya aku ya yang layak untuk pingsan? Itupun jika permasalahannya adalah kelelahan. Kan aku perempuan, dan dia laki-laki. Seharusnya dia lebih gagah dan tahan banting dong dibandingkan aku?!" Ucap Embun protes.

***

Bersambung.

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status