Share

BAB-6

“Ayo, ayo. Duduk di sini, Bu.”

Melihat rombongan Bu Minah yang sedang memasuki tempat acara, Ayah Toro nampak menyambut para rombongan keluarga angkatnya itu secara langsung dan mencarikan tempat duduk paling depan.

Semua itu berbanding terbalik dengan sikap dirinya terhadap besannya. Orang tua Embun beserta rombongannya hanya melihat dengan datar saja. Sesekali, untuk mengusir rasa take nak hati, ibunya Embun tersenyum ke arah tetangganya yang sedang berada di kursi panitia penyambutan tamu.

Tak lama, sosok ayah Toro dan panitia acara menghampiri beberapa orang yang rupanya telah menduduki kursi barisan pertama. Mereka diminta untuk pindah dari kursi yang telah mereka duduki, sebab rombongan Bu Amina dinilai lebih berhak untuk duduk di kursi paling depan ini.

"Mungkin memang sudah diatur sedemikian rupa ya Bu, kita memang dari awal diminta untuk duduk di sini, bukan duduk di kursi bagian depan. Tapi saya lihat, para panitia merasa tidak enak dengan kita semua."

Ibu Sejuk hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Ibu Sejuk merasa tidak enak kepada para keluarga dan tetangganya yang ikut mengantarkan putrinya.

Meski bukan rombongan mereka yang diusir, tetapi … bukankah sudah sepantasnya dua keluarga yang memiliki acara sama-sama ditempatkan di kursi paling depan?

‘Apa seperti ini sosok sebenarnya dari besannya?’

***

"Aku masih muak dengan sikap Embun semalam Ma, bisa-bisanya anak kita pingsan kok tidak mau merawat. Benar apa yang dikatakan Bu Minah. Istri seperti Embun memang sudah kelihatan buruknya." Ucap papa Toro yang berbisik kepada istrinya.

"Kita bahas lain kali saja Pa masalah ini." Sahut mamanya Toro.

Terdengar suara lagu mengiringi pengantin keluar. Embun berjalan Anggun dengan gaun yang ekornya menjuntai ke lantai. Sementara, Esta terlihat berada di belakangnya memperhatikan kebaya sang adik agar tetap terlihat sempurna.

Saat tengah berjalan menuju pelaminan itulah … mata Embun membelalak. Sebab, di bangku deretan pertama, bukan rombongan keluarganyalah yang berada di sana. Melainkan rombongan orang-orang toksik yang diketuai oleh Bu Minah.

Segera, kepala Embun memindai bangku-bangku yang berjajar guna mencari tahu keberadaan keluarga juga tetangga yang mengantarnya.

‘Kenapa justru keluargaku yang ditempatkan di belakang?’ Embun membatin ketika menemukan rombongannya duduk agak ke belakang. Tidak bersanding bersama dengan keluarga Toro yang ditempatkan di barisan depan.

Setelah sampai di pelaminan dan mengatur kembali gaunnya agar tidak terlipat-lipat, Embun mencoba menormalkan deru napasnya. Tak bisa dipungkiri, di hari bahagianya ini … ia kembali menelan kecewa juga amarah.

Melihat raut wajah sang adik yang berubah mendung, Esta pun sigap menghampiri Embun dan berbisik,

"Jangan pikirkan apa-apa. Kamu sudah cantik, harus senyum dan tunjukkan pesonamu.” Esta memberikan senyumnya yang kemudian membuat Embun tertular mengukir senyum juga. “Kakak pergi menghampiri ibu dulu. Kamu tau, kan … kayaknya di sini keluarga kita dinomor duakan. Kamu yang sabar pokoknya ya, dengan keanehan mereka." Ucap Esta berbisik dan menepuk pundak Embun dengan lembut.

Embun hanya mengangguk sembari melihat kursi bagian depan yang penuh dengan orang-orang toxic. Senyum yang singgah, kini hilang ketika Embun menatap satu persatu wajah orang-orang yang hanya suka mengadu domba itu.

Sesekali Toro mengajak ngobrol Embun. Namun Embun justru mengalihkan ucapannya. "Kamu sudah makan belum Mas? Awas lho nanti pingsan lagi. Kan tidak laki sekali." Ucap Embun berbisik di samping pendengaran Toro.

"Dih, siapa yang pingsan??" Jawab Toro merasa tak terima.

Embun tak menggubris jawaban Toro. Pikirannya dipenuhi dengan rombongan yang telah mengantarkan ia ke kampung yang baru pertama ia kunjungi itu.

Di sisi lain, Embun merasa was-was ketika nanti dirinya akan benar-benar ditinggal oleh orang tuanya, juga rombongan yang mengantarkan dirinya.

Papa Toro berjalan menghampiri saudara yang diagung-agungkan itu, dengan ramah dirinya terlihat mengobrol hangat dengan Bu Minah. Bola mata Embun seketika mengarah kepada ayahnya yang sedang bingung mencari tempat duduk. Mata Embun tiba-tiba berair seketika melihat pemandangan itu.

‘Bahkan saat masih ada keluargaku saja, sudah begini. Bagaimana kalau aku sudah sendiri? Keluarga angkat Mas Toro benar-benar keterlaluan.’

**

Hal yang tidak diinginkan Embun akhirnya tiba juga. Orang tua, keluarganya, dan para tetangganya berpamitan untuk meninggalkan Embun. Esta dan ibu Sejuk menahan bibirnya dengan posisi melebar di hadapan Embun. Mereka tersenyum tegar ke arah Embun.

Namun Ayah Embun tak dapat mengokohkan senyumnya, dirinya memeluk dan mencium kening putrinya yang kini telah menjadi tanggung jawab lelaki lain. Air mata tumpah tak tertahan.

"Hati-hati ya nak di sini." Ucap Ayah Embun lirih. Kemudian pria paruh baya itu menatap sang menantu. "Titip Embun ya."

"Iya yah." Ucap Toro.

Kalimat serupa pun keluar dari para tetangga yang diucapkan untuk Toro. Papa Toro terlihat datar ketika acara pamitan itu berlangsung.

Semua melambaikan tangan ke arah Embun ketika menaiki mobil. Baik Embun ataupun rombongan yang meninggalkannya sama-sama menangis.

Embun menangisi nasibnya yang mungkin akan lebih parah di sini dari sebelumnya. Sementara para tetangga, pun keluarga Embun sendiri merasa begitu khawatir dengan wanita lembut itu.

 Toro mencoba menenangkan Embun. Namun air mata tak bisa diajak kerjasama. Mereka semua terus berjatuhan membasahi pipi Embun. Kedua mertuanya nampak cuek dengan kejadian itu. Mereka justru terlihat meninggalkan pelaminan dan masuk kedalam rumah.

Salah seorang perempuan rombongan keluarga angkat suaminya itu melontarkan kalimat kepada Embun.

"Lebay sekali. Ditinggal begitu saja menangis. Besok juga ketemu lagi. Sudah tidak cantik, hobinya menangis pula!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status